Tidak ada angin tidak ada hujan, malam itu saya sangat mendambakan sate ayam. 10 tusuk daging semua, bumbu kacang agak banyak, dan sedikit pedas. Tidak pakai lama, saya bergegas berangkat ke tempat sate langganan bersama Ibu saya tercinta.
Pria kurus, tinggi, dan berkulit putih yang sedang duduk di dalam terpal lekas berdri dan mematikan cerutu yang sedang dihisapnya. Pria manis berkumis tipis asal Madura yang ingin dipanggil Diego itu menyambut kami dengan senyum hangatnya. "Eh, Kak, Bu" katanya. "Kaya biasa, ya? Sama sop kambing juga buat dibawa pulang?" lanjut Bang Diego kepada kami. Kami hanya mengangguk sambil tersenyum.
Lamunan menunggu pembuatan sate ayam terbaik sejagat raya, setidaknya bagi saya, lambat laun terhenti mendengar lantunan seruan "Allahuakbar!" dari kejauhan. Betapa tercengungnya saya terlambat menyadari bahwa malam itu adalah hari terakhir puasa di tahun 2024. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, malam terakhir puasa selalu diwarnai dengan takbiran. Selain menyambut kedatangan hari raya, takbiran juga identik sebagai perayaan kemenangan bagi umat muslim untuk menyempurnakan bilangan puasa di bulan Ramadhan. Senang rasanya bisa ikut merasakan kemeriahannya.
"Pulang kampung ga, Bang?" tanya saya pada Bang Diego. Dengan penuh antusias, Bang Diego mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan mudik. "Saya mah ga pulang kampung, Kak," serunya. "Lah kenapa, Bang?" ucap saya tanpa pikir panjang setelah tersentak mendengar jawaban itu. Bang Diego menjelaskan, ternyata, mudik saat Idul Fitri bukanlah budaya masyarakat Madura. Budaya mudik masyarakat Madura justru dilakukan saat Idul Adha. Tradisi mudik ini disebut sebagai tradisi Toron. Awalnya, saya berasumsi bahwa Bang Diego harus menghidupi keluarganya -- berperan sebagai suami dan ayah dua dara -- menjalankan dua cabang usaha sate madura, bahkan terjebak di perantauannya. Setelah mengetahui Tradisi Toron, pandangan saya berubah. Hal ini kembali membuktikan masih banyak diversitas tradisi di Indonesia yang masih belum saya ketahui. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, niat hati dapat makan, alhasil juga dapat ilmu.
Hari berganti, Idul Fitri telah menanti. Ibu saya menelpon kakak iparnya, atau yang saya panggil Bude, untuk mengucapkan maaf lahir batin. Wanita paruh baya dengan badan agak berisi, berkulit mulus, murah senyum, dan sangat ceriwis itu sebut saja Bude Mawar. Bude Mawar dengan sukacita menjawab pertanyaan celetukan saya tentang perayaan Idul Fitrinya di Palu, Sulawesi Tengah. Kata Bude, lingkungan tempat tinggal Bude Mawar sudah tak lagi melakukan tradisi Mandura. Mandura selalu dilakukan seminggu setelah lebaran Idul Fitri dengan mengarak Mandura, makanan khas lebaran terbuat dari tiga jenis beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang.
Tradisi Mandura memang umumnya dilakukan oleh Suku Kaili asli sebagai perayaan Idul Fitri, namun, meski tetangga Bude Mawar berasal dari suku yang berbeda-beda, ternyata kekentalan budaya melangsungkan Mandura di Palu dapat dikatakan mulai luntur. Perayaan Idul Fitri di Palu sama seperti perayaan Idul Fitri di berbagai daerah di Indonesia umumnya, yakni open house dan halal bi halal. Makanan yang disajikan juga didominasi makanan saat lebaran umumnya, seperti kentang, bakso, dan opor.
"Setelah Bude pensiun kan Bude ikut Majelis Taklim, Bude seneng sih jadi punya kegiatan yang positif. Nama grup WhatsAppnya 'Omah Solehah', hahaha... Terus sebelum puasa kami ada rapat buat agenda kapan buka bersama, kapan bakti sosial. Waktu malam takbiran, kami juga ikut ngeramein pawai," tutur Bude kepada saya. Bude Mawar menambahkan, tidak ada tradisi atau kebiasaan khusus yang dilaksanakan di Palu. Perbedaan yang mencolok pada Idul Fitri kali ini di Palu adalah Salat Ied yang dijalankan di Masjid terdekat karena kantor Walikota Palu sedang direnovasi.
Di luar Majelis Taklim, kehidupan bertetangga Bude di Palu memang sudah erat dan sangat kekeluargaan. Berdasarkan cerita Bude Mawar, Bude tidak hanya kenal dengan tetangga samping rumah ataupun yang hanya satu jalan saja, melainkan tetangga di sebrang komplek juga masih kenal. "Waktu Covid kemarin sempet beku sih kegiatan rutinnya, tapi pas 2022 udah bangkit lagi. Setiap (hari) Kamis ada pengajian dan (hari) Sabtu ada arisan. Tetangga-tetangga Bude ngadain iuran untuk bagi-bagi sembako, yang mau sukarela mau nyumbang sembako juga boleh. Nanti dikasih ke siapa aja yang membutuhkan dan ga pandang bulu agama apa penerimanya, " kata Bude. Ternyata, lewat Idul Fitri momen toleransi semakin hangat ditemui.
Tak terasa waktu berjalan hingga tiba hari keenam Idul Fitri. Saya ingat bahwa Bude Titik, Bude paling easy going, paling nyentrik, dan paling skena yang saya kenal di hidup saya, akan berangkat ke Tulungagung untuk merayakan Syawalan. Tak banyak yang ku tahu soal Tulungagung selain banyak pantai di sana. Jadi, saya langsung menghubungi Bude Titik.
Bude Titik cerita, Syawalan di Tulungagung diwarnai dengan banyaknya ketupat di sepanjang jalan rumah warga. Siapapun bisa datang dan langsung makan, tanpa harus kenal ataupun ada hubungan keluarga. Tunjangan Hari Raya (THR) bersifat opsional bagi yang mampu saja. Paguyuban di sana sangat lekat. "Halal bi halal seharian dari pagi sampe malam. Nanti makan bareng di Masjid. Setiap orang misalnya bawa 5 (lima) makanan, nanti 4 (empat) dibagiin ke yang lain terus kita cuma dapet 1 (satu). Kalau ga bawa makanan juga gapapa, karena nanti makannya juga dibagi-bagi. Ya intinya menjunjung kebersamaan lah," ucap Bude Titik.
Dengan penuh keingintahuan, saya kembali bertanya pada Bude Titik. "Bude, apa tradisi Syawalan isinya cuma makan ketupat aja?" "Engga, sayang. Pas Syawalan juga ada ritual Dilarung, kaya ngasih sesajian ke tengah laut. Semacam bentuk ucapan syukur, ngasih lagi hasil bumi buat leluhur. Katanya sih biar aman dan selamat. Itu dilakuin sama warga setempat yang masih ngerti adat aja. Bude sendiri ga pernah ikut begituan, cuma liat dari jauh. Udah jadi destinasi wisata malah," ujar Bude Titik.
Lebaran Idul Fitri di Tulungagung tidak semeriah di kota-kota besar lain di Indonesia. Tidak ada perayaan tertentu. Setiap rumah menyediakan kue-kue seperti madumongso dan dodol, dan atau menghidangkan opor dan nasi kuning. Puncak kemeriahan perayaan Idul Fitri di Tulungagung terletak saat Syawalan atau seminggu setelah puasa berakhir.
Berbagai keunikan tradisi perayaan Idul Fitri menunjukkan dorongan hati yang sama; semangat kebersamaan dan kedamaian. Tradisi Idul Fitri menjadi pengingat bahwa Idul Fitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga momen untuk mempererat tali persaudaraan, kearifan lokal dan memperkuat nilai-nilai luhur bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H