Mohon tunggu...
Grace Gabriella
Grace Gabriella Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang memiliki ketertarikan dan berada dalam bidang Perpajakan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pajak Konsumsi di Era Digital: Tantangan dan Adaptasi

19 Desember 2023   18:35 Diperbarui: 19 Desember 2023   19:10 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian Pajak Konsumsi 

Pajak Konsumsi adalah tarif pajak yang dikenakan pada setiap pengeluaran barang atau jasa. Pajak konsumsi dikenakan ketika ada transaksi pembelian berupa produk atau layanan, bukan saat memperoleh penghasilan. Secara umum, tarif pajak konsumsi berlaku dengan melalui proses, yaitu ketika seorang individu melakukan pembelian, maka pedagang akan bertanggung jawab untuk memberlakukan pajak, kemudian pajak tersebut diserahkan kepada lembaga pemerintahan yang berwenang. 

Dasar Hukum Pajak Konsumsi 

Dasar hukum yang mengatur regulasi dari Pajak Konsumsi yang berlaku di Indonesia sesuai dengan jenis objek pajaknya yaitu: 

  1. Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.

  2. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

  3. Peraturan Pemerintah 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

  4. Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.03/2022 tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, serta Jasa Boga atau Katering, yang Tidak Dikenai PPN.

Ketentuan pajak konsumsi mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 pasal 1 ayat 6. Pasal ini menyebutkan bahwa jasa katering termasuk dalam jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. Berdasarkan PPh Pasal 23, menyebutkan kewajiban perbendaharaan untuk menyetorkan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah jasa katering. Namun, jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, maka besaran pajak yang dipotong jumlahnya mencapai 4%. 

Jenis Pajak Konsumsi 

1. Pajak Konsumsi Bersifat Umum 

Diantara jenis dari Pajak Konsumsi yang bersifat umum, yaitu: 

1.1 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN merupakan pungutan pajak yang berlaku dalam setiap proses transaksi; perdagangan jual beli produk atau jasa dalam negeri kepada wajib pajak perseorangan, badan usaha, maupun pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai tidak dibayarkan secara langsung oleh pedagang, melainkan hasil pajak yang dibayarkan oleh konsumen. Dapat dikatakan bahwa konsumen tidak secara langsung membayarkan pajak tersebut kepada pemerintah, melainkan melalui perantara penjual. 

Dasar hukum PPN diatur dalam Undang-Undang, diantaranya Undang-Undang yang membahas PPN, yaitu: 

  1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)

  2. UU No. 18 Tahun 2000 juga mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai yang bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat sasaran, dilakukan demi masyarakat, serta untuk meningkatkan penerimaan negara. 

  3. No. 42 Tahun 2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 

  4. Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. Dalam perubahan Undang-Undang baru ini, diharapkan dapat memberikan sistem pemungutan pajak yang adil secara hukum, dapat memberikan keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang lebih sederhana. 

  5. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klaster Perpajakan. 

  6. Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberlakuan PPN ini telah mengalami perubahan atau amandemen sebanyak tiga kali. Dasar hukum terbarunya terdapat pada Undang-Undang Harga Pokok Produksi No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 

Tarif PPN telah disahkan dalam rancangan Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) No. 7 Tahun 2021 oleh DPR. Dimana tarif PPN yang berlaku pada tahun 2022 ini mengalami kenaikan resmi menjadi 11% dan 12% dari tarif sebelumnya yang hanya mencapai 10%. Sedangkan tarif maksimal dari pemungutan PPN ini maksimal sebesar 15%. 

Cara menghitung PPN yaitu menggunakan rumus sebagai berikut: 

Tarif PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk / Jasa. 

Untuk mengetahui nilai Pajak Pertambahan Nilai terutang sebelum memberikan laporan penyetoran untuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PKP (Pengusaha Kena Pajak) harus menghitung jumlah PPN pengeluaran yang dikurangi PPN masukan. 

Fungsi PPN diantaranya adalah:

  1. Untuk memperhitungkan kekurangan pajak atau kelebihan pajak yang harus dibayarkan ke negara atau dapat diajukan sebagai kompensasi kelebihan pembayaran PPN. Jika Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran, maka PKP dapat mengajukan kelebihan pembayaran PPN untuk pengkreditan PPN lebih bayar ke masa pajak berikutnya. Namun, jika Pajak Keluaran lebih besar dibanding Pajak Masukan, maka PKP wajib menyetorkan PPN Terutang tersebut ke kas negara.

  2. Sebagai fungsi anggaran
    Karena pajak yang dihasilkan dari PPN ini akan disetorkan kepada negara, maka fungsi dari adanya PPN salah satunya yaitu untuk penambahan pembiayaan negara.

  3. Sebagai regulasi pemerintah
    Dalam hal ini, adanya PPN berfungsi untuk mengatur kebijakan pemerintah dalam bidang sosial-ekonomi. Dalam bidang sosial ekonomi, ini diutamakan menguntungkan kemajuan ekonomi di Indonesia dan bermanfaat bagi masyarakat. 

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dari PPN yaitu:

  1. Harga Jual 

Secara singkat, yang dimaksud dengan harga atau biaya jual ini merupakan seluruh biaya yang dipungut oleh penjual atau pedagang terhadap penyerahan barang yang dikenakan pajak. 

  1. Penggantian 

Biaya yang diminta oleh pengusaha terhadap penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

  1. Nilai Impor 

Nilai impor merupakan uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan Bea Masuk yang memiliki tambahan pungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur mengenai bea dan cukai untuk impor barang yang dikenakan pajak. 

  1. Nilai Ekspor 

Biaya ekspor atau nilai ekspor dapat diartikan sebagai biaya yang diminta oleh pihak yang melaNamukan proses ekspor. 

  1. Nilai Lain 

Nilai lain yang dimaksud dapat berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1. 

Berdasarkan fiskal.kemenkeu.go.id, objek PPN antara lain yaitu:

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). BKP merupakan barang fisik, baik bergerak maupun tidak bergerak, serta barang tidak berwujud fisik yang termasuk dalam objek PPN. Sedangkan JKP adalah jasa yang dikenakan PPN.

  2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan.

  3. Ekspor dan Impor BKP dan/atau JKP

  4. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan

1.2 Pajak Penjualan 

Pajak Penjualan berkaitan pada pajak yang ditambahkan ke dalam harga jual suatu barang atau jasa yang kemudian dibebankan kepada konsumen oleh pedagang dan kemudian diserahkan kepada pemerintah. Pajak Penjualan biasanya berupa persentase dari harga pembelian dan kemudian ditambahkan ke dalam biaya akhir atau biaya pelayanan. Pajak Penjualan digunakan untuk pembiayaan fasilitas negara dan masyarakat seperti pada bidang pendidikan, transportasi, dan perawatan kesehatan. 

Contoh dari Pajak Penjualan seperti makanan dan minuman restoran, perangkat hadiah, mainan, barang antik, penjualan pakaian, laundry, dan penjualan lainnya. 

1.3 Pajak Atas Barang dan/atau Jasa 

Pajak atas barang dan/atau jasa adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan atas setiap penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan oleh pengusaha. PPN dikenakan pada semua jenis barang dan jasa, kecuali jenis barang dan jasa yang ditetapkan dalam undang-undang. Ada beberapa barang dan jasa yang tetap diberikan fasilitas bebas PPN, seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja

2. Pajak Konsumsi Bersifat Spesifik

2.1 Cukai 

Pajak konsumsi bersifat spesifik ini dikenakan pada produk atau jasa yang spesifik atau terbatas, seperti beberapa produk makanan, minuman, dan barang lainnya yang memiliki nilai tambahan. Dalam konteks ekonomi digital, pemerintah perlu memastikan kebijakan cukai yang efektif dan transparan, serta menyesuaikan dengan perubahan dinamika pasar dan perkembangan teknologi.

2.2 Bea Masuk Impor 

Tarif bea masuk impor dapat bersifat spesifik, yang berarti besarnya bea masuk impor dikenakan berdasarkan jumlah atau volume barang impor tertentu, bukan berdasarkan nilai barang impor tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bea masuk impor dapat termasuk dalam kategori pajak konsumsi bersifat spesifik, yang dikenakan pada produk-produk impor tertentu.

Menghadapi Tantangan dan Adaptasi Pajak Konsumsi di Era Digital

Tantangan dan adaptasi pajak konsumsi di era digital mencakup beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Beberapa tantangan utamanya termasuk pengaturan dan pengenaan pajak dalam perdagangan digital, praktik penghindaran pajak, pemajakan objek dan perusahaan digital, serta kepatuhan pembayaran pajak dalam konteks ekonomi digital.

Di samping itu, penyesuaian terhadap era industri 4.0 menjadi perhatian utama, termasuk pentingnya regulasi pajak yang sesuai, strategi baru untuk pendekatan pajak konsumsi yang lebih efisien, dan adaptasi digitalisasi ekonomi dalam kerangka pajak global. Dengan pertumbuhan cepat ekonomi digital, pemerintah harus tanggap dalam menanggapi hal tersebut, untuk meminimalkan potensi kehilangan pendapatan pajak dan untuk mengembangkan sistem perpajakan yang adil dan efisien di zaman digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun