Kemarin seorang mahasiswa saya mengirim pesan singkat  ke saya. Kebetulan saya adalah salah satu pengajar Hukum Pidana di sebuah Universitas. Si mahasiswa ini berkata, bagaimana ini Bu, masak dua Profesor mengatakan bahwa Ferdy Sambo bisa lepas dari jerat pidana dan menurut salah seorang profesor lain sebaiknya Ferdy Sambo bisa jadi Justice Collaborator untuk mereformasi mafia di institusi Polri.
Setelah itu beberapa mahasiswa lain pun mengirimkan pesan singkat yang sama kepada saya. Menunjukkan kekecewaan mereka atas sepak terjang dua Profesor yang merangkap pengacara dan politisi ini. Bagi seorang mahasiswa hukum seperti mahasiswa saya yang baru mempelajari ilmu hukum, "pendapat liar profesor yang juga berstatus pengacara itu" merupakan tamparan keras buat mahasiswa saya yang tentunya "masih belia dan idealis".
Saya menenangkan mereka karena saya kebetulan sangat dengan dengan mahasiswa mahasiswa saya, lalu saya berkata, "Lupa ya, Teori Conditio Sine Qua Non yang ibu ajarkan?".
Ingat Bu dong Bu kata mereka. Salah seorang mahasiswa saya langsung berkata, Ya tapi aneh tidak bu, masak si Bu dua Profesor itu TIDAK TAHU Teori Conditio Sine Qua Non?.
Speechless saya. Tidak bisa menjawab lagi. Sekaligus malu karena saya juga "merasa" dua orang Profesor itu TIDAK MUNGKIN TIDAK TAHU Teori Dasar Hukum Pidana tersebut, entahlah apakah mereka berdua sengaja "menggiring opini masyarakat agar Ferdy Sambo dibebaskan atau dikurangi hukumannya?". Hanya Tuhan yang tahu.
Kedua profesor tersebut menurut saya juga "berbicara" bukan merepresentasikan "keakademikannya" tapi hanya bicara maaf sekali profesor. Seperti seorang lawyer atau pokrol bambu yang "berkelit mencari celah hukum". Miris.
TEORI CONDITIO SINE QUA NON
Teori conditio sine qua non dikemukakan oleh Von Buri, yang berpendapat bahwa: suatu perbuatan atau masalahnya haruslah dianggap sebagai "sebab" dari suatu akibat.Â
Contoh dalam kasus Brigadir J, dia terbunuh akibat tertembak oleh Bharada E dan Perintah TEMBAK dari Ferdy Sambo. Maka penyebab dari meninggalnya Brigadir J adalah perintah menembak dari Sambo yang diikuti oleh tembakan Bharada E yang akhirnya membuat tewasnya Brigadir J.
Dalam Teori Conditio Sine Qua Non yang juga banyak dipakai untuk pertanggungjawaban pidana lingkungan ini seorang pelaku kriminal saat melakukan perbuatan "dianggap telah mengetahui akibatnya".Â
Apalagi ada Adagium PRESEMPTIO IURES DE IURE yang artinya "setiap orang dianggap TAHU HUKUM. Setiap orang dianggap tahu jika membunuh "melanggar hukum". Apalagi ini kriminal murni yaitu membunuh.Â
Tidak mungkin seorang Kadiv Propam yang merupakan "Polisi nya Polisi" tidak tahu kalau dia memerintahkan menembak akan berakibat luka bahkan terbunuhnya seseorang. Karena seorang Kadiv Propam tentu tahu menyuruh menembak dapat mengakibatkan terbunuhnya seseorang.
Jadi tidak bisa Profesor Otto mengatakan "kan disuruh menembak bukan membunuh". Terlihat sekali  jawaban ini adalah jawaban Pokrol yang hanya "berdasarkan asumsi" bukan jawaban dari seorang akademisi bergelar Profesor, dan sungguh saya teramat sangat malu mendengarnya karena diucapkan di sebuah Seminar Nasional berisi mahasiswa hukum bahkan mahasiswa program doktoral. Betul betul "Penistaan terhadap Ilmu Pengetahuan".
TEORI KESADARAN KESALAHAN (CONCIOUSNESS OF GUILT)
Yang sangat memprihatinkan pagi kedua Profesor ini mengatakan seolah olah Sambo itu dipresekusi masyarakat atau opini masyarakat "digiring" agar menganggap Sambo bersalah.Â
Sambil mereka bilang, "mari kita lihat kebenaran sebenarnya di Pengadilan".
Kebenaran di Pengadilan? Apakah lupa bahwa bapak Menteri Pohulkam pun prihatin dengan mafia peradilan dan praktek jual beli kasusnya di Pengadilan kita?
Sebenarnya jika dua Profesor ini nalar dan logikanya baik mereka mampu melihat KEBENARAN YANG SUDAH di depan mata masyarakat.
"Sambo merusak barang bukti yang merupakan KEBENARAN atau FAKTA dari kasusnya. Pertanyaan saya "Jika ada orang yang merusak KEBENARAN atau Barang Bukti berarti DIA TIDAK MAU KEBENARAN ITU TERUNGKAP" kan?
Apa Esensi dan Kesimpulannya? DIALAH PELAKU KEJAHATAN SEBENARNYA karena hanya orang yang BERSALAH lah yang "merusak barang bukti". Supaya kejahatannya tersembunyi.
Yang saya uraian di atas itu adalah TEORI KESADARAN KESALAHAN atau CONCIOUSNESS of GUILT. Teori ini adalah Teori Hukum Pidana yang sangat banyak dipakai di negara Anglo Saxon dan rata rata dosen atau pengajar yang memang mendalami Hukum Pidana pasti mengetahui.
Teori ini adalah merupakan Teori Perilaku Pelaku Kejahatan setelah terjadinya kejahatan yang bisa membuktikan dialah pelaku kejahatan sebenarnya.
Adapun perilaku yang dianggap Conciousness of Guilt adalah sebagai berikut:
1. Â Melarikan diri dari Yurisdiksi;
2. Mengubah nama atau penampilan (misal melakukan operasi plastik atau mengganti identitas)
3. Merusak Barang Bukti
4. Mengintimidasi Saksi dan
5. Melakukan Suap
Nah jelas kan? Ferdy Sambo bahkan sudah melakukan dua hal dari teori ini yaitu "merusak barang bukti dan melakukan suap".
BAHAN AJAR PENDIDIKAN POLRI
Selain bertanya kepada mahasiswa saya yang kebetulan mayoritas anggota Polri Bintara dan melihat Bahan Ajar Persenjataan dan Menembak (HANJAR) , disitu dengan jelas TIDAK ADA aba aba BUNUH. Tapi TEMBAK. Dalam Aba aba pada Regu Tembak Eksekusi Matipun instruksinya adalah TEMBAK.
Dari sini "jelas" bahwa opini kedua profesor itu tidak berdasar. Seorang komandan pasti menginstruksikan TEMBAK bukan BUNUH sesuai bahan ajar Polri tadi.
Jadi seperti layaknya eksekutor hukuman mati, seharusnya Sambo selaku komandan sudah mengerti akibat atau efek dari menembak tersebut adalah luka atau kematian. Jadi adalah opini yang lucu jika seorang sekaliber profesor berdua berbicara di forum seminar suatu WACANA yang dilakukan tanpa RISET terlebih dahulu.
Terlihat sekali bahwa seperti biasa para petinggi ini ingin menjadikan anak buah nya dalam kasus ini Bharada E sebagai tumbal, dengan "ngeles". Saya ngga suruh bunuh kok cuma TEMBAK. Persis sama dengan kasus Tragedi Semanggi. Yang banyak dihukum adalah polisi rendahan. Miris saya. Dan dalam kasus Sambo ini seolah hal tersebut di dukung oleh dua profesor "pengacara ini".
SAMBO JADI JUSTICE COLLABORATOR?
Yang paling menyedihkan adalah pernyataan Prof Gayus walaupun beliau mengatakan tidak mungkin karena tidak memenuhi persyaratan adalah Opininya bahwa Sambo bisa membongkar mafia dalam tubuh polri jika seandainya jadi justice collaborator ditambah pernyataan Farhad Abbas bahwa beliau pahlawan.
Tugas Lembaga Peradilan dalam kasus Ferdy Sambo ini hanya "sebatas" mengungkap siapa saja pembunuhnya serta apa "motifnya" pak Profesor. Sedang tugas membenahi Kepolisian adalah Tugas Negara karena kepolisian termasuk aparatur negara.
Terlihat sekali dari opini kedua profesor ini seolah ingin menggiring opini tandingan untuk "mengurangi hukuman Ferdy Sambo". Terpampang dengan jelas juga, di dua Profesor berlatar belakang pengacara ini berbicara hanya "dari perspektif pelaku". Padahal kasus Brigadir J ini merepresentasikan titik balik bahwa "masyarakat yang tertindas berani bersuara untuk ketidakadilan".
Pernahkan bapak Profesor berdua belajar Viktimologi? Mungkin pernah. Dalam Teori Viktimologi ada yang namanya Indirect Victim yaitu Keluarga Brigadir J dan masyarakat. Kenapa masyarakat luas jadi Indirect Victim? Karena mereka jadi khawatir perlakuan aparat polisi juga terjadi pada anak dan keluarga mereka.Â
Dari survey LSI didapat lebih dari 50 persen responden ingin Sambo dihukum mati. Masyarakat hanya ingin kasus ini terang benderang dan pelakunya diadili.
 "Karena keadilan bagi korban baik itu Direct Victim.(Brigadir J) dan Indirect Victim (Keluarga dan masyarakat luas) mencerminkan Keadilan yang sebenarnya"
Itu lah kemanfaatan versi masyarakat yg didasari survey lembaga kompeten. Bukan kemanfaatan "versi Profesor Gayus Lumbuun" yang notabene adalah pengacara.
Akhir kata, saya cuma ingin menyampaikan keprihatinan saya sebagai seorang pendidik. Apakah pantas seorang Profesor memberikan pendapat liar yang tidak sejalan dengan cita cita masyarakat?
Ingat Profesor tanpa mengurangi rasa hormat saya dulu Dosen Dosen saya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan UPN Veteran Jakarta mengatakan, pengertian Hukum itu ada 2. Ius Constitutum (Hukum yang Berlaku) dan Ius Constituendum atau Hukum Yang dicita citakan.Â
Ditambah lagi ada adagium Hukum tertinggi adalah PERLINDUNGAN MASYARAKAT bukan Reformasi Polri karena saya tekankan sekali lagi Reformasi Polri adalah tanggung jawab pemerintah.
Terimakasih dan Salam Sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H