Mohon tunggu...
Gracia AslorenEleanora
Gracia AslorenEleanora Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Tak Terbatas

19 November 2024   08:20 Diperbarui: 19 November 2024   08:38 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, Sinta duduk di meja makan dengan wajah pucat, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Di sebelahnya, Lila sedang sibuk bermain dengan boneka kecilnya, sementara Dimas, suaminya, sedang mempersiapkan sarapan. Meskipun rumah itu penuh dengan tawa Lila, suasana hati Sinta terasa begitu sepi.

Beberapa minggu yang lalu, Sinta mendapatkan kabar buruk dari dokter: kanker. Kanker payudara stadium lanjut. Sekalipun ia mencoba menyembunyikan kesedihannya, rasa sakit dan ketakutan itu menggerogoti tubuhnya. Setiap hari, ia merasakan lelah yang tak tertahankan, dan semakin sulit menyembunyikan rambut yang mulai rontok akibat kemoterapi.

"Aku akan baik-baik saja," kata Sinta kepada Dimas, meskipun hatinya tak lagi yakin.

Dimas, yang melihat perubahan besar pada istrinya, merasa cemas, tapi ia terus berusaha memberi semangat. "Kita akan berjuang bersama, Sinta. Kamu tidak sendirian."

Namun, semakin lama, tubuh Sinta semakin melemah. Tubuhnya yang dulu bugar kini tak mampu lagi bertahan. Setiap kemoterapi yang dijalaninya membawa efek samping yang semakin parah. Ia tak hanya kehilangan rambut, tapi juga berat badan yang terus menurun, dan energi yang hilang.

Lila, yang tak mengerti sepenuhnya, hanya melihat ibunya dengan tatapan bingung. "Ibu, kenapa kelihatan capek terus? Ayo, main sama Lila!"

Sinta tersenyum lemah, berusaha menyembunyikan rasa sakit di dalam dadanya. "Ibu capek, Nak. Tapi Ibu akan segera sembuh. Kita akan bermain nanti, ya?"

Waktu terus berjalan, dan harapan mulai memudar. Sinta semakin sulit bernapas, dan rasa sakitnya tak tertahankan lagi. Suatu malam, setelah kemoterapi terakhir yang menguras seluruh tenaganya, Sinta terbaring lemah di tempat tidur, tubuhnya kedinginan, mata yang biasanya penuh semangat kini kosong.

Dimas duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat, air mata mengalir di pipinya. "Sinta, tolong jangan pergi. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Sinta membuka matanya yang sayu, memberikan senyum tipis. "Aku... aku sudah berusaha, Mas. Tapi tubuh ini tidak bisa lagi bertahan. Jaga Lila. Jangan biarkan dia merasakan kehilangan."

Lila yang terjaga, mendekat dan menggenggam tangan ibunya. "Ibu, jangan tinggalkan Lila. Lila janji akan jadi anak yang baik."

Dengan napas yang semakin berat, Sinta mengusap kepala Lila sekali lagi, mencoba memberi kekuatan yang tersisa. "Ibu... akan selalu ada di hati Lila," bisiknya, lalu matanya terpejam untuk selamanya.

Keesokan harinya, Sinta pergi meninggalkan dunia ini. Kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam bagi Dimas dan Lila, namun mereka tahu, cinta Sinta akan selalu hidup dalam setiap kenangan dan pelajaran yang ia tinggalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun