Hari-hari belakangan ini, ruang publik kita sedang ramai dipenuhi dengan wacana dan pembicaraan mengenai Kursi Menteri dalam Kabinet Joko Widodo-KH Mar'uf Amin.
Pembicaraan itu menjadi hal yang lumrah, tetapi menarik perhatian banyak pihak karena terkait dengan siapa yang telah melakukan apa di perhelatan Pilpres kemarin, dan akan mendapatkan apa pasca Pilpres yang baru saja berlalu.
Hal ini menjadi urgensi soal yang amat penting secara politis, karena sebagaimana dipahami banyak pihak bahwa, tidak akan ada makan siang yang gratis.
Berkenaan dengan hal itu, maka dapat dipahami bahwa, harapan untuk memperoleh Kursi Kabinet bukan hanya merupakan Hak yang bersifat fakultatip, tetapi dalam takaran dan sudut pandang yang lebih luas, hal itu dapat pula dinyatakan sebagai kewajiban yang bersifat imperatif.
Moralitas PolitikÂ
Sebagaimana diketahui bersama bahwa, memperbincangkan Kursi Menteri dalam Kabinet Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin, akan selalu kerkelindan dengan Moralitas Politik yang mewarnai Kursi Menteri dalam Kabinet dimaksud.
Dikatakan demikian, karena posisi Menteri yang akan duduk di Kursi Kabinet merupakan jabatan publik yang tidak hanya mensyaratkan ketrampilan teknis politis dan kualifikasi kejuruan dalam mengeksekusi Program Pemerintah, tetapi lebih dari pada itu adalah hal yang berkaitan dengan ntegritas pribadi dengan standard moral yang tinggi.
Oleh karena itu, dengan berkaca pada Pemerintahan para Presiden sebelumnya, tidak terkecuali dengan Presiden Jokowi pada periode pertama, pengangkatan seorang Menteri untuk menduduki Kursi Kabinet dilakukan dengan beberapa kriteria yang sangat ketat.
Di antara berbagai kriteria dan pertimbangan dimaksud antara lain, kualifikasi terkait dengan keahlian, kapabilitas dan kompensi yang sudah menjadi semacam kriteria yang paling mendasar.
Selain itu, ada kriteria lain yang amat penting adalah terkait dengan integritas moral dan rekam jejak dari Calon Menteri yang bersangkutan, terutama berhubungan dengan riwayat ceritera tentang kasus korupsi dan masalah hukum lainnya.
Kemudian, ada hal lain yang telah menjadi semacam pakem politik dengan model Domokrasi Multi Partai di Indonesia adalah, representasi Politik dari sang Calon Menteri, apakah berasal dari Partai Koalisi pengusung dan pendukung Paslon terpilih atau mereka yang memiliki latar belakang Politik di luar entitas itu; atau bahkan mungkin dari kubu lawan politik sekalipun.
Sehubungan dengan hal yang disebut terakhir ini, maka tampaknya terminologi Moralitas Politik menjadi hal yang relevan untuk diperbincangkan.
Moralitas Politik merupakan derivasi dari Etika Politik; dimana Etika Politik adalah Filsafat Moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Dalam konteks yang lebih luas, Etika Politik juga dapat diartikan sebagai tata susila dan atau sopan santun dalam pergaulan politik, baik secara individual antar para politisi maupun secara kolektif yang mewakili Partai Politik atau kelompok kepentingan tertentu (Franz Magnis Suseno, 1991).
Dengan perkataan lain, Etika Politik merupakan prinsip moral tentang baik buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.
Dengan demikian, maka politik dalam demokrasi akan bermuara kepada persoalan moral, baik secara individual berkaitan dengan personifikasi politisi, maupun secara kolektif yang berhubungan dengan suatu Partai Politik tertentu. Meskipun demikian, secara empiris dapat dikatakan bahwa, menurunnya kualitas demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elit politik yang tidak memiliki integritas dan moral politik.
Sehubungan dengan hal itu, maka Matthew Collins (2003), mengatakan bahwa, integritas moral bukan sekedar mengandung makna dan muatan kehidupan pribadi elite politiknya, tetapi disejajarkan dengan aturan dan atau norma umum dari publik.
Hal ini dapat kita pahami dari segi "public honestum" bahwa, dari segi kepantasan umum, perilaku politisi atau tokoh politik dapat merupakan kesatuan antara nurani yang secara internal terdapat pada politisi sebagai manusia, dengan perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik, dan kepatuhan kepada hukum dan moral secara publik.
Dalam hubungannya dengan Moralitas Politik, maka dengan meminjam Mory Yana Gultom (2014), dikatakan bahwa, Moralitas merupakan atribut yang melekat pada Politik itu sendiri. Politik pada dirinya mengandung keutamaan-keutamaan moral seperti kerendahan hati, keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, dan kebenaran.
Lebih lanjut ditegaskannya bahwa, membangun moralitas dalam berpolitik juga berarti membangun akhlak dalam berdemokrasi.
Dari narasi tersebut di atas, maka dapat kita saksikan secara kasat mata dimana sebagai seorang negarawan, Joko Widodo tetap sabar dan tenang, meski dinista oleh pihak lawan politiknya secara berlebihan,
Tetapi Jokowi selalu menghadapinya dengan kepala dingin, bahkan masih terus berusaha mencoba untuk mengingatkan semua pihak agar dapat berpolitik dengan mengedepankan tata cara dan tatakrama politik kebangsaan sebagai politisi Indonesia.
Masih segar dalam ingatan di mata kepala publik, bahwa perhelatan Pilpres kemarin telah berjalan dengan lancar dan sukses, meski nuansa politik yang mewarnainya tampak terasa sangat sengit bahkan cenderung keluar dari batas idiom praktek politik yang beradab.
Situasi yang demikian, dapat kita saksikan bersama dan sudah menjadi agenda publik bahwa, pertarungan perebutan kekuasaan dalam Pilpres kemarin sangat sarat dengan muatan perilaku para elit Politik, yang dalam kacamata Moralitas Politik telah melampaui batas sopan santun dalam kewajaran perilaku politik.
Lain di Bibir lain di Hati
Politik, seperti dikatakan oleh Paul Ricoeour dalam "The Poltical Paradox" (1965), merupakan segala bentuk kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan, maka diksi politik "lain di Bibir, lain di Hati" merupakan potret buram wajah politik Indonesia zaman now.
Sebagaimana kita saksikan bersama bahwa, demi untuk merebut kekuasaan, maka para politisi telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.
Cara dimaksud, antara lain, dengan menyebarkan hoax atau berita bohong serta mengumbar ujaran kebencian terhadap lawan politik, seperti misalnya yang dialami oleh Calon Presiden Joko Widodo.
Sudah menjadi konsumsi publik, bagaimana sekelompok politisi, bahkan tokoh masyarakat yang berlawanan haluan politik menamai Jokowi yang adalah Presiden Republik Indonesia dengan ungkapan yang tidak pantas untuk disebutkan disini.
Demikian juga politisi dari Partai Politik tertentu yang mengejek Jokowi dengan kata dan ungkapan yang sangat tidak pantas.
Sementara itu, pemimpin Partai yang besangkutan seolah mebiarkan hal seperti itu terjadi dan berlalu begitu saja tanpa ada upaya atau prakarsa untuk mengendalikan praktik berdemokrasi dengan modus operandi politik yang demikian.
Tetapi ketika kemudian sebagian besar rakyat Indonesia memilih Jokowi untuk kembali menjadi Presiden, tampaknya hampir semua pihak yang kemarin menghina Jokowi dengan melampau batas kepantasan umum, justru saat ini sedang berusaha sekuat tenaga dengan berbagai harapan dan merapat ke kubu Jokowi untuk mendapat Kursi Menteri. Dalam momen seperti inilah, sikap politik yang demikian akan menjadi tanda tanya bagi sebagian besar publik.
Mengapa hal itu perlu dipertanyakan sebagai suatu refleksi bersama, karena boleh jadi keinginan untuk menjadi Menteri itu, tidak hanya untuk menjalankan agenda Pemerintahan Jokowi dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, tetapi kemungkinan besar mereka punya hidden agenda untuk mewujudkan ambisi politik tertentu.
Belum lagi, jika sekiranya diakomodir sebagai Menteri di Kabinet Jokowi, lalu di tengah jalan, Menteri dengan Partai Politiknya justeru berbalik haluan dan bekhianat serta tidak setia kepada Presiden Jokowi, dan berdasarkan pengalaman empiris, hal itu sudah pernah terjadi pada Kabinet Presiden Jokowi periode yang lalu.
Lantas, bagi Presiden Jokowi, Menteri berikut Partai Politiknya sudah menjadi seperti duri di dalam daging. Dan hal itu secara moral sangat mencemari reputasi dan kredibikitas dari Menteri dari Partai yang besangkutan.
Dengan demikian, maka adapun hal yang menjadi moral point yang dapat dipetik dari narasi ini adalah bahwa, meskipun bebeda preferensi dan pilihan politik, tetapi sebagai politisi atau siapapun kita, apalagi sebagai Menteri yang duduk di Kabinet Presidesial, maka hendaklah kita wajib menghargai martabat setiap orang sebagai sesama manusia dengan berpegang pada Moralitas Politik sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam berpoltik.
Kemudian, ada hal fundamental yang perlu disadari bahwa, janganlah hendaknya kita menghina orang lain, apalagi menghina seorang Presiden, karena kita adalah orang Indonesia yang Pancasilais dan berbudi luhur, yang senantiasa menjunjung tinggi Presiden kita, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan.
-Goris Lewoleba-
Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direkrur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI