Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Korban di Jakarta

7 Maret 2016   01:06 Diperbarui: 7 Maret 2016   01:44 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, tidak selamanya penantang Ahok pasti berpikir diskrimiansi semacam itu. Tidak serta merta mereka yang akan maju sebagai alternatif atau antitesis atas kebijakan  Ahok (secara sistem) adalah wakil kelompok intoleran. Kita mengakui bahwa ada kelompok kepentingan di DKI Jakarta yang masih hidup dalam alam pikir primitif semacam itu. Tetapi sekali lagi, hal tersebut tidak lantas, membenarkan anggapan pukul rata bahwa yang melawan Ahok pasti merupakan wakil dari kelompok pro intolerenasi.

Di satu sisi, Ahok jelas bukan pemimpin ideal. Ahok adalah penguasa yang tidak berpihak pada kelompok papah, Ahok berlaku diskriminasi berbasis kelas ekonomi, serta arogan (tidak terbuka dan partisipatif) dalam berkebijakan. Artinya, kehadiran kandidat lain berpotensi untuk mengisi bagian itu, dengan mengeser Ahok dari jabatannya hari ini. Maka, dalam konteks Pilkada DKI Jakarta kelak, Ahok belum tentu menjadi korban atas praktek politik diskriminasi. Ahok berpotensi diganti karena berlaku buruk selama memimpin dan mengurus Jakarta.

Pada kasus banjir dan masalah publik lainnya yang terjadi di DKI Jakarta, juga diperlakukan sama oleh media. Ahok pada banyak kasus, didesain sebagai korban. Bahkan, korban dari anak buahnya sendiri.

Ahok dikonstruksi sedemikian rupa sebagai manusia “suci”, selain politisi yang harus “dikasihani” tadi. Media pro-Ahok—yang entah mewakili kepentingan korporasi dan pemodal mana—begitu senang membentuk Ahok sebagai politisi yang tidak bisa dan mungkin salah. Kalau ada kekeliruan dan keburukan, bahkan kesalahan dalam berbagai kebijakan publik di DKI Jakarta, maka itu sudah pasti bukan salah Ahok. Itu salah orang, kelompok, politisi, bahkan “benda” lainnya. Ahok adalah korban.

Ambil contoh pada kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras yang oleh BPK ditemukan adanya potensi penyimpangan dan korup. Ahok pernah mengajukan tuduhan bahwa kinerja BPK Perwakilan DKI Jakarta dalam melakukan audit itu tidak benar; Ahok menuduh kinerja badan pemeriksa keuangan itu tidak profesional.

Tetapi setelah dilakukan pertemuan terbatas dengan BPK-RI pada 23 November 2015—dimana Ahok sempat marah-marah karena bagian humas DKI Jakarta dilarang masuk ke ruangan dengan menggunakan kamera—akhirnya Ahok malu sendiri dan mengakui bahwa—sekali lagi, bukan dirinya yang salah—kinerja anak buahnya yang tidak becus dan buruk. Dengan “muka merah” di depan kamera, Ahok mengakui bahwa melalui pemeriksaan ini, dia justru mendapat banyak pelajaran dan akan melakukan perombakan besar-besaran pada instansi terkait. Ahok dan media pro-Ahok kembali memosisikan dirinya sebagai korban, kali ini dari anak buahnya sendiri.

Kasus “sabotase banjir” dengan ditemukannya sampah bungkus kabel di selokan ring 1 istana negara, lebih memalukan lagi. Pada kasus ini, media pro-Ahok juga tidak kalah gesit dalam mendukung tangkisan sang gubernur atas “tuduhan” bahwa dirinya dan dibawa kepemimpinannya, Pemda DKI Jakarta telah gagal dalam mengatasi banjir di Ibu Kota. Pada jauh hari sebelumnya, Ahok sendiri bahkan “seakan” menantang agar hujan segera datang untuk menunjukan bahwa dia telah berhasil membuat kebijakan dalam mengatasi banjir. Menjawab keangkuhan itu, pada bulan Februari 2016, hujan deras membasahi Ibu Kota. Hasilnya? Banjir di mana-mana dan hampir merata di seluruh wilayah DKI Jakarta! Sebabnya, sabotase!

Isu “sabotase” atau adanya rekayasa agar Jakarta terkena banjir—sebagai penanda bahwa Ahok dan jajarannya adalah “korban” dari perilaku “iseng” orang lain—pun segera meluncur. Kali ini klaim itu datang langsung dari sang gubernur sendiri, bicara kepada media dengan menunjukan foto. Media pro-Ahok kembali “mengoreng” dan mengiring opini publik (Jakarta dan warga korban media di luar Jakarta) agar bersetuju dengan klaim tersebut. Pendukungnya tidak kalah gencar membagikan proganda sepihak itu. Klaim bahwa Ahok sebagai korban dari pihak-pihak tertentu—yang tidak jelas itu—lantas menyebar sedemikian cepat.

Tetapi, fakta kemudian berkata lain. Tidak berapa lama, banyak pihak mencari fakta dan meminta klarifikasi dari berbagai pemangku kepentingan Jakarta, mulai dari Kapolda Metro Jaya hingga Pangdam Jaya. Dan sesudah dilakukan penelusuran, bahkan hingga pihak angkatan laut masuk ke dalam selokan-selokan tersebut, hasilnya adalah bahwa benda-benda itu merupakan peninggalan dari pekerjaan (proyek?) yang pernah dilakukan.

Tuduhan sabotase pun rontok dengan sendirinya. Publik pun paham, bahwa banjir yang terjadi di hampir seluruh wilayah DKI Jakarta kapan lalu itu adalah bukti (yang cukup telak) dari buruk dan belum maksimalnya rezim Ahok dalam mengurusi Jakarta. Publik tahu betul, bahwa kalau menyetujui klaim sabotase oleh Ahok, maka dia adalah korban. Tetapi jika menolak, maka itu refleksi atas buruknya kinerja Ahok dan jajarannya.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun