Namun, sayangnya, di awal Tahun 2020, di Gerbang Perhelatan Pesta Demokrasi Pilkada Serentak tahun ini, seorang Komisioner KPK terjerat Operasi Tangkap Tangan, hanya karena "silau melihat godaan suap" di depan mata.
Lalu, dengan itu, maka semua reputasi yang dibangun dan dijaga selama ini, menjadi lenyap seketika dan kemudian, perilaku itu menjadi seperti Nila Setitik, Merusak Susu Sebelanga.
Bicara dengan Suara Hati
Di tengah karaguan publik dan skeptisnya sebagian pihak akan kuatnya daya gedor KPK yang bakal melemah sebagai konsekuensi dari diterapkanya UU No. 19 Tahun 2019, tiba-tiba muncullah gebrakan KPK melalui Operasi Tangkap Tangan terhadap para oknum tindak pidana Korupsi yang mencengangkan semua pihak di negeri ini.
Meskipun aksi OTT kali ini merupakan residu tindakan dari KPK periode lalu, tetapi hentakan KPK di awal tahun 2020 ini telah memberi sinyal kuat kepada publik, dan terutama kepada para koruptor, bahwa KPK masih amat power full dan oleh karena itu janganlah coba-coba untuk dilawan.
Demikian pun harapan publik kepada Konsioner KPK berikut Badan Pengawas KPK agar hendaklah senantiasa tetap komit dan konsisten dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Memperhatikan dinamika dan perkembangan situasi serta Upaya Pemberantasan Korupsi di negeri ini, tampak jelas dan nyata terasa bahwa, tindak pidana Korupsi tidak pernah berkurang, bahkan cenderung semakin menjadi.
Lalu, muncul pertanyaan di mata dan hati publik, mengapa korupsi tidak pernah berkurang, meski Operasi Tangkap Tangan terus menerus dilakukan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa, korupsi merupakan perilaku tercela, tetapi pada saat yang bersamaan, para koruptor dapat mempertontonkan berbagai anomali gestur di muka publik.
Para koruptor bisa tersenyum lepas, dan terlihat tanpa beban di depan kamera. Tampaknya rasa malu para koruptor telah hilang tanpa bekas.
Dalam sudut pandang sosial budaya, akar masalah dari soal ini adalah "runtuhnya moralitas sebagai sumber nilai kehidupan yang bermartabat".