Pernahkah Anda mengunjungi cafe dan resto karena ulasan pemengaruh atau influencer di Instagram? Atau pernahkah Anda membeli sebuah produk karena terpikat oleh visualisasi yang menarik di TikTok? Atau pernahkah Anda berlibur ke suatu destinasi wisata setelah menonton konten dari berbagai akun referensi travelling di media sosial? Jika ya, lalu bagaimana pengalaman yang Anda rasakan? Apakah yang Anda lihat tersebut selalu dan pasti sesuai dengan kenyataan? Faktanya, terkadang kita justru kecewa, realitas jauh dari harapan. Bahkan, muncul penyesalan dan akhirnya menjadikan pengalaman itu sebagai yang pertama dan terakhir.
     Tidak bisa dipungkiri, saat keberadaan media sosial menjadi salah satu sumber informasi dan referensi pada era digital. Di Indonesia, We Are Social pada awal tahun 2023 mendata jumlah pengguna media sosial aktif sebesar 167 juta orang (Riyanto, n.d.). Angka ini setara dengan 60,4% dari populasi masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengungkapkan bahwa durasi konsumsi internet masyarakat Indonesia adalah 7 jam 42 menit, dan hampir setengah waktu tersebut, yaitu 3 jam 15 menit dihabiskan untuk bermedia sosial (Napitupulu, 2023). Dengan demikian, tidak heran jika media sosial seolah menjadi ruang serba ada dalam genggaman tangan bermodalkan internet dan telepon pintar (smartphone).
     Kenyataan dunia virtual dalam media sosial tidak selalu berbanding lurus dengan realitas sesungguhnya. Informasi yang berujung hoax, porsi makanan dan minuman yang tidak sesuai, keindahan alam dan kecantikan buatan alias hasil editing, hingga potret keluarga harmonis yang hanya pencitraan. Namun demikian, sebagian besar pengguna media sosial tetap menikmati kepuasan mengonsumsi beragam konten media sosial. Bahkan, seringkali malah menjadi creator dari konten-konten tersebut. Konten media sosial yang jauh dari dunia nyata. Kenyataan palsu ini justru dianggap sebagai sesuatu yang bernilai estetik dan sarat akan kreativitas.Â
     Fenomena sosial ini menjadi lukisan nyata dari pemikiran Jean Baudrillard, seorang sosiolog dan filsuf postmodernis berkebangsaan Perancis. Berbeda dari para tokoh filsuf umumnya yang berfokus pada metafisika dan epistemologi, Filsuf kelahiran 20 Juni 1929 ini menjadikan budaya sebagai pusat pengkajian yang berbasis dari isu-isu kontemporer. Sejalan dengan semangat postmodernis, seperti Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jacques Lacan, dan Fredrick Jameson, seorang Baudrillard mengkritik realitas modernitas yang justru gagal membawa masyarakat ke era pencerahan. Modernitas dalam jebakan industrialisasi, kecanggihan teknologi, hingga digitalisasi hanya mengungkung manusia dari kebebasan menjadi manusia yang independen.
     Menurut Baudrillard, dunia postmodernis telah menghilangkan kekuasaan atas adanya batasan-batasan dan perbedaan-perbedaan penting, seperti antara kelas sosial, gender, kecenderungan politik, dan wilayah masyarakat budaya yang awalnya otonom. Alhasil, diferensiasi sebagai karakteristik masyarakat modern dalam teori sosial klasik, bagi Baudrillard berganti menjadi dediferensiasi sebagai runtuhnya (kekuatan) perbedaan, atau ledakan; "postmodern societies are characterized by dedifferentiation, the "collapse" of (the power of) distinctions, or implosion" (Baudrillard, 1985). Ledakan ini menjadi keruntuhan akan segala perbedaan antar individu, antar kelompok, sehingga esensi dari masing-masing manusia seakan hilang lenyap.
     Konsep utama dalam pemikiran kritis Baudrillard berfokus pada "simulasi", dan hiperrealitas". Kedua istilah ini termuat dalam karya Baudrillard berjudul Simulacra and Simulations (1985). Kehidupan postmodernis merupakan dunia simulasi. Dalam pandangan Baudrillard, masyarakat simulasi merupakan wujud nyata karakter identitas masyarakat kontemporer. Kehidupan masyarakat simulasi berkutat dengan kesibukan akan absurditas kode, tanda dan simbol, dan bentuk model sebagai memproduksi dan reproduksi. Proses simulasi melalui penciptaan simulakra yang mereproduksi objek dan atau peristiwa. Simulakra mengaburkan batasan dan perbedaan antara yang asli dan buatan. Simulakra merupakan simulasi yang berbeda dari realitas.
     Ruang simulasi merupakan hasil konstruksi dari model atau simulakra belaka, sehingga bukan berasal dari kenyataan. Simulakra membuat manusia tidak berpijak pada realitas sesungguhnya.  Manusia menjadi individu yang kehilangan esensi diri, karena hanyut dalam pikiran-pikiran imajiner dan delusi dalam ruang simulasi yang berlangsung. Imajinasi, pandangan tidak rasional, dan khalayan ini membuat manusia terperangkap dalam kepalsuan yang dianggap asli dan nyata. Realitas semu dari hasil kepalsuan simulasi inilah yang diterjemahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas. Simulakra menenggelamkan realitas sesungguhnya dalam wujud sesuatu yang menarik dan indah sebagai suatu konsep yang ideal. Hiperrealitas menghadirkan realitas semu yang manipulatif, imajinatif, fantasi, halusinasi, dan bernilai kepura-puraan.Â
     Bertolak dari pemikiran Baudrillard, apakah Anda mampu membedakan mana nyata dan mana yang tidak saat menikmati berbagai konten dalam media sosial? Atau Anda cenderung tidak peduli karena derasnya arus informasi yang masuk sebagai notifikasi dalam perangkat digital Anda? Dalam tatanan masyarakat digital, aktivitas kehidupan manusia di dunia nyata berjalan berdampingan dengan di dunia maya. Pada saat bersamaan, seseorang bisa berinteraksi tatap muka, dan juga saling bertukar pesan melalui berbagai aplikasi daring, atau melakukan transaksi jual-beli di platform e-commerce. Inilah gambaran masyarakat postmodernis dalam jebakan era digital yang meninabobokan kesadaran manusia.Â
     Manusia terlelap dalam daya tarik konten-konten digital yang berlalu-lalang pada layar smartphone. Manusia menjadikan konten digital sebagai acuan referensi, sumber informasi utama, dan tempat mencari hiburan.  Berbekal akses internet, seseorang bisa larut dalam adiksi konten media sosial yang luar biasa dengan terus menscroll layar tanpa henti. Ini sejalan dengan pemikiran Baudrillard yang menekankan pada aspek konsumsi media. Masyarakat kapitalis lanjut dalam postmodernis diatur melalui simulasi dan permainan tanda atau imaji. Kepuasan akan konsumsi tanda dan imaji ini kemudian menciptakan spectacle society atau masyarakat penonton (Baudrillard, 1985). Adiksi menonton konten digital yang seringkali membuat seseorang lupa akan segala hal. Lupa makan, lupa beristirahat, lupa mengerjakan tugas sekolah, lupa menyelesaikan deadline pekerjaan, lupa beribadah, bahkan lupa berinteraksi dengan dunia nyata di depan mata.
     Apabila dicermati lebih kritis, bukankah sebagian besar dari konten-konten digital tersebut "memang sengaja" dibuat. Dalam pandangan Baudrillard, media sosial menjadi ruang simulasi, sehingga kesengajaan yang dibuat mengarah pada realitas semu. Artinya, konten media sosial berpotensi menciptakan hiperrealitas yang bukan berasal dari kenyataan. Bahkan netizen atau citizen of net atau warga internet atau warganet, khususnya generasi muda, cenderung memiliki lebih dari satu akun media sosial. Ada yang memiliki akun privat atau second account, atau multiple account (Kurnia, 2022; Purwaningtyas & Alicya, 2020; Tsikerdekis & Zeadally, 2014; Wattimena et al., 2022; Yamak et al., 2017). Masing-masing akun menjadi ruang simulasi yang berbeda-beda, dan disesuaikan dengan realitas yang ingin dihadirkan.
     Batas antara nyata dan buatan menjadi kabur ketika seseorang berupaya memproduksi konten sesuai dengan konsep ideal atau imajinasi yang dicita-citakan. Pemahaman "ideal" ini bisa disejajarkan dengan istilah "viral", atau bernilai estetika tinggi. Di sisi lain, "ideal" juga bisa dikonversi dengan tinggi angka likes, comment, subscribe, atau repost. Masyarakat digital mendambakan popularitas di dunia virtual. Dengan demikian, ruang simulasi didesain sedemikian rupa agar menghasilkan konten digital yang cenderung melebih-lebihkan dari realitas sebenarnya. Kenyataannya, seringkali kita menghabiskan waktu untuk berulang kali mengambil foto diri, atau mengedit foto sebelum mengunggah ke media sosial, atau mengatur susunan kalimat dan pemilihan kata untuk dituliskan pada caption. Lebih jauh lagi, kita mengatur waktu posting dengan tema-tema yang sudah kita tentukan demi menunjang personal branding atau citra atau presentasi diri yang ingin kita bangun melalui media sosial.
     Dengan konten yang memuat realitas semu tersebut, masyarakat digital terpuaskan dalam mengonsumsi hiperrealitas yang kita ciptakan. Tidak berhenti di situ, kecanggihan fitur-fitur media sosial pun mendorong kita untuk membagikan (share) tautan atau link, menandai (tag), mengunggah ulang (repost) realitas semu tersebut ke banyak orang secara daring.Dalam interaksi tatap muka pun, tidak jarang kita saling menunjukkan konten-konten digital yang kita temui saat sedang scrolling layar ponsel. Aktivitas ini kemudian berujung pada diskusi atau obrolan-obrolan yang seolah-olah mengindikasikan bahwa konten digital tersebut adalah nyata.
     Padahal, Baudrillard (1985) menyatakan bahwa simulasi merupakan proses representasi dari  suatu  objek  sebagai  referensi  yang  pada  akhirnya  dianggap  menggantikan objek aslinya. Representasi tersebut kemudian menjadi nyata dan dianggap lebih nyata dari objek aslinya (Oktavianingtyas et al., 2021). Bukan hanya ketersediaan fitur media sosial untuk membagikan hiperrealitas saja, kepiawaian perusahaan media sosial dalam menyajikan fitur untuk memproduksi realitas semu pun menjadi simulator handal dalam proses representasi objek. Tidak bisa disangkal, unggahan konten digital yang dimuat dalam media sosial merupakan hasil rekayasa filter media sosial yang manipulatif. Keaslian foto atau gambar bergeser menjadi sesuatu yang lebih menarik secara visualisasi dan berada pada level hiperrealitas. Dengan demikian, dalam pembahasan teori-teori kritis, keberadaan perusahaan-perusahaan media sosial bisa ditempatkan sebagai kaum kapitalis yang menindas masyarakat. Bentuk penindasan yang dilakukan adalah dengan terus berinovasi menciptakan fitur-fitur terbaru dan kekiniian demi menunjang proses simulasi untuk representasi objek dalam konten digital.
     Runtuhnya kekuasaan atas adanya batasan-batasan dan perbedaan-perbedaan penting dalam perspektif Baudrillard nyata terjadi ketika para warganet berupaya menduplikasi hiperrealitas dalam media sosial. Seberapa sering seseorang meniru konten-koten yang viral atau yang meraih popularitas, atau bahkan menuai kontroversi? Seberapa banyak konsumsi konten-konten yang muncul pada media sosial kita mencerminkan realitas semu yang sama atau homogen. Implikasi paling nyata adalah ketika seseorang mengimitasi gaya hidup para selebriti, pemengaruh atau influencer, dan publik figur terkenal lainnya setelah mengonsumsi konten-konten digital mereka. Oleh karena itu, Baudrillard mengemukakan bahwa penciptaan simulakra yang mereproduksi objek dan atau peristiwa berimplikasi ganda. Seseorang mereproduksi objek yang bukan realitas sesungguhnya, dan masyarakat penonton mereproduksi objek tersebut dalam ruang simulasi yang serupa. Siklus ini berulang terus tanpa henti, dan berujung pada hilangnya kesadaran manusia untuk bebas berkreasi sesuai hakekatnya sebagai manusia otonom. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah, apakah benar media sosial menjadi ruang untuk mengekspresikan diri jika pada akhirnya warganet hanya menduplikasi realitas semu yang penuh kepura-puraan?
     Berdasarkan pemikiran Baudrillard, masyarakat digital di Indonesia sama dengan situasi masyarakat kapitalis konsumer Barat yang terjebak dalam aktivitas over-produksi, over-komunikasi, dan over-konsumsi (Piliang, 2003). Produksi konten digital makin tinggi, dan ditandai dengan munculnya profesi content creator, atau kehadiran social media influencer yang nonstop mempromosikan produk atau jasa atau kampanye atau kegiatan tertentu. Bahkan dimana dan kemana kita pergi, pasti kita menyaksikan bagaimana orang-orang sekitar sibuk ngonten untuk dipajang di media sosial. Realitas komunikasi juga menjadi berlebihan, baik verbal maupun non-verbal, hingga mengaburkan arus informasi yang bergulir di media sosial. Ada tutur kata, penggunaan bahasa yang sangat tertata, diimbangin dengan bahasa tubuh yang sangat baik hingga memunculkan kesan "too good to be true". Atau sebaliknya, komunikasi yang bernuansa negatif yang berakhir pada informasi hoaks, ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik. Konsumsi media sosial secara berlebihan sangat jelas terlihat ketika masyarakat sudah terikat dan tidak bisa lepas dari media sosial. Rasa penasaran yang berlebihan memunculkan keinginan agresif untuk menjadi yang pertama mengetahui update info, berita, gosip, bahkan isu terkini. Keadaan ini pun seringkali diistilahkan dengan singkatan FOMO (fear of missing out). Dalam berbagai aktivitas sehari-hari, media sosial terkadang menjadi pelarian ketika sedang bosan atau bahkan saat mengerjakan tugas dan tanggung jawab lainnya, seperti mendengarkan arahan pimpinan, saat menerima pelajaran atau perkuliahan dalam studi, atau di tengah acara keagamaan atau ibadah.
     Akhirnya, pemikiran kritis Baudrillard menjadi fondasi yang relevan dalam menyikapi perkembangan era digital di Indonesia. Simulasi menjadi sesuatu yang tak terelakkan terjadi. Meluapnya konten-konten digital seringkali hanyalah buatan media dalam kecanggihan teknologi yang terus-menerus diperbarui tanpa henti. Reproduksi tanda, gambar, atau imaji, dan berbagai simbol bukanlah realitas sesungguhnya, melainkan realitas semu belaka.  Hiperrealitas pun menjadi jebakan untuk mencapai sesuatu yang ideal, dengan kesibukan memoles konten, membuat banyak akun dengan identitas berbeda, hingga meniru konten-konten yang dianggap original padahal palsu dalam kemasan estetika yang menarik. Hiperrealitas menjerumuskan manusia dalam persepsi yang mengutamakan ekstasi citraan dan permukaan ketimbang nilai transedental. Inilah yang menjadi perangkap digital yang mematikan originalitas manusia dari realitas sesungguhnya. Manusia kebingungan memilah-milih mana yang nyata dan mana yang fiksi. Lalu terkubur dalam realitas semu yang hanya terpaku pada imajinasi dan khayalan dunia virtual.
     Aktivitas bermedia sosial menjadi cerminan dunia simulasi yang mengagungkan hiperrealitas. Jangan selalu percaya dan terperdaya dalam ruang simulasi media sosial, sehingga tidak tertidur pulas dalam hiperrealitas konten digital. Bijak bermedia sosial dengan menjadi manusia kritis dalam kesadaran yang tetap berpijak pada kenyataan, bukan rekaan rekayasa semu.
REFERENSI
Baudrillard, J. (1985). Simulacra and Simulations. Sage Publications, Ltd.
Kurnia, G. (2022). Self-Disclosure pada Pengguna Second Account Instagram. Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, 3(2), 50--69.
Napitupulu, E. L. (2023, December 20). Talenta Digital Perkuat Inovasi Bangsa. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/20/talenta-digital-perkuat-inovasi-bangsa
Oktavianingtyas, I., Seran, A., & Sigit, R. R. (2021). Jean Baudrillard dan Pokok Pemikirannya. PROPAGANDA, 1(2), 113--121.
Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Jalasutra.
Purwaningtyas, M. P. F., & Alicya, D. A. (2020). The fragmented self: having multiple accounts in Instagram usage practice among Indonesian youth. Jurnal Media Dan Komunikasi Indonesia, 1(2), 171--182.
Riyanto, A. D. (n.d.). Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2022. 2022.
Tsikerdekis, M., & Zeadally, S. (2014). Multiple account identity deception detection in social media using nonverbal behavior. IEEE Transactions on Information Forensics and Security, 9(8), 1311--1321.
Wattimena, G. H. J. A., Ramadhani, Y. D., & Marsetio. (2022). Second Account Instagram sebagai Ruang Ekspresi Generasi Milenial. Jurnal Pewarta Indonesia, 4(2), 212--222.
Yamak, Z., Saunier, J., & Vercouter, L. (2017). Automatic detection of multiple account deception in social media. Web Intelligence, 15(3), 219--231.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H