Merujuk pada istilah budaya, pemikiran Adorno dan Horkheimer (2019) dalam karya The Culture Industry: Enlightement as Mass Deception mengemukakan bahwa dengan berfokus pada akumulasi modal untuk mencari keuntungan, maka sesungguhnya masyarakat sudah ditipu oleh struktur industri budaya, sehingga mengorbankan otonomi estetika dari produk budaya. Berbagai karya yang menjadi produk budaya menjadi palsu karena kehilangan daya kreatif dan otonomi bebas pembuatnya. Kualitas produk budaya menjadi bernilai tinggi ketika nilai tukar yang diperoleh bisa menghasilkan keuntungan maksimal.
     Adorno menjelaskan bahwa industri budaya diekspresikan dalam bentuk seni yang naratif dan berulang-ulang, dengan menegaskan bahwa industri budaya tidak melibatkan rasionalitas manusia untuk berpikir. Sebaliknya, hanya menjabarkan seni dan memberikan narasi semu semata. Masyarakat sebagai massa menemukan diri mereka hanya pasrah ke dalam perangkap budaya ini tanpa mempraktikkan "kebebasan berpikir" (Horkheimer & Adorno, 1993). Adorno menyoroti bagaimana industri budaya berfokus pada logika pasar dan memperlakukan karya budaya sebagai komoditas. Produk-produk budaya diproduksi dengan tujuan memenuhi keinginan dan kebutuhan pasar, bukan sebagai ungkapan artistik atau nilai-nilai intrinsik. Hal ini mengarah pada pengejaran keuntungan, mengutamakan kepuasan permintaan pasar dan mengabaikan nilai-nilai artistik atau esensi estetika budaya, yang seharusnya mencerminkan pengalaman manusia yang autentik dan unik.
     Ketidaksadaran individu dalam mengkonsumsi produk budaya merupakan bentuk nyata atas pemikiran Adorno dan Horkheimer tentang penalaran dan pertimbangan manusia dalam logika komoditas sudah lenyap, dan berakibat besar dalam rasionalitas instrumental. Masyarakat tenggelam dalam penindasan industri budaya oleh kaum kapitalis, penguasa dan pemilik modal sehingga resepsi atau penerimaan atas realitas menjadi tersamarkan oleh nilai tukar (exchange value). Bukan lagi nilai guna, tetapi nilai budaya yang mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar (Barker, 2004).
     Industri budaya membuai masyarakat dalam manipulasi akan kebutuhan-kebutuhan palsu yang hanya bisa dipenuhi dengan mengkonsumsi produk budaya. Manusia memberhalakan komoditas industri budaya sebagai jawaban atas kebutuhan hidup. Gambaran industri budaya ini menurut Adorno serupa dengan konsep fetisisme komoditas dalam pemikiran Marx. Industri budaya membentuk selera pasar dan kecenderungan pasar sehingga membungkam keinginan konsumen dalam bentuk kesadaran palsu atas kebutuhan-kebutuhan manipulatif (Strinati, 2004).
     Adorno menekankan pada pentingnya kritisisme terhadap budaya massa dan industrialisasi budaya untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alienasi dan dominasi dalam masyarakat kontemporer. Pemikiran Adorno mendorong masyarakat untuk melihat melampaui permukaan budaya massa dan mengembangkan kemampuan kritis untuk memahami dan menantang struktur dan mekanisme kekuasaan yang ada di dalamnya. Suatu budaya yang bukan budaya massa dibuat karena industri mencoba mengejar keuntungan atau profit. Dengan diproduksi secara masif atau massal, maka keuntungan yang didapat lebih banyak dalam mekanisme sistem cara produksi yang manipulatif. Masyarakat tidak menjadi kritis terhadap budaya massa dan hanya mengikuti apa yang sedang terjadi di sekitar atau menjadi tren belaka. Secara tidak langsung produksi budaya massa berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat, seperti perilaku konsumtif terhadap produk budaya. Namun demikian, penindasan manusia akibat penguasaan industri budaya justru terletak pada logika konsumsi yang dirancang kaum kapitalis. Masyarakat hanya terfokus pada logika konsumsi sehingga tindakan konsumsi menjadi titik tolak penilaian akan orang lain, berdasarkan pada apa yang melekat pada komoditas yang dikonsumsi. Realitas ini menjadi ciri perkembangan kapitalisme global yang membutuhkan masyarakat konsumen (consumer society) sebagai objek bagi produk kapitalisme yang kehilangan kesadaran kritisnya (Napitupulu et al., 2022).
     Dalam industri budaya, unsur budaya seperti seni diproduksi secara industrial untuk kepentingan kapital, bukan mengagungkan estetika seni yang otonom. Tidak hanya karya seniyang dinilai sesuai harga jual, melainkan mayoritas diproduksi sesuai kesukaan publik. Kreativitas yang diekspresikan oleh seniman, menjadi produk industri budaya yang diperjualbelikan. Sementara makna budaya adalah 'penangguhan objektifikasi', dan ini menunjukkan kesulitan yang sebenarnya, yaitu gagasan tentang budaya itu sendiri. Budaya hanya bisa bertahan hanya karena ketidakadilan yang telah dilakukan dalam lingkup produksi. Kritik Adorno terhadap kebudayaan massa merujuk pada bentuk dominasi dan pengendalian yang mempengaruhi masyarakat modern. Adorno mengkritik kecenderungan industri budaya untuk menghasilkan produk-produk yang seragam dan homogen. Menurutnya, budaya massa cenderung memproduksi karya-karya yang mengikuti formula dan standar pasar yang ditentukan, menghasilkan produk budaya yang serupa dan tanpa keunikan. Hal ini mengabaikan nilai-nilai artistik dan kreativitas, serta menghambat kebebasan individu untuk mengembangkan bentuk-bentuk budaya yang berbeda.
     Pemikiran Adorno tergambar nyata dalam komunikasi media baru di era digital. Berpijak pada produk seni dalam industri budaya yang dikritisi Adorno, maka produk budaya yang ditawarkan kepada masyarakat saat ini sudah menjelma dalam bentuk konten media. Derasnya arus komunikasi digital dalam kecanggihan teknologi membuat masyarakat tertidur dalam perilaku konsumtif media digital. Sebagai konsumen media digital, masyarakat merasa sebagai subjek yang bebas mengekspresikan segala ide dan kreativitasnya. Tanpa disadari, masyarakat menjadi objek untuk mereproduksi konten-konten digital yang memberikan keuntungan bagi kaum kapital. Masyarakat berupaya untuk menghasilkan konten digital yang menarik, agar bisa mendapatkan pengikut dalam jumlah banyak, dan bisa menghasilkan uang dari popularitas konten tersebut. Pada akhirnya, fenomena ini mendorong terciptanya masyarakat konsumen yang selalu haus akan konsumsi konten digital tanpa henti.
     Kapitalisme teknologi hanya perlu menanamkan kesadaran palsu dengan menyediakan platform komunikasi. Selebihnya, masyarakat yang justru bekerja untuk menghasilkan konten media, yang tanpa disadari membuka lebar peluang keuntungan bagi kaum kapital melalui ketertarikan para pengiklan. Di sisi lain, media massa ikut melancarkan pengaruh kapital dengan menjadikan konten media sebagai berita yang berkualitas. Jika dicermati, saat ini media massa konvensional, seperti televisi seringkali mengangkat berita yang bersumber dari konten media yang sedang viral, hingga terkadang mengabaikan nilai berita sebagai indikator kualitas pemberitaan. Bahkan, televisi pun menyajikan program berita yang secara khusus menayangkan konten-konten media baru, seperti media sosial demi tujuan menaikkan rating. Popularitas konten media sosial tersebut menjadi penanda bahwa konten tersebut bisa berdampak serupa jika dimunculkan dalam media televisi.
     Dalam praktik komunikasi, keberadaan konsumen virtual sebagai akibat adanya media baru membawa komodifikasi Adorno ke level yang lebih ekstrim. Menurut Dallas Smythe (1981) dalam McGuigan dan Manzerolle, (2014), ada dimensi ganda dari peran produktif media dalam hal kapitalisme komunikatif. Logika produksi Adorno mereproduksi konsumen menjadi penggerak kapitalisme. Komodifikasi yang disebut Smythe sebagai komodifikasi audiens dalam pemasaran digital dan memainkan peran media massa dalam pengembangan pasar audiens. Akibatnya, konsep pemasaran digital mensyaratkan standar mengenai testimoni, review, rating produk yang berujung pada peningkatkan produksi dalam tujuan mencari keuntungan. Masyarakat hanyut dalam ketidaksadaran sebagai audiens yang menjadi komoditas dalam praktik komodifikasi.
     Berbagai aplikasi komunikasi yang ditawarkan teknologi juga merupakan bentuk komoditas yang telah dikomodifikasi sedemikian rupa menjadi suatu kebutuhan palsu yang tanpa disadari masyarakat. Jika dicermati, berbagai aplikasi  yang ditawarkan pun memperlihatkan pengembangan fitur yang seolah-olah selalu update. Bahkan tidak jarang menawarkan fitur premium, yang bagi masyarakat sebagai suatu prestise jika memiliki fitur tersebut. Individu kemudian menilai praktik komunikasi lebih berkualitas jika seseorang memiliki dan mengonsumsi aplikasi tersebut. Selanjutnya, masyarakat konsumen bisa beranggapan bahwa orang yang tidak mengikuti kemajuan teknologi tersebut sebagai individu yang ketinggalan zaman atau tidak kekinian.