Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengangkat Citra Polisi di Titik Nadir

17 Agustus 2022   08:51 Diperbarui: 17 Agustus 2022   08:53 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Goris Lewoleba

(Wakil Ketua Umum  dan Juru Bicara Vox Point Indonesia)

Bagai petir di siang bolong, menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77, ruang publik di Tanah Air dikejutkan oleh berita yang menggetarkan hati nurani seriap orang, sekaligus merambah ke seantero jagad raya,  mengenai kabar berita bahwa,  telah terjadi peristiwa tembak-menembak di kalangan aparat penegak hukum yaitu di dalam komunitas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kabar berita itu seketika juga menjadi viral di media sosial dan media mainstream dengan  muatan diksi dan narasi yang hiperbolik bahwa,  telah terjadi insiden "polisi menembak polisi di rumah polisi, ditangkap polisi dan diperiksa polisi di kantor polisi"

Berita itu relatif mengguncang persepsi publik,  karena langsung disinyalir oleh Humas Kepolisian bahwa peristiwa itu dipicu oleh tindakan pelecahan sexual di rumah Pejabat Tinggi Kepolisian,  yang justru terkait secara langsung dengan isteri dari Pejabat Tinggi Kepolisian yang bersangkutan.

Atas ceritera kejadian yang demikian,  maka peristiwa itu tak  pelak telah menjadi noktah buram bagi wajah kepolisian itu  sendiri, sekaligus telah pula menodai reputasi dan  nama baik bagi pejabat tinggi  di Kepolisian yang dimaksud,  yang justru menyandang Jabatan Kadiv Propam di Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sebagaimana dikatahui bahwa,  sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5/2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri, Divisi Propam Polri merupakan salah satu Lembaga Penting di Kepolisian Negara Repunlik Indonesia yang bertugas menyelenggarakan pengawasan internal dan Pertanggung jawaban Profesi,  selain Inspektorat Pengawasan Umum atau Irwasum Polri.

Dengan demikian,  maka kedua lembaga ini  merupakan lembaga yang berfungsi sebagai penjaga Akuntabilitas Institusi Polri serta nilai-nilai moral semua anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia . Oleh karena itu,  maka menjadi hal yang  sangat ironis  dan  paradoksal ketika terjadi kasus kriminal yang dilakukan oleh Pejabat Tinggi   Kepolisian yang menyita perhatian publik,  dan diduga pelaku utamanya adalah Pejabat Tingggi  di Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memimpin Lembaga Penjaga Nilai dan Moral Kepolisian dengan Pangkat Jenderal Polisi Bintang Dua.

Meskipun peristiwa ini  berada di ranah  privat dan wilayah personal,  tetapi dalam sudut pandang etika profesi dan prinsip moral pejabat negara,  apalagi pada level Perwira Tinggi Kepolisian,   maka hal itu secara melekat dan implisit  sangat memengaruhi citra kepolisian secara signifikan di mata publik.

Berita dimaksud semakin menyita perhatian publik,  karena korbannya adalah seorang Ajudan yang merupakan Orang Kepercayaan Keluarga Polisi sebagai atasannya, dengan menyisakan sejumlah fakta yang menopang beragam kejanggalan dalam nada  tanya di benak publik.

Apalagi, berita itu mengandung pula muatan "bisik-bisik" yang bersayap bahwa,  konon kabarnya,  peristiwa itu juga berawal  mula dari kisah "Asmara yang Terlarang", yang tidak terkait secara langsung dengan korban yang sudah menjadi almahrum.

Walaupun  begitu,  apapun alasan yang mendasarinya, kita perlu memberikan apresiasi kepada semua pihak,  terutama kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo,  yang telah memberikan perhatian secara khusus dengan meminta pihak kepolisian agar mengusut secara tuntas peristiwa dimaksud.

Demikian pula,  perhatian masyarakat melalui tekanan publik di media massa, telah mampu menjernikan isi berita dan meluruskan jalan ceritera peristiwa pada pemukaan mata air yang semakin bening,  dari ceritera semula yang cenderung berada di dalam kolam susu yang direkayasa.

Meskipun demikian,  masyarakat perlu memberikan dukungan kepada Kepolisian untuk dapat menyelesaikan masalah ini, agar citra polisi dapat kembali ke titik normal,  dengan merebut kembali simpati publik yang sedang terkapar, dan terlanjur basah di titik nadir.  

Polisi,  "Benci Tapi Rindu"

Dalam pengalaman dan kenyataan hidup bermasyarakat, realitas telah berbicara bahwa, sosok polisi merupakan aparat keamanan dan penegak hukum yang kerap amat dirindukan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Kebutuhan dan kerinduan akan kehadiran sosok polisi di tengah masyarakat, merupakan suatu keniscayaan yang realistis. Apalagi,  ketika masyarakat sedang mengalami peristiwa kriminal atau kejadian yang membutuhkan pertolongan dari polisi  demi kepentingan keselamatan jiwa dan raga dari warga  negara.

Walaupun demikian, tidak sedikit juga masyarakat yang mengalami trauma dan kecewa berat ketika berurusan dengan polisi, meski soal yang disebutkan terakhir ini  dapat merupakan kejadian yang bersifat kasuistis atau hal yang tidak berlaku secara umum.

Oleh karena itu masyarakat amat membutuhkan figur dan atau sosok polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. Sulit dibayangkan bila masyarakat hidup tanpa polisi  sebagai aparat keamanan dan sebagai aparat penegak hukum.

Dengan demikian,   dalam rangka penegakan hukum dan terjaminnya keamanan masyarakat,  maka loyalitas polisi bukan kepada Pejabat Polisi yang berada di atasnya,  tetapi yang justru menjadi atasan Polisi adalah Hukum itu sendiri, sembari disupport dengan dukungan penuh dari masyarakat sebagai sumber kekuatan yang menopang kinerja polisi.

Sehubungan dengan hal itu,  Pengamat Kepolisian Rukminto (2022) menyatakan bahwa, dukungan dari masyarakat terhadap Polri dapat menjadi semacam modal sosial bagi Polri agar dapat memperbaiki profesionalitas dan soliditas internal dari institusi kepolisian.

Oleh karena itu,  jika modal  sosial ini  dapat digunakan oleh Pimpinan Polri untuk melakukan "bersih-bersih" terhadap institusi kepolisian,  maka bukan  tidak mungkin kepercayaan publik dapat kembali direbut tatkala kepercayaan itu sedang jatuh ke titik nadir.

Situasi ini mempengaruhi persepsi publik secara signifikan,  lantaran peristiwa tewasnya Brigadir J yang masih menyisakan banyak tanya yang belum terjawab secara transparan dan akuntabel dari pihak kepolisian.

Polisi,  "Pulih Lebih Cepat,  Bangkit Lebih Kuat"

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke  77, yang dirayakan pada hari ini, Rabu Tanggal 17 Agustus 2022, dengan Tema : "Pulih Lebih Cepat,  Bangkit Lebih Kuat"  melalui Twibbon indah dan menawan yang sedang viral di Media Sosial, dapat menjadi mementum penting  dan sumber inspirasi bagi Polri untuk segera bangkit  dari titik nadir dan  merebut kembali simpati publik.

Meskipun  momentum ini dirayakan di tengah hingar bingar  berita di Media Sosial dan  Media Mainstream di seantero Tanah Air,  mengenai kasus kriminal mantan Kadiv Propam  Irjen Pol, FS  terhadap Brigadir J, dengan beragam kisah pilu yang menyayat rasa dan sanubari bagi setiap insan yang berakal budi dan  berhati nurani, tetapi melalui dukungkan publik yang sangat masif  dan meluas,  maka Polri akan pulih lebih  cepat dan bangkit lebih kuat.

Momentum kebangkitan ini dilakukan dengan penataan manajerial melalui pembenahan secara ke dalam di institusi kepolisian. Tindakan itu telah  ditunjukkan oleh ketegasan Kapolri yang melakukan penegakkan hukum scara lugas, otentik dan  terukur dalam penanganan kasus Mantan Kadiv Propam Polri Irjen. FS melalui proses penyelidikan yang bakal diserahkan ke Kejaksaan.

Sikap dan tindakan Kapolri yang perlu diapresiasi oleh publik adalah bahwa Kapolri selalu mendengarkan saran dan kritik dari semua pihak. Sehubungan dengan itu, maka  sebaiknya Kapolri perlu mengambil langkah strategis dengan mengevaluasi secara menyeluruh di Instutusi Kepolisian Negara Republik Indonesia,  dengan titik fokus pada trasnformasi dalam bidang pengawasan.

Hal  ini akan menjadi semakin sefektip dan fungsional bilamana Kapolri juga dapat memberikan kewenangan  diskresi kepada anggota Polri ketika ada perintah atasan yang menyimpang. Artinya bahwa,  janganlah hendaknya mengikuti perintah Itu,  jika perintah itu sudah tampak nyata melawan hukum.

Apalagi, kepemimpinan Kapolri saat ini menjalankan visi dan misinya dengan menggunakan tagline "Polri Presisi" yang merupakan akronim dari : prediktif,  responsibilitas,  transparansi, dan berkeadilan. Oleh karena itu, maka prinsip transparansi inilah yang harus diterapkan dalam penanganan kasus FS yang sedang menyita perhatian publik. Merdeka !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun