Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai adalah suatu konsep budaya yang berasal dari wilayah Sumatera Selatan, khususnya di kalangan masyarakat etnis Melayu yang tinggal di Bangka Belitung. Ornamen ini merupakan simbol yang mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan persatuan di antara anggota masyarakat, baik secara adat maupun kehidupan sosial sehari-hari. "Serumpun" berarti berasal dari satu rumpun atau kelompok etnis yang sama, sedangkan "Sebalai" merujuk pada satu tempat atau wadah bersama yang melambangkan kesatuan.
"Serumpun Sebalai" pada dasarnya merangkum filosofi kebersamaan. Â Pada masa lalu, konsep ini diterapkan dalam berbagai kegiatan adat, seperti pernikahan, acara keagamaan, dan gotong royong. Warga yang merasa sebagai satu kesatuan tidak hanya dituntut untuk bekerja sama, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan antarindividu dan kelompok. Ornamen ini lambat laun menjadi simbol formal yang dipakai dalam berbagai bentuk seni dan arsitektur tradisional. Salah satu bentuk ornamen yang terkenal dari Serumpun Sebalai ini adalah motif-motif ukiran pada rumah adat dan alat-alat upacara tradisional yang menggambarkan simbol kebersamaan, seperti sulur-suluran, flora lokal, atau pola geometris yang sering digunakan dalam seni tenun atau ukiran kayu.
Di era modern, konsep Serumpun Sebalai masih tetap relevan, meskipun mungkin tidak lagi dalam bentuk fisik ornamen yang kaku. Nilai-nilai ini diterapkan dalam upaya menjaga kohesi sosial di tengah masyarakat yang semakin plural. Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai tetap dianggap sebagai warisan budaya yang penting dan menjadi identitas bersama bagi masyarakat di wilayah tersebut.
 Pasal 12 dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2021 Bangka Belitung tentang Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai menyatakan bahwa ornamen ini dapat digunakan pada nonbangunan, seperti alat transportasi, pakaian, atau media lainnya, yang berfungsi untuk memperkenalkan dan melestarikan simbol kebudayaan masyarakat Bangka Belitung. Pasal ini memperluas cakupan penggunaan Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai, tidak hanya terbatas pada arsitektur atau bangunan tradisional, tetapi juga meliputi benda-benda nonbangunan. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah daerah untuk memastikan bahwa ornamen budaya tersebut dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas melalui berbagai media sehari-hari.Â
Dari perspektif perizinan, penggunaan ornamen pada nonbangunan perlu diawasi dan diatur untuk menghindari penyalahgunaan simbol budaya. Dalam konteks sebuah peraturan daerah, ketentuan yang menyatakan bahwa sesuatu "dapat digunakan" sering kali merupakan bagian dari pengaturan yang lebih luas tentang tata kelola penggunaan simbol-simbol daerah, warisan budaya, atau kekayaan intelektual milik daerah. Jika pasal ini berdiri sendiri tanpa persyaratan administratif atau perizinan lebih lanjut, maka dapat ditafsirkan sebagai pemberian hak umum (general permission) yang memungkinkan masyarakat untuk menggunakan ornamen tersebut tanpa perlu mengajukan izin khusus.
Izin adalah persetujuan resmi yang diberikan oleh otoritas terkait, yang sering kali membutuhkan proses administrasi seperti pengajuan, verifikasi, atau pembayaran retribusi. Jika pasal 12 ini tidak mengatur mekanisme administratif tambahan, melainkan hanya memberikan keleluasaan atau akses umum, maka dapat dianggap sebagai bentuk pemberian izin otomatis (implied permission). Dalam hal ini, masyarakat yang ingin menggunakan Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai untuk nonbangunan dapat melakukannya tanpa harus melalui prosedur formal, selama tidak ada ketentuan tambahan yang mengharuskan pengurusan izin khusus.
Untuk menganalisis pasal ini dalam perspektif teori kemanfaatan dari Gustav Radbruch yang dikenal sebagai "Zweckmaerten" (tujuan hukum atau kegunaan hukum), kita dapat melihat pada hubungan antara hukum, budaya, dan manfaat sosial. Teori ini menyatakan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan yang mengatur tindakan, tetapi juga harus memiliki tujuan yang bermanfaat secara praktis bagi masyarakat. Gustav Radbruch mengidentifikasi tiga nilai dasar hukum: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Fokus pada kemanfaatan menekankan bahwa hukum harus memiliki kegunaan yang konkret bagi masyarakat.
Pertama, kemanfaatan dalam kehidupan sehari hari. Dengan memperbolehkan penggunaan Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai pada non-bangunan, pasal ini mendorong ekspresi budaya lokal di berbagai aspek kehidupan masyarakat Bangka Belitung. Ini menciptakan manfaat secara sosial dengan memperkuat identitas budaya yang mempererat solidaritas sosial, serta memperkenalkan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan modern. Berdasarkan teori Gustav Radbruch, kebijakan ini menunjukkan kemanfaatan dalam memperluas penggunaan simbol budaya untuk memperkaya kehidupan sosial dan meningkatkan rasa keterikatan masyarakat terhadap nilai-nilai lokal.
Kedua, kemanfaatan dalam ekonomi kreatif. Penggunaan ornamen dalam non-bangunan, seperti pakaian tradisional, produk kerajinan tangan, dan aksesori, juga mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif di wilayah Bangka Belitung. Ini memberikan manfaat ekonomi, menciptakan peluang bisnis, dan memperkuat usaha-usaha lokal. Dalam konteks teori kemanfaatan, hukum ini berperan sebagai instrumen yang mendukung perkembangan ekonomi melalui budaya, memberikan nilai praktis bagi kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, kemanfaatan dalam melestarikan identitas budaya. Mengizinkan ornamen ini digunakan di luar konteks arsitektural memperluas cakupan pelestarian budaya, sehingga tidak hanya terjebak dalam objek-objek statis seperti bangunan, tetapi menjadi bagian dari kehidupan dinamis masyarakat. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan nilai-nilai lokal di tengah pengaruh globalisasi. Berdasarkan teori Zweckmaerten, hukum yang mengatur ini tidak hanya sekadar peraturan administratif, tetapi juga berfungsi untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu pelestarian budaya dan peningkatan identitas lokal.Â
Kesimpulannya, Ornamen Jati Diri Serumpun Sebalai merupakan simbol budaya yang mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan persatuan dalam masyarakat Melayu di Bangka Belitung. Penggunaannya tidak hanya terbatas pada bangunan, tetapi juga diterapkan pada non-bangunan seperti pakaian dan kerajinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Perda No. 9 Tahun 2021. Ini memperluas peran ornamen tersebut dalam kehidupan modern.