Lain di Bibir lain di Hati
Politik, seperti dikatakan oleh Paul Ricoeour dalam "The Poltical Paradox" (1965), merupakan segala bentuk kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan, maka diksi politik "lain di Bibir, lain di Hati" merupakan potret buram wajah politik Indonesia zaman now.
Sebagaimana kita saksikan bersama bahwa, demi untuk merebut kekuasaan, maka para politisi telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.
Cara dimaksud, antara lain, dengan menyebarkan hoax atau berita bohong serta mengumbar ujaran kebencian terhadap lawan politik, seperti misalnya yang dialami oleh Calon Presiden Joko Widodo.
Sudah menjadi konsumsi publik, bagaimana sekelompok politisi, bahkan tokoh masyarakat yang berlawanan haluan politik menamai Jokowi yang adalah Presiden Republik Indonesia dengan ungkapan yang tidak pantas untuk disebutkan disini.
Demikian juga politisi dari Partai Politik tertentu yang mengejek Jokowi dengan kata dan ungkapan yang sangat tidak pantas.
Sementara itu, pemimpin Partai yang besangkutan seolah mebiarkan hal seperti itu terjadi dan berlalu begitu saja tanpa ada upaya atau prakarsa untuk mengendalikan praktik berdemokrasi dengan modus operandi politik yang demikian.
Tetapi ketika kemudian sebagian besar rakyat Indonesia memilih Jokowi untuk kembali menjadi Presiden, tampaknya hampir semua pihak yang kemarin menghina Jokowi dengan melampau batas kepantasan umum, justru saat ini sedang berusaha sekuat tenaga dengan berbagai harapan dan merapat ke kubu Jokowi untuk mendapat Kursi Menteri. Dalam momen seperti inilah, sikap politik yang demikian akan menjadi tanda tanya bagi sebagian besar publik.
Mengapa hal itu perlu dipertanyakan sebagai suatu refleksi bersama, karena boleh jadi keinginan untuk menjadi Menteri itu, tidak hanya untuk menjalankan agenda Pemerintahan Jokowi dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, tetapi kemungkinan besar mereka punya hidden agenda untuk mewujudkan ambisi politik tertentu.
Belum lagi, jika sekiranya diakomodir sebagai Menteri di Kabinet Jokowi, lalu di tengah jalan, Menteri dengan Partai Politiknya justeru berbalik haluan dan bekhianat serta tidak setia kepada Presiden Jokowi, dan berdasarkan pengalaman empiris, hal itu sudah pernah terjadi pada Kabinet Presiden Jokowi periode yang lalu.
Lantas, bagi Presiden Jokowi, Menteri berikut Partai Politiknya sudah menjadi seperti duri di dalam daging. Dan hal itu secara moral sangat mencemari reputasi dan kredibikitas dari Menteri dari Partai yang besangkutan.
Dengan demikian, maka adapun hal yang menjadi moral point yang dapat dipetik dari narasi ini adalah bahwa, meskipun bebeda preferensi dan pilihan politik, tetapi sebagai politisi atau siapapun kita, apalagi sebagai Menteri yang duduk di Kabinet Presidesial, maka hendaklah kita wajib menghargai martabat setiap orang sebagai sesama manusia dengan berpegang pada Moralitas Politik sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam berpoltik.