Mohon tunggu...
Lydia Grace Florentia
Lydia Grace Florentia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Hubungan Internasional - Universitas Brawijaya

Masih belajar blogging

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Gertakan Budaya Post-Truth terhadap Integrasi Bangsa Indonesia

9 April 2021   15:00 Diperbarui: 9 April 2021   15:01 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

*Artikel ini adalah unggahan pertama penulis yang bersumber dari Tugas Akhir pada Mata Kuliah Pengantar Sosiologi Semester 1 - 2018*

Karya: Lydia Grace Florentia

!!! DILARANG MENGGUNAKAN TULISAN TANPA KUTIPAN JELAS ATAU IZIN DARI PENULIS !!!

ABSTRAK

Masyarakat postmodern identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan bagian utama budaya globalisasi. Masyarakat mendapatkan kemudahan berkomunikasi dan mendapatkan berbagai informasi tentang segala hal yang terjadi di dunia ini. Masyarakat memiliki kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat melalui media baru. Media baru atau new media itu adalah media sosial dan media internet lainnya. Kebebasan tersebut dapat digunakan secara positif dan negatif tergantung tujuan pemakai media tersebut.

Pada beberapa tahun terakhir ini, ada fenomena baru yang sebuah masalah akibat semakin mengakarnya budaya yang dibawa oleh globalisasi kepada setiap orang. Fenomena tersebut adalah budaya post-truth. Budaya post-truth adalah budaya di mana seseorang lebih mempercayai informasi berdasarkan opini pribadi seseorang daripada informasi yang terjadi sesungguhnya di lapangan. Budaya ini menimbulkan konflik karena terjadi perbedaan pendapat antarindividu. Konflik juga terjadi karena media menyalahgunakan fungsinya dengan menyebarkan berita-berita yang telah direkayasa untuk kepentingan media tersebut.

Pada paper ini akan dibahas lebih lanjut mengenai budaya post-truth, beberapa karakteristik budaya tersebut, contoh nyata budaya post-truth yang terjadi di Indonesia, dan solusi yang efektif untuk mencegah budaya ini semakin menyebar dan menimbulkan konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa Indonesia.

Kata kunci: budaya post-truth; integrasi; new media; masyarakat postmodern.

PENDAHULUAN

Globalisasi adalah salah satu budaya yang lahir dan ada dalam masyarakat pascamodern. Brannigan (1992) mengatakan bahwa masyarakat pascamodern adalah masyarakat yang hidup dalam kecanggihan teknologi dan terjebak dalam perilaku konsumerisme dan pencitraan (Schaefer, 2012: 130). 

Pola interaksi yang terjadi antarindividu mengalami perubahan yang signifikan di mana awalnya individu lebih sering melakukan kontak primer atau kontak langsung yaitu ketika individu saling bertemu dan bekomunikasi secara tatap muka langsung (face-to-face), sekarang individu cenderung lebih sering melakukan kontak sekunder yaitu ketika individu berinteraksi dengan individu lain melalui dunia baru yaitu dunia internet.

Dunia internet yang digemari masyarakat postmodern ini adalah media sosial. Media sosial sudah begitu melekat dalam kehidupan manusia. Media sosial adalah bagian dari media massa yang berperan sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, mengatakan bahwa berdasarkan data UNESCO, tingkat penggunaan media sosial masyarakat Indonesia cukup tinggi yaitu 4 dari 10 orang Indonesia aktif bermedia sosial khususnya Facebook dan Whatsapp (Hutabarat, 2018).

Tingginya tingkat penggunaan media sosial oleh masyarakat Indonesia menimbulkan bahaya atau risiko terjadi fenomena penyebaran konten negatif seperti berita hoax, tulisan-tulisan dan pesan provokatif serta ujaran kebencian yang menimbulkan konflik hingga tercipta disintegrasi dalam masyarakat. Orang yang hidup di era postmodern mengalami kemudahan akibat kemajuan teknologi yang pesat. 

Informasi dari tempat yang jauh hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk diketahui oleh orang di belahan dunia yang lain. Kemudahan mendapatkan informasi melalui media sosial atau media berita internet lainnya membuat seseorang hanya mengonsumsi berita atau informasi itu secara mentah-mentah dan percaya saja pada apa yang diinformasikan oleh media sosial. Sikap ini adalah suatu sikap yang membuat munculnya budaya baru yaitu budaya post-truth.

Oleh karena itu, penulis akan membahas lebih jauh mengenai budaya di era post-truth, faktor yang mendorong munculnya budaya post-truth, relasi budaya post-truth dengan integrasi masyarakat Indonesia, beberapa kasus nyata yang menjadi realisasi budaya post-truth, dan cara menyikapi budaya post-truth agar tidak mengancam disintegrasi dalam masyarakat yang akan berdampak pada perpecahan bangsa Indonesia. 

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang budaya post-truth yang masih belum begitu disadari oleh masyarakat dan memberikan solusi agar budaya ini tidak semakin melekat dan menyebabkan dampak buruk terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia. 

Manfaat penulisan paper ini agar semua masyarakat Indonesia baik orang muda dan tua atau para remaja dan dewasa dapat menyadari masalah sosial laten (budaya post-truth) yang memiliki dampak besar bagi masa depan bangsa Indonesia dan melakukan tindakan yang tepat untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

INTI PEMBAHASAN

Budaya adalah keseluruhan dari ide, gagasan, nilai, artefak, pengetahuan dan perilaku yang ada dalam sebuah masyarakat yang dipelajari dan diwariskan secara sosial (Schaefer, 2012: 61). 

Dalam Kamus Oxford, post-truth adalah suatu keadaan di mana realitas atau fakta yang ada tidak terlalu dianggap memiliki pengaruh penting dalam menciptakan sebuah opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi (Hartono, 2018: 73). 

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya post-truth adalah suatu tindakan dan pola interaksi individu yang menganggap pendapat atau opini pribadi yang paling benar dibandingkan fakta yang ada.

Definisi kebenaran dan kebohongan menjadi tidak jelas. Di era ini, kebenaran diukur dari opini suatu pihak tertentu. Fakta-fakta yang terjadi diabaikan. Semua orang menerima dan mempercayai opini-opini tersebut sebagai sumber informasi yang kebenarannya tidak perlu dipertanyakan. 

Budaya post-truth ini erat dengan maraknya berita atau informasi hoax yang tersebar di media sosial. Berita atau informasi yang sering menjadi sasaran kebohongan adalah informasi mengenai keadaan politik dan pemberitaan tentang individu yang viral di suatu negara.

Contoh nyata budaya post-truth ini adalah munculnya kasus terbaru yang terjadi di Indonesia yaitu pada bulan September 2018, kasus kebohongan Ratna Sarumpaet yang mengatakan bahwa dirinya telah dianiaya sehingga mukanya menjadi lebam, lalu dia mengadu kepada Prabowo sehingga Prabowo ikut membela dia dan mencari siapa penganiaya apakah penganiaya tersebut berasal dari pihak Jokowi. Akhirnya Ratna mengaku bahwa dirinya berbohong soal penganiayaan itu karena ternyata mukanya lebam akibat dari operasi wajah (Santoso, 2018). 

Selain kasus tersebut, pada tahun 2017, adanya isu yang muncul di media bahwa Saracen adalah media yang bersifat negatif karena membahas isu SARA yang dapat membuat disintegrasi bangsa, tetapi opini masyarakat itu tidak terbukti benar dalam pengadilan, karena ternyata Saracen tidak terbukti menyebar ujaran kebencian dan menerima aliran dana untuk memberitakan hal tertentu. (Saubani, 2018)

Dari kedua contoh tersebut, dapat dilihat bahwa budaya post-truth yang berkembang dalam kehidupan masyarakat pascamodern ini memiliki dampak yang buruk bagi kondisi sosial masyarakat Indonesia. 

Dampak buruknya adalah konflik dalam masyarakat akan semakin besar karena adanya 'kebenaran' yang didasarkan pada sikap emosional semata. Masyarakat mudah percaya dengan informasi yang beredar di media sosial, percaya pada informasi yang diberikan oleh seseorang begitu saja, dan terus mengonsumsi berita yang 'benar' sebagai sumber referensi yang paling benar.

Lalu, bagaimana relasi budaya post-truth dengan keutuhan atau integrasi bangsa Indonesia? Jika budaya ini semakin melekat dan menjadi gaya hidup utama masyarakat Indonesia, seperti yang sudah dijelaskan akan timbul perbedaan pandangan dan menimbulkan konflik di antara masyarakat. 

Di sisi yang satu, ada masyarakat yang percaya pada berita hoax dan di sisi yang lain ada masyarakat yang rasional. Kedua jenis masyarakat itu akan memperdebatkan kebenaran hingga salah satu di antara keduanya menjadi yang paling benar. 

Budaya ini akan ditunggangi oleh para oposisi pemerintahan dan pihak-pihak radikal yang ingin memecah belah persatuan bangsa Indonesia yang akan menyebabkan hancurnya negara Indonesia. 

Pada zaman ini, masyarakat dipengaruhi menjadi lebih emosional dalam menghadapi suatu isu tertentu dan isu-isu yang berkembang berkaitan dengan politik dan identitas dari seseorang yang merupakan isu-isu sensitif yang menimbulkan berbagai konflik yang besar.

PENUTUP

Menanggapi budaya yang berkembang di era post truth ini, berikut ini saran penulis untuk mencegah budaya ini semakin mengakar kuat dan menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga keutuhan bangsa Indonesia akan terus terjaga yaitu masyarakat Indonesia harus dapat meningkatkan kemampuan literasi yang baik. 

Masyarakat Indonesia harus terus didorong untuk menyadari bahwa membaca berbagai hal itu penting baik dari buku, media cetak, dan internet agar kita tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang salah dan dapat berpikir kritis dan bersikap skeptis terhadap informasi baru yang beredar dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

 

Hartono, Dudi. (2018). Era Post-Truth:Melawan Hoax dengan Fact Checking. Prosiding Seminar Nasional Prodi Ilmu Pemerintahan (pp.70-82). Jakarta: Universitas Mercu Buana.

Hutabarat, Diani. (2018). Angka Penggunaan Media Sosial Orang Indonesia Tinggi, Potensi Konflik juga Amat Besar, (Online), diakses tanggal 8 Desember 2018.

Santoso, Audrey. 3 Oktober 2018. Begini Gambaran Konstruksi Kasus Kebohongan Ratna Sarumpaet, Detik.com, (Online), diakses 8 Desember 2018.

Saubani, Andri. 6 April 2018. Hakim: Saracen tak Terbukti Sebarkan Ujaran Kebencian, Republika, (Online), diakses 8 Desember 2018.

Schaefer, Richard T. 2012. Sosiologi Edisi 12 Buku 1. Diterjemahkan oleh Anton Novenanto dan Diah Tantri Dwiandani. Jakarta: Salemba Humanika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun