Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Korban di Jakarta

7 Maret 2016   01:06 Diperbarui: 7 Maret 2016   01:44 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMILIHAN gubernur DKI Jakarta akan dilangsungkan pada Februari 2017. Berbagai cara dilakukan elit guna mendapat dukungan publik. Bahkan, hingga memproduksi bahan kampanye yang irasional.

Salah satu cara mengais dukungan dan mengundang simpatik publik adalah dengan “menjadikan” diri sebagai korban politik. Korban dalam arti adalah pihak yang dirugikan, didominasi, serta diremehkan. Pada konteks ini, seorang direkayasa guna mendapatkan belas kasih, berujung dukungan. Maklum, manusia Indonesia tidak jauh-jauh dari pola laku politik emosional.

Sebagaimana diketahui, melalui pemberitaan dan eksploitasi media, Ahok merupakan  politisi yang dikontruksi “unik”. Kehidupan dan latar belakang politik Ahok dipenuhi begitu banyak drama, dimana sebagai seorang berlatar belakang etnis tionghoa dan beragama kristen, dia kerap mendapat penolakan: korban.

Bahkan, tidak jarang, karena identitasnya itu, Ahok diperlakukan secara diskriminasi. Dia ditolak, dibatasi, dan dia dicaci. Tetapi Ahok mampu melawan dan bertahan. Dia pun kemudian berhasil, salah satunya adalah dengan menjadi Bupati di wilayah yang bermayoritas penduduk beragama Islam dan menjadi anggota DPR-RI mewakili wilayah itu.

Kisah drama Ahok ini seakan menjadi representatif banyak pihak, utamanya kelompok minoritas. Ahok seakan hadir sebagai simbol kemenangan sekaligus pelawanan atas pola laku dan sikap buruk dan tidak adil yang sering dialami oleh kelompok minoritas. Ahok di mata kelompok minoritas adalah pahlawan, simbol “kemenangan” atas dominasi mayoritas.

Politisasi sebagai “Korban”

Latar belakang kehidupan “dramatis” ini kemudian menjadi lain, dan bermakna berbeda di arena politik praktis. Sebagaimana natur politik praktis kita yang masih sebatas mengejar kemenangan dalam perebutan jabatan politik, berbagai kelompok yang terlibat lantas menghalalkan berbagai cara untuk mengais dukungan konstituen. Apapun diperbuat, tak terkecuali menjual “situasi jadi korban” sebagai komuditas politik.

Untuk membuat agar posisi “menjadi korban” ini terus bermanfaat, pemberitaan dan proganda mengenai adanya penolakan kepada Ahok, sebagai gubernur dan calon gubernur, oleh kelompok tertentu dengan basis identitas terus dimunculkan. Secara senggaja, isu diskriminasi ini digulirkan terus-menerus oleh media pro-Ahok (meda Kempes.com, Tempe.co, Suara Pembohong, Detak, dst..) dan kelompok pendukungnya.

Mereka paham bagaimana pentingnya memainkan (mengekploitasi) sentimen (perilaku emosional) ini untuk menarik dan mendapat simpatik warga Jakarta, utamanya dari kelompok kelas menengah “ngehek” dan elit Jakarta (kelompok pemodal).

Dominasi wacana yang hendak dibangun adalah: bahwa yang melawan Ahok pastilah orang yang anti karena identitas primodialnya (etnis maupun agamanya). Publik Jakarta senggaja digiring agar berpikir, bahwa yang menantang Ahok pada Pilkada sudah pasti adalah wakil kelompok intoleran dan masyarakat yang perilaku diskriminasi.

Sebagai kelompok kelas terdidik, perilaku diskriminasi berbasis primodial merupakan tindakan yang paling dihindari, kecuali sikap diskriminasi berbasis “kelas ekonomi”. Maka dengan makin gencar dan meluasnya wacana seperti itu, masyarakat akan bersimpatik, posisi Ahok sebagai korban patut dikasihani, sehingga akhirnya memberikan keuntungan pada pemilihan gubernur DKI Jakarta.

Padahal, tidak selamanya penantang Ahok pasti berpikir diskrimiansi semacam itu. Tidak serta merta mereka yang akan maju sebagai alternatif atau antitesis atas kebijakan  Ahok (secara sistem) adalah wakil kelompok intoleran. Kita mengakui bahwa ada kelompok kepentingan di DKI Jakarta yang masih hidup dalam alam pikir primitif semacam itu. Tetapi sekali lagi, hal tersebut tidak lantas, membenarkan anggapan pukul rata bahwa yang melawan Ahok pasti merupakan wakil dari kelompok pro intolerenasi.

Di satu sisi, Ahok jelas bukan pemimpin ideal. Ahok adalah penguasa yang tidak berpihak pada kelompok papah, Ahok berlaku diskriminasi berbasis kelas ekonomi, serta arogan (tidak terbuka dan partisipatif) dalam berkebijakan. Artinya, kehadiran kandidat lain berpotensi untuk mengisi bagian itu, dengan mengeser Ahok dari jabatannya hari ini. Maka, dalam konteks Pilkada DKI Jakarta kelak, Ahok belum tentu menjadi korban atas praktek politik diskriminasi. Ahok berpotensi diganti karena berlaku buruk selama memimpin dan mengurus Jakarta.

Pada kasus banjir dan masalah publik lainnya yang terjadi di DKI Jakarta, juga diperlakukan sama oleh media. Ahok pada banyak kasus, didesain sebagai korban. Bahkan, korban dari anak buahnya sendiri.

Ahok dikonstruksi sedemikian rupa sebagai manusia “suci”, selain politisi yang harus “dikasihani” tadi. Media pro-Ahok—yang entah mewakili kepentingan korporasi dan pemodal mana—begitu senang membentuk Ahok sebagai politisi yang tidak bisa dan mungkin salah. Kalau ada kekeliruan dan keburukan, bahkan kesalahan dalam berbagai kebijakan publik di DKI Jakarta, maka itu sudah pasti bukan salah Ahok. Itu salah orang, kelompok, politisi, bahkan “benda” lainnya. Ahok adalah korban.

Ambil contoh pada kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras yang oleh BPK ditemukan adanya potensi penyimpangan dan korup. Ahok pernah mengajukan tuduhan bahwa kinerja BPK Perwakilan DKI Jakarta dalam melakukan audit itu tidak benar; Ahok menuduh kinerja badan pemeriksa keuangan itu tidak profesional.

Tetapi setelah dilakukan pertemuan terbatas dengan BPK-RI pada 23 November 2015—dimana Ahok sempat marah-marah karena bagian humas DKI Jakarta dilarang masuk ke ruangan dengan menggunakan kamera—akhirnya Ahok malu sendiri dan mengakui bahwa—sekali lagi, bukan dirinya yang salah—kinerja anak buahnya yang tidak becus dan buruk. Dengan “muka merah” di depan kamera, Ahok mengakui bahwa melalui pemeriksaan ini, dia justru mendapat banyak pelajaran dan akan melakukan perombakan besar-besaran pada instansi terkait. Ahok dan media pro-Ahok kembali memosisikan dirinya sebagai korban, kali ini dari anak buahnya sendiri.

Kasus “sabotase banjir” dengan ditemukannya sampah bungkus kabel di selokan ring 1 istana negara, lebih memalukan lagi. Pada kasus ini, media pro-Ahok juga tidak kalah gesit dalam mendukung tangkisan sang gubernur atas “tuduhan” bahwa dirinya dan dibawa kepemimpinannya, Pemda DKI Jakarta telah gagal dalam mengatasi banjir di Ibu Kota. Pada jauh hari sebelumnya, Ahok sendiri bahkan “seakan” menantang agar hujan segera datang untuk menunjukan bahwa dia telah berhasil membuat kebijakan dalam mengatasi banjir. Menjawab keangkuhan itu, pada bulan Februari 2016, hujan deras membasahi Ibu Kota. Hasilnya? Banjir di mana-mana dan hampir merata di seluruh wilayah DKI Jakarta! Sebabnya, sabotase!

Isu “sabotase” atau adanya rekayasa agar Jakarta terkena banjir—sebagai penanda bahwa Ahok dan jajarannya adalah “korban” dari perilaku “iseng” orang lain—pun segera meluncur. Kali ini klaim itu datang langsung dari sang gubernur sendiri, bicara kepada media dengan menunjukan foto. Media pro-Ahok kembali “mengoreng” dan mengiring opini publik (Jakarta dan warga korban media di luar Jakarta) agar bersetuju dengan klaim tersebut. Pendukungnya tidak kalah gencar membagikan proganda sepihak itu. Klaim bahwa Ahok sebagai korban dari pihak-pihak tertentu—yang tidak jelas itu—lantas menyebar sedemikian cepat.

Tetapi, fakta kemudian berkata lain. Tidak berapa lama, banyak pihak mencari fakta dan meminta klarifikasi dari berbagai pemangku kepentingan Jakarta, mulai dari Kapolda Metro Jaya hingga Pangdam Jaya. Dan sesudah dilakukan penelusuran, bahkan hingga pihak angkatan laut masuk ke dalam selokan-selokan tersebut, hasilnya adalah bahwa benda-benda itu merupakan peninggalan dari pekerjaan (proyek?) yang pernah dilakukan.

Tuduhan sabotase pun rontok dengan sendirinya. Publik pun paham, bahwa banjir yang terjadi di hampir seluruh wilayah DKI Jakarta kapan lalu itu adalah bukti (yang cukup telak) dari buruk dan belum maksimalnya rezim Ahok dalam mengurusi Jakarta. Publik tahu betul, bahwa kalau menyetujui klaim sabotase oleh Ahok, maka dia adalah korban. Tetapi jika menolak, maka itu refleksi atas buruknya kinerja Ahok dan jajarannya.

**

Menjadi korban adalah tragedi, pasti melahirkan simpatik. Sebagaimana pada masyarakat Kampung Pulo, kita jelas memberikan rasa haru atas tragedi pengusiran oleh pelayan rakyat atas nama negara. Masyarakat kampung Pulo jelas memenuhi syarat untuk kita disebut korban. Mereka adalah kelompok masyarakat ekonomi lemah yang rentan, korban ketidakadilan sistem sosial kita dan akibat tiadanya keberpihakan negara selama ini atas mereka. Maka, bersikap arogan  dalam menghadapi mereka jelas merupakan sebuah keangkuhan!

Akan tetapi, itu berbeda situasinya dengan posisi Ahok hari ini. Dia adalah bagian dari kelompok orang yang kuat secara ekonomi, penguasa politik, pembuat kebijakan, dan bahkan idola kelas menengah “ngehek”. Artinya, menjadi “korban” sebagaimana nasib kelompok rentan seperti masyarakat Kampung Polu, itu sudah pasti susah dan mustahil terjadi, meski tetap dimungkinkan. Karena itu, pilihan memolitisasi kondisi tertentu untuk bisa menempatkan diri sebagai korban adalah sebuah keganjilan. Apalagi, kondisi tersebut dijadikan sebagai komuditas dalam proses menuju Pilkada DKI Jakarta. Secara politik, itu pasti bukan cara cerdas, karena merupakan bentuk kampanye yang irasional; emosional. (**)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun