Menjadi korban adalah tragedi, pasti melahirkan simpatik. Sebagaimana pada masyarakat Kampung Pulo, kita jelas memberikan rasa haru atas tragedi pengusiran oleh pelayan rakyat atas nama negara. Masyarakat kampung Pulo jelas memenuhi syarat untuk kita disebut korban. Mereka adalah kelompok masyarakat ekonomi lemah yang rentan, korban ketidakadilan sistem sosial kita dan akibat tiadanya keberpihakan negara selama ini atas mereka. Maka, bersikap arogan dalam menghadapi mereka jelas merupakan sebuah keangkuhan!
Akan tetapi, itu berbeda situasinya dengan posisi Ahok hari ini. Dia adalah bagian dari kelompok orang yang kuat secara ekonomi, penguasa politik, pembuat kebijakan, dan bahkan idola kelas menengah “ngehek”. Artinya, menjadi “korban” sebagaimana nasib kelompok rentan seperti masyarakat Kampung Polu, itu sudah pasti susah dan mustahil terjadi, meski tetap dimungkinkan. Karena itu, pilihan memolitisasi kondisi tertentu untuk bisa menempatkan diri sebagai korban adalah sebuah keganjilan. Apalagi, kondisi tersebut dijadikan sebagai komuditas dalam proses menuju Pilkada DKI Jakarta. Secara politik, itu pasti bukan cara cerdas, karena merupakan bentuk kampanye yang irasional; emosional. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H