Mohon tunggu...
grace purwo nugroho
grace purwo nugroho Mohon Tunggu... advokat -

penggiat sosial dan politik. Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nilai yang Membentuk Indonesia

12 Mei 2019   19:01 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:18 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyumi sebagai media social politik, salah satu misinya adalah mendukung pan islamisme setidaknya untuk wilayah Indonesia karena ada janji kemerdekaan dari jepang. Dalam masyumilah muncul tokoh-tokoh yang menjadi wakil dalam BPUPK, yang kemudian juga muncul perdebatan untuk memasukan unsur islam (syariat) dalam proses penyusunan dasar negara dan konstitusi jika memang negara ini lahir.

Soal Dasar Negara

Perdebatan penjang mengenai dasar dan konstitusi negara, terjadi secara fenomenal dan cepat, pada pidato 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan pidato di BPUPK yang isinya menyampaikan konsepsi dasar negara Indonesia yakni, 1. Kebangsaan Indonesia (yang mencangkup semua golongan masyarakat, agama/etnis), 2. Internasionalisme/Perikemanusiaan (yakni ikut dalam persatuan dan persaudaraan dunia, 3. Mufakat/Demokrasi (mendasarkan diri pada permufakatan perwakilan, 4. Kesejahteraan social (kesejahateran dan keadilan dalam bidang ekonomi), 5. Ketuhanan yang berkebudayaan (soal taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai prinsip kemerdekaan).

Dalam konsespsi Soekarno ini dapat kita lihat bahwa ada unsur-unsur pandangan Kebangsaan (Nasionalisme) karena Indonesia harus bisa untuk hidup semua manusia penuh ragam. Demokrasi perwakilan dan Internasionalisme ini adalah produk jaman pencerahan, dimana didalamnya terdapat nilai-nilai Hak Asasi Manusia (produk pergulatan barat yang melahirkan liberalisme). Keadilan/kesejahteraan social dalam demokrasi ekonomi (bisa dipandang gagasan dari sosialisme) dan Ketuhanan yang mewakili ciri khas bangsa yang menganut agama, dimana agama besarnya adalah Islam.  Penjelasan sederhana, gagasan itu adalah percampuran antara konsep Nasionalisme yang bukan Chauvinis, Liberalisme, sosialisme dan agama, campuran yang unik yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu.

Konsep gagasan ini pun masih terjadi pertentangan, karena golongan islam ingin menerapkan konsep Syariat Islam bagi umat Islam, dan dalam konstitusi ada kewajiban presiden harus beragama Islam, konsep ini muncul pada 22 Juni 1945, atau yang dikenal sebagai Piagam Jakarta atau rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, konsep ini dihasilkan oleh Panitia kecil yang dipimpin Soekarno, berjumlah 9 (Sembilan) orang, diwakili kelompok Kebangsaan dan Kelompok Islam, dan panitia kecil ini adalah bagian dari BPUPK.

Konsep ini diterima, hingga menjelang kemerdekaan tokoh perwakilan di Indonesia bagian timur melakukan keberatan atas pencantuman syarat syariat agama Islam,  dan kemudian kelompok Kristen/Protestan juga melakukan keberatan kepada pemerintah Penjajah Jepang yang membentuk badan itu, dan lebih suka berdiri sendiri sebagai negara di luar Indonesia.  Singkatnya kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 di ubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal  UUD 45 menyatakan presiden adalah orang Indonesia asli (kata Islam di hilangkan).

Dari kompromi tersebut dapat terlihat bahwa kelompok islam yang tergabung dalam badan atau panitia tersebut sangat moderat, demi persatuan nasional dan semangat bersama, maka menerima konsep dasar negara yang tidak tegas mendasarkan diri  pada syariat Islam, dan dari sisi kerelaan umat islam perlu di apresiasi (walau tidak semua juga legowo tentunya), tetapi jika dilihat dari ukuran jumlah, non muslim pasti sangat minoritas. Ketika diselesai ditetapkan, maka tidak ada lagi pembahasan lebih lanjut karena sebagai negara baru saat itu belum tuntas menghadapi problem luar negeri karena belanda ingin kembali dan merasa masih mempunyai kuasa atas jajahannya, dan ada pula rongrongan dari dalam negeri.  Kaum nasionalis nampak cukup puas, tetapi kalangan agama dan sosialis masih merasa belum puas, dan dampak akan terasa dalam perjalanan bangsa Indonesi kedepan.

Ditambah dengan perundingan-perundingan dengan belanda (perjanjian renville) yang dibawah tim delegasi M. Hatta menyetujui konsep negara federasi untuk Indonesia, dan menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, dengan UUD RIS  Indonesia menjadi sekumpulan negara bagian dan menjadi sangat sekuler karena desakan pemerintah belanda.  Belum lagi pada awal tahun 50 an Masyumi yang merupakan kumpulan dari organisasi Islam mulai pecah, dengan mundur NU dari Partai Masyumi dan menjadi partai sendiri Partai NU, dan mengikuti pemilu pertama kali pada tahun 1955, yang kelompok lima besar pemenang pemilu adalah sesui urutan Partai Nasional Indonesia (PNI) 22,3 % (nasionalisme Kebangsaan),Partai Masyumi (20.9 %) (Islam), Partai NU (Islam) (18,4%) Partai Komunis Indonesia  (16,4%) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89%), hasilnya golongan agama hampir 40 % lebih, sisanya dibagi kelompok kebangsaaan dan komunis.  Ini juga cermin dari representasi komponen bangsa pada awal persiapan kemerdekaan, ada kekuatan agama, nasionalis/kebangsaan, dan komunisme, dengan menerapkan pemilu sebagai sistem demokrasi, dan menjadi bagian sejarah modern dunia menerapkan demokrasi dengan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat, proses ini juga memulai demokrasi sebagai produk barat dipakai oleh negara-negara baru pasca perang dunia II.

Pola-pola relasi hubungan antara kekuatan social, agama dan politik tetap pada polarisasi yang lama, kekuatan Islam,Nasionalis dan Komunis masih dapat saling memahami dan bekerja sama dibawah pengaruh dan kharisma Presiden Soekarno (dan tentu saja saling curiga), apalagi kemudian Soekarno mengeluarkan gagasan konsep bernegara dengan  kerja sama Nasionalis, Agama dan Komunis atau yang lebih dikenal dengan Nasakom.  Ide ini sebenarnya upaya kristalisasi ulang gagasan mengenai Pancasila yang belum diresapi dan di internalisasi oleh segenap komponen pendiri bangsa, atau lebih hanya jargon pancasila semata.

Konsep Nasakom ini juga penuh kontradiksi karena Golongan Nasionalis selalu berbenturan dengan kaum agama, begitupun agama menaruh kecurigaan karena dulu pernah dibajak, walau pernah bekerja sama dengan golongan komunisme tetapi itu pada masa penjajahan kolonial. Kalangan nasionalis juga curiga karena beberapa kali kelompok sosialis menarik diri dari kesepakatan nasional, dan membuat agenda tersendiri (peristiwa madiun menjadi catatan).

Begitupun kalangan sosialis/komunis menyatakan tidak setuju melakukan negosiasi dengan mantan penjajah dan kelompok negara liberal lainnya, dan hendak membuat garis yang jelas, tetapi kamu agama dan nasionalis masih bersedia dengan catatan bekerja sama dan negosiasi ulang dengan negara kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun