Terkait dengan hal itu, dari segi substansi demokrasi (Ingki Rinaldi, 2019), mengatakan bahwa praktik politik uang memang masih cenderung marak terjadi di perhelatan Politik Pemilu di Indonesia.
Namun demikian, kendati santer menjadi buah bibir, tetapi hal itu sulit untuk dibuktikan. Kondisi itulah yang menyebabkan sebagian masyarakat menentukan pilihannya atas kandidat tertentu pada menit-menit terakhir. Penentuan itu pun bergantung pada penawaran tertinggi yang diberikan.
Mempertegas hal itu, Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019), dalam Democracyfor Sale : Elections, Clientelism, and the State in Indonesia, menyoroti tentang praktik politik uang di Indonesia.
Aspinall dan Berenschot mengatakan bahwa politisi Indonesia merasa terjebak dalam pola pertukaran "klientelistik". Politisi Indonesia mendapatkan tekanan dari konstituen untuk memberikan uang tunai dan tunjangan lain.
Ada pula ketakutan membayangi, andai hal itu tidak dilakukan maka politisi yang bersangkutan akan kalah dari pesaingnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan keberanian moral tertentu atau basis politik yang luar biasa kuat untuk mencalonkan diri tanpa mendistribusikan patronase. Meski demikian, banyak kandidat yang memilih jalan tersebut, pada akhirnya kalah juga.
Kegembiraan dan Harapan
Masih segar dalam ingatan kita bahwa perhelatan pesta demokrasi Pemilu Presiden pada awal tahun 2019 ini telah membuat masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu dan berseberangan secara diametral. Situasi politik ketika itu rasanya begitu panas membara bagai api di dalam sekam.
Terkait dengan situasi politik itu, disinyalir oleh banyak pihak bahwa iklim politik Indonesia saat Pemilu Presiden telah disusupi oleh penumpang gelap, dengan hidden agenda untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi lain yang diimpor dari luar.
Lalu, situasi politik domestik menjadi semakin panas, dan nyaris terjadi bentrokan politik masal, karena sebagian kelompok masyarakat mengusung politik identitas dengan muatan emosi radikalisme.
Meskipun demikian, adalah hal yang amat menggembirakan di mana daya tahan sebagian besar masyarakat tetap kuat untuk menghadapi gempuran politik dengan muatan politik identitas dan radikalisme.
Kekuatan silent majority itu senantiasa ditopang dan diperkuat dengan kohesi sosial yang sangat memadai, dan telah menjadi semacam benteng penahan gempuran politik identitas dengan muatan radikalisme yang kental dan cenderung beringas.