MENJELANG Pilkada DKI Jakarta 2017, banyak wacana yang bermunculan. Salah satunya adalah membenturkan antara calon independen yang ditopang oleh kelompok relawan (PoKan) dengan partai politik (parpol).
Cara berpikir politis semacam ini tidak sepenuhnya salah. Kita pahami dan menyetujui bahwa buruknya sistem politik hari ini adalah juga anak kandung dari rusaknya sistem parpol yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, sistem politik kita lantas memunculkan calon independen sebagai solusi. Sistem perseorangan hadir sebagai kritik bagi parpol agar berbenah; supaya parpol mengoreksi diri. Selama ini parpol sudah terlalu enak dengan “status quo-nya”: korup dan telah menjadi alat bagi kelompok elit-nya mendapatkan keuntungan-keuntungan, tetapi merugikan rakyat. Tetapi kita juga sadari bahwa calon independen bukanlah solusi permanen dan jangka panjang bagi parpol. Artinya, sebagai solusi jangka pendek, diharapkan suatu saat calon independen akan “lenyap”, karena parpol sudah melakukan perbaikan dan perubahan yang dianggap perlu.
Pokan ganti parpol?
Kelompok pendukung independen, apapun bentuknya, sulit untuk mengantikan peran dan fungsi parpol, baik sebagai artikulasi kepentingan (menjaring aspirasi), agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekruitmen politik, serta pengatur konflik. Semua fungsi ini mensyaratkan adanya konsolidasi kekuatan serta organisasi yang terstruktur dan tersebar pada semua tingkatan dalam masyarakat. Sulit rasanya mengharapkan suatu sistem kerja yang tidak permanen, baik calon independen maupun simpatisannya berbentuk Pokan, bisa menjalankan funsi-fungsi parpol di atas.
Fungsi yang dimainkan parpol ini bukan peran yang mengada-ngada, ada konteks dalam masyarakat yang mengharuskan adanya suatu organisasi sebagai saluran atau kanal kepentingan.
Apa jadinya jika kehidupan masyarakat yang terbentuk oleh beragam perebutan kepentingan atas sumberda daya ekonomi dan politik ini tidak mendapat saluran aspirasinya, konflik terbuka potensial bisa terjadi setiap saat. Melalui parpol, potensi konflik fisik yang melibatkan banyak orang—yang terjadi secara terbuka—bisa dilokalisir dan hanya melibatkan segelintir orang saja. Pertentangan kepentingan secara terbuka diubah menjadi sekadar konflik “kata-kata” atau perdebatan; konflik “diinstitusialisasi”.
Apakah Pokan, dimana relasi yang terbentuk begitu cair—orang tidak terikat secara institusional, bisa datang dan pergi begitu saja—semacam itu bisa menjadi saluran atas konflik kepentingan politik kekuasaan yang kadang rumit ini? Tentu sulit diharapkan. Karena itu, kita tidak tidak bisa berharap banyak pada pola kerja sistem semacam ini.
Kita juga jangan menyempitkan atau memaknai politik yang berhenti sebatas mengusung dan mencalonkan seorang tertentu. Politik lebih rumit daripada itu. Praktek kekuasaan politik dan pemerintahan adalah berbicara keseharian warga negara dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan. Bagaimana menjalankannya? Untuk mampu menjalankan kontrol agar praktek kekuasaan tidak menyimpang, menindas, dan korup, diperlukan kekuatan penyeimbang kuat dari warga negara. Kekuatan tersebut hanya bisa dibangun jika masyarakat terkosolidasi dalam kelompok-kelompok kepentingan (organisasi) yang memiliki legalitas dan posisi tawar memadai di hadapan kekuasaan.
Pokan sebagai organsiasi yang sejak awal cenderung “di bawah ketiak” sang calon agak sukar rasanya diharapkan menjalankan fungsi kontrol ini. Apalagi bentuk relasi antaranggota dalam Pokan yang sangat cair, sudah pasti sulit dianggap layak sebagai kekuatan yang perlu didengar. Sebaliknya, parpol yang memiliki basis kekuatan politik di masyarakat (hampir semua level) serta mempunyai wakil di parlemen (syarat legal)—jika mereka memiliki komitmen politik yang baik—lebih mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan. Jika Pokan hanya mampu mengusung, tetapi sukar menjalankan fungsi kontrol, maka parpol-lah yang bisa leluasa menjalankan tugas-tugas tersebut.
Parpol hari ini
Kondisi parpol harus diakui secara jujur masih dalam kondisi yang buram. Kita menyadari hal itu. Banyak bukti. Sesaknya penjara karena dipenuhi oleh kader-kader dari parpol, akibat kasus korupsi, merupakan fakta yang sulit dibantah. Ada banyak kader parpol yang berengsek, kita sepakati. Masih ada praktek korup dalam parpol, kita setujui. Tetapi kondisi ini bukan berarti tanpa pengecualian.
Di tengah suramnya nasib parpol ini, tetap ada satu atau dua kader yang bermunculan dengan kwalitas yang layak. Sebut saja Djarot Saiful Hidayat, Wakil Gubernur DKI Jakarta hari ini. Ahok pernah menyebut kader, anak kandung partai, serta Ketua DPP PDIP ini, “sebagai orang jujur dan tidak serakah”.
Djarot adalah mantan Walikota Kota Blitar dua periode. Djarot memiliki segudang prestasi, misalnya, pada tahun 2008 mendapat penghargaan Komite Pemantauan Pelaksaaan Otonomi Daerah; pada tahun 2006, 2007, dan 2008 Kota Blitar berhasil mendapatkan penghargaan Piala Adipura secara berturut-turut. Dia juga tidak korup, serta santun. Djarto bukan tipe pemimpin yang berkarakter kasar, meski dia juga tegas.
Masih ada nama lain yang bisa disebut, tetapi ini satu contoh saja untuk mengatakan bahwa seburuk-buruknya parpol, organisasi ini masih layak dipercayai. Masyarakat masih bisa menaruh harapan bahwa lembaga ini bisa berkontribusi melahirkan kader potensial menjadi pemimpin masyarakat yang amah serta tidak korup. Ini seharusnya menasihatkan kita bahwa dikotomi bahwa kalau kader partai pasti buruk atau sebaliknya calon independen pasti “suci” adalah pernyataan pukul rata yang tidak berlaku umum, itu kasusistik. Harus dipahami secara kontekstual.
Karena itu, yang diperlukan bukan menyudutkan, sembari menyanjung calon independen, sebaliknya parpol perlu didukung untuk melakukan perbaikan kinerjanya. Masyarakat bisa melakukan dengan terlibat dan aktif dalam parpol sebagai pengurus parpol. Dengan terlibat aktif, ide-ide perbaikan seperti pentingnya transparansi, perlunya penguatan kapasitas keuangan partai dari sumber yang legal, proses kaderisasi harus berjalan, serta pentingnya membangun partai berbasis ideologi, bisa terus disuarakan secara terus-menerus. Masyarakat pun bisa terlibat dengan menjadi kader, dan suara perbaikan juga tetap memungkinkan dilakukan.
Wacana dikotomi kelompok relawan dan parpol adalah sesuatu yang tidak masuk akal, ini pilihan yang tidak sebanding dan layak. Karena Pokan adalah solusi sesaat, sedangkan parpol adalah bagian dari sistem politik yang permanen. Jadi mau tidak suka, terlibat dalam agenda-agenda perbaikan atas kondisi dan sistem partai politik merupakan cara berpikir jangka panjang yang harus lebih diprioritaskan, ketimbang sibuk dengan gagasan calon independen yang sesaat tetapi juga belum tentu menghasilkan pemimpin yang lebih baik tersebut. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H