Batas antara nyata dan buatan menjadi kabur ketika seseorang berupaya memproduksi konten sesuai dengan konsep ideal atau imajinasi yang dicita-citakan. Pemahaman "ideal" ini bisa disejajarkan dengan istilah "viral", atau bernilai estetika tinggi. Di sisi lain, "ideal" juga bisa dikonversi dengan tinggi angka likes, comment, subscribe, atau repost. Masyarakat digital mendambakan popularitas di dunia virtual. Dengan demikian, ruang simulasi didesain sedemikian rupa agar menghasilkan konten digital yang cenderung melebih-lebihkan dari realitas sebenarnya. Kenyataannya, seringkali kita menghabiskan waktu untuk berulang kali mengambil foto diri, atau mengedit foto sebelum mengunggah ke media sosial, atau mengatur susunan kalimat dan pemilihan kata untuk dituliskan pada caption. Lebih jauh lagi, kita mengatur waktu posting dengan tema-tema yang sudah kita tentukan demi menunjang personal branding atau citra atau presentasi diri yang ingin kita bangun melalui media sosial.
     Dengan konten yang memuat realitas semu tersebut, masyarakat digital terpuaskan dalam mengonsumsi hiperrealitas yang kita ciptakan. Tidak berhenti di situ, kecanggihan fitur-fitur media sosial pun mendorong kita untuk membagikan (share) tautan atau link, menandai (tag), mengunggah ulang (repost) realitas semu tersebut ke banyak orang secara daring.Dalam interaksi tatap muka pun, tidak jarang kita saling menunjukkan konten-konten digital yang kita temui saat sedang scrolling layar ponsel. Aktivitas ini kemudian berujung pada diskusi atau obrolan-obrolan yang seolah-olah mengindikasikan bahwa konten digital tersebut adalah nyata.
     Padahal, Baudrillard (1985) menyatakan bahwa simulasi merupakan proses representasi dari  suatu  objek  sebagai  referensi  yang  pada  akhirnya  dianggap  menggantikan objek aslinya. Representasi tersebut kemudian menjadi nyata dan dianggap lebih nyata dari objek aslinya (Oktavianingtyas et al., 2021). Bukan hanya ketersediaan fitur media sosial untuk membagikan hiperrealitas saja, kepiawaian perusahaan media sosial dalam menyajikan fitur untuk memproduksi realitas semu pun menjadi simulator handal dalam proses representasi objek. Tidak bisa disangkal, unggahan konten digital yang dimuat dalam media sosial merupakan hasil rekayasa filter media sosial yang manipulatif. Keaslian foto atau gambar bergeser menjadi sesuatu yang lebih menarik secara visualisasi dan berada pada level hiperrealitas. Dengan demikian, dalam pembahasan teori-teori kritis, keberadaan perusahaan-perusahaan media sosial bisa ditempatkan sebagai kaum kapitalis yang menindas masyarakat. Bentuk penindasan yang dilakukan adalah dengan terus berinovasi menciptakan fitur-fitur terbaru dan kekiniian demi menunjang proses simulasi untuk representasi objek dalam konten digital.
     Runtuhnya kekuasaan atas adanya batasan-batasan dan perbedaan-perbedaan penting dalam perspektif Baudrillard nyata terjadi ketika para warganet berupaya menduplikasi hiperrealitas dalam media sosial. Seberapa sering seseorang meniru konten-koten yang viral atau yang meraih popularitas, atau bahkan menuai kontroversi? Seberapa banyak konsumsi konten-konten yang muncul pada media sosial kita mencerminkan realitas semu yang sama atau homogen. Implikasi paling nyata adalah ketika seseorang mengimitasi gaya hidup para selebriti, pemengaruh atau influencer, dan publik figur terkenal lainnya setelah mengonsumsi konten-konten digital mereka. Oleh karena itu, Baudrillard mengemukakan bahwa penciptaan simulakra yang mereproduksi objek dan atau peristiwa berimplikasi ganda. Seseorang mereproduksi objek yang bukan realitas sesungguhnya, dan masyarakat penonton mereproduksi objek tersebut dalam ruang simulasi yang serupa. Siklus ini berulang terus tanpa henti, dan berujung pada hilangnya kesadaran manusia untuk bebas berkreasi sesuai hakekatnya sebagai manusia otonom. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah, apakah benar media sosial menjadi ruang untuk mengekspresikan diri jika pada akhirnya warganet hanya menduplikasi realitas semu yang penuh kepura-puraan?
     Berdasarkan pemikiran Baudrillard, masyarakat digital di Indonesia sama dengan situasi masyarakat kapitalis konsumer Barat yang terjebak dalam aktivitas over-produksi, over-komunikasi, dan over-konsumsi (Piliang, 2003). Produksi konten digital makin tinggi, dan ditandai dengan munculnya profesi content creator, atau kehadiran social media influencer yang nonstop mempromosikan produk atau jasa atau kampanye atau kegiatan tertentu. Bahkan dimana dan kemana kita pergi, pasti kita menyaksikan bagaimana orang-orang sekitar sibuk ngonten untuk dipajang di media sosial. Realitas komunikasi juga menjadi berlebihan, baik verbal maupun non-verbal, hingga mengaburkan arus informasi yang bergulir di media sosial. Ada tutur kata, penggunaan bahasa yang sangat tertata, diimbangin dengan bahasa tubuh yang sangat baik hingga memunculkan kesan "too good to be true". Atau sebaliknya, komunikasi yang bernuansa negatif yang berakhir pada informasi hoaks, ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik. Konsumsi media sosial secara berlebihan sangat jelas terlihat ketika masyarakat sudah terikat dan tidak bisa lepas dari media sosial. Rasa penasaran yang berlebihan memunculkan keinginan agresif untuk menjadi yang pertama mengetahui update info, berita, gosip, bahkan isu terkini. Keadaan ini pun seringkali diistilahkan dengan singkatan FOMO (fear of missing out). Dalam berbagai aktivitas sehari-hari, media sosial terkadang menjadi pelarian ketika sedang bosan atau bahkan saat mengerjakan tugas dan tanggung jawab lainnya, seperti mendengarkan arahan pimpinan, saat menerima pelajaran atau perkuliahan dalam studi, atau di tengah acara keagamaan atau ibadah.
     Akhirnya, pemikiran kritis Baudrillard menjadi fondasi yang relevan dalam menyikapi perkembangan era digital di Indonesia. Simulasi menjadi sesuatu yang tak terelakkan terjadi. Meluapnya konten-konten digital seringkali hanyalah buatan media dalam kecanggihan teknologi yang terus-menerus diperbarui tanpa henti. Reproduksi tanda, gambar, atau imaji, dan berbagai simbol bukanlah realitas sesungguhnya, melainkan realitas semu belaka.  Hiperrealitas pun menjadi jebakan untuk mencapai sesuatu yang ideal, dengan kesibukan memoles konten, membuat banyak akun dengan identitas berbeda, hingga meniru konten-konten yang dianggap original padahal palsu dalam kemasan estetika yang menarik. Hiperrealitas menjerumuskan manusia dalam persepsi yang mengutamakan ekstasi citraan dan permukaan ketimbang nilai transedental. Inilah yang menjadi perangkap digital yang mematikan originalitas manusia dari realitas sesungguhnya. Manusia kebingungan memilah-milih mana yang nyata dan mana yang fiksi. Lalu terkubur dalam realitas semu yang hanya terpaku pada imajinasi dan khayalan dunia virtual.
     Aktivitas bermedia sosial menjadi cerminan dunia simulasi yang mengagungkan hiperrealitas. Jangan selalu percaya dan terperdaya dalam ruang simulasi media sosial, sehingga tidak tertidur pulas dalam hiperrealitas konten digital. Bijak bermedia sosial dengan menjadi manusia kritis dalam kesadaran yang tetap berpijak pada kenyataan, bukan rekaan rekayasa semu.
REFERENSI
Baudrillard, J. (1985). Simulacra and Simulations. Sage Publications, Ltd.
Kurnia, G. (2022). Self-Disclosure pada Pengguna Second Account Instagram. Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, 3(2), 50--69.
Napitupulu, E. L. (2023, December 20). Talenta Digital Perkuat Inovasi Bangsa. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/20/talenta-digital-perkuat-inovasi-bangsa