Bagi Tan Kat Sun, hal tersebut tidak toleran, sedangkan menurut mata bisnis Hendra, justru di hari kedua Lebaran banyak orang yang mencari makan di luar, serta Hendra merasa tidak perlu menghormati orang Muslim karena pengalaman pribadinya yang selalu direndahkan sebagai umat Buddha dan seorang keturunan Tionghoa.
Maka dari itu, sekelompok orang Muslim yang dipimpin oleh Soleh pun menyerang restoran secara mendadak. Akibat penyerangan itu, restoran hancur serta tindakan Soleh yang tidak sengaja memukul Tan Kat Sun hingga terluka parah dan pada akhirnya meninggal.
Hari raya Natal pun tiba dan pada malam Natal, Surya, Menuk, Hendra, serta Soleh berada di gereja tempat Rika beribadah. Surya pada saat itu kembali memerankan pemeran utama pada drama Natal tersebut, Menuk dan Hendra bertanggung jawab mengurus konsumsi para pemain drama Natal, dan Soleh sebagai Banser NU bertugas melindungi gereja.
Malam itu, Soleh berupaya untuk meminta maaf kepada Menuk atas perbuatannya kepada Tan Kat Sun, namun Menuk yang pada saat itu sedang sibuk tidak dapat membalas perminta maafannya.
Situasi menjadi lebih tegang setelah Soleh menemukan bom di baris belakang kursi umat di dalam gereja tersebut. Soleh pun bergegas keluar membawa bom tersebut yang pada akhirnya meledak di luar gereja dan sayangnya, bom tersebut membunuh Soleh. Namun berkat pengorbanannya, ia telah menyelamatkan seluruh orang yang berada di gereja pada saat itu.
Setelah meninggalnya Tan Kat Sun, Hendra memutuskan untuk menepati janjinya kepada ayahnya yang tepat sebelum nafas terakhirnya meminta Hendra untuk berubah.
Hendra pun mengurungkan niatnya untuk belajar dan masuk ke agama Islam, serta mengubah restorannya yang tadinya menjual makanan tidak halal menjadi restoran halal. Selain itu, orang tua Rika mengunjunginya dan Rika mampu memperoleh restu orang tuanya untuk perpindahan agamanya. Sementara untuk sahabatnya, Surya, berhasil mendapatkan peran protagonis di sebuah sinetron.
Cerita diakhiri dengan berubahnya nama “Pasar Baru” menjadi “Pasar Soleh” pada tahun baru 2011 untuk mengenang kepergian Soleh, sang pahlawan.
Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang merupakan keturunan campuran dari Jawa-Tionghoa. Ia memutuskan untuk membuat film tentang pluralisme berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai seseorang dengan ras campuran. Pada awalnya, Hanung Bramantyo kesulitan mencari dukungan pendanaannya karena subjek film ini diangkat dari masalah pluralisme agama sehingga dapat menimbulkan kontroversial.
Namun, pada akhirnya Hanung Bramantyo berhasil menemukan perusahaan Mahaka Pictures yang bersedia memberikan dana sebesar Rp 5 miliar untuk mendanai proses produksi film ini. Film “?” merupakan film keempat belas yang telah ia sutradarai, setelah drama poligami romantis, “Ayat-Ayat Cinta” (2008) dan film mengenai kisah hidup, “Sang Pencerah” (2009).
Kisah yang berputar pada permasalahan masing-masing keluarga dan perorangan tadi, sesuai dengan masalah sosial masyarakat yang sering ditemukan di Indonesia, yaitu kebencian antar etnis atau agama.