Relasi maritim tersebut menunjukkan bahwa aspek laut memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian Nusantara di tingkat regional bahkan internasional di masa itu. Komoditas rempah-rempah diangkut dari wilayah yang jauh di bagian timur Nusantara hingga menuju bagian paling barat Nusantara. Tak hanya itu, peran pelabuhan Malaka bagi kapal-kapal yang singgah juga menawarkan utilitas yang esensial. Banyak kapal-kapal asing--dimana salah satunya merupakan iring-iringan Portugis pimpinan Alfonso D'albuquerque--yang menepi untuk mengisi perbekalan atau hanya untuk sekedar beristirahat dari perjalanan laut yang panjang dan penuh rintangan.Â
Hubungan kedua pusat pelabuhan pesisir ini tidak hanya sebatas itu. Kapal-kapal yang menepi tersebut tentu juga melewati daerah-daerah pesisir lainnya yang ada di Nusantara, seperti Timor, Flores, Alor, dan lain-lain. Sistem perkapalan dan pelayaran yang sudah maju pun mendukung interaksi yang lebih luas dan beragam di Nusantara. Oleh karena itu, hubungan antara Malaka dan Kepulauan Maluku pada abad ke-10 hingga 19 masehi sudah menunjukkan aktivitas pelayaran dan perdagangan yang ramai.Â
Politik Rempah-Rempah
Sesampainya di Nusantara dan melihat bahwa tanah Timur adalah penghasil rempah-rempah yang menjanjikan serta tidak ingin kalah dalam persaingan menjual rempah-rempah dengan pedagang Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris, Belanda membuat sebuah kongsi dagang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie atau yang lebih dikenal sebagai VOC.Â
VOC didirikan pada tahun 1602, 6 tahun setelah kedatangan Cornelis de Houtman dan anak buahnya di Nusantara. VOC merupakan kongsi dagang yang sangat kuat dan besar. Dalam jangka waktu hampir 200 tahun berdiri sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 1799 akibat beberapa masalah internal maupun eksternal, kekayaan VOC dapat dikatakan jauh melebihi perusahaan-perusahaan besar masa kini seperti Microsoft, Volkswagen, Walmart, Amazon, dan sebagainya. Kendati demikian, apakah hal ini berarti pihak manajerial VOC memang mahir dalam menjalankan bisnis mereka, atau kekayaan itu mampu mereka dapatkan murni karena komersialisasi rempah-rempah Nusantara yang sebetulnya bukan milik mereka? Sejatinya, manajerial yang terstruktur dengan baik tentu tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan jika bukan karena komoditas yang diperjualbelikan itu sendiri.
Dalam menjalankan aktivitas perdagangannya, VOC bahkan mengatur penguasa-penguasa daerah sekitar hingga masalah terkecil sekalipun. Setelah merebut wilayah timur Nusantara, beberapa serangan politik dilancarkan oleh VOC terhadap penguasa setempat. Salah satunya Kesultanan Ternate dan Tidore dipaksa menerima kekuasaan VOC atas mereka.Â
Hal ini kemudian berimbas pada monopoli perdagangan cengkeh dan pala yang menjadi komoditas utama disana. Mereka membakar semua pohon rempah-rempah di Maluku dan hanya menyisakan cengkeh dan pala saja. VOC membatasi jumlah pohon cengkeh dan pala yang boleh ditanam oleh rakyat. Strategi ini mereka lakukan untuk mempertahankan kelangkaan komoditas cengkeh dan pala di pasar rempah-rempah sehingga harga tetap tinggi. Hanya beberapa wilayah, seperti Saparua, Haruku, dan Nusalaut yang diperbolehkan menanam pohon-pohon tersebut. Tak hanya itu, setiap rumah di wilayah tersebut juga diwajibkan untuk menanam 10 pohon cengkeh setiap tahunnya. Mereka juga berlayar mengelilingi seluruh wilayah Maluku dengan armada laut mereka untuk melakukan pengecekan apakah ada wilayah lain selain Saparua, Haruku, dan Nusalaut yang ikut menanam tanaman rempah-rempah tersebut. Pengawasan ini disebut dengan Pelayaran Hongi, atau dalam bahasa Belanda disebut Hongi Tochten. Selama pengawasan dilakukan, apabila ditemukan pelanggaran atas proses produksi rempah-rempah, kebun-kebun yang kedapatan menanam cengkeh dan pala tanpa sepengetahuan VOC akan langsung dihancurkan dan dibakar, serta penduduk yang memiliki kebun itu akan ditangkap lalu diberi hukuman.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa motif kedatangan bangsa-bangsa Eropa dengan para pedagang dari wilayah Asia lainnya sangatlah berbeda. Para pedagang dari Cina, Arab, dan Persia datang ke Nusantara murni hanya untuk melakukan transaksi jual-beli rempah-rempah yang mereka butuhkan untuk kebutuhan spiritual, estetika, dan pengobatan dalam jumlah yang sesuai. Di sisi lain, bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda datang ke Nusantara dengan motif untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah untuk memperoleh kekayaan mereka sendiri. Dari sini, dua dari tiga semboyan 3G yang menjadi motivasi kedatangan bangsa Eropa, yaitu Gold dan Glory, sangat jelas tercermin. Dalam ungkapan yang lebih mudah, jika bangsa Asia Timur dan Tengah datang dengan "maksud baik," bangsa-bangsa Eropa datang dengan tujuan tertentu dan memiliki "maksud buruk."
Pelabuhan Ambon: Saksi Bisu Kekuasaan Imperialis VOC di Maluku
Kedatangan armada VOC di Maluku dipimpin oleh Admiral Steven van der Haghen yang diawali dengan perebutan benteng milik Portugis. Setelah benteng tersebut dihancurkan, pasukan Belanda yang memboyong VOC bersama mereka mendirikan sebuah benteng yang di kemudian hari dikenal sebagai benteng dimana pahlawan nasional asal Ambon yang wajahnya diabadikan di bagian depan uang Rp 1.000,00--Kapitan Pattimura--digantung, yaitu Benteng Victoria. Benteng ini kemudian menjadi pusat administrasi VOC di Maluku.Â
Oleh sebab interaksi perdagangan dan aktivitas keluar-masuk kapal di Maluku--khususnya Ambon--semakin ramai sejak kedatangan VOC, pada abad ke-17 dibangunlah sebuah pelabuhan di Ambon yang kemudian dikenal sebagai Pelabuhan Ambon. Pelabuhan Ambon menjadi pelabuhan utama yang mengangkut dan mengirimkan komoditas-komoditas rempah-rempah khas Maluku seperti cengkeh dan pala serta hasil laut seperti teripang dan mutiara ke pulau-pulau lain di Nusantara. Tak hanya itu, Pelabuhan Ambon juga sempat menjadi pangkalan militer utama VOC sebelum Belanda menaklukan Jayakarta dan memindahkan seluruh kekuatan militer serta urusan pemerintahannya ke Batavia di daerah Sunda Kelapa pada tahun 1619.