Aku ikut masuk bersama dua orang terpelajar muda usia itu.
Entah siapa yang mengawali, busana yang melekat di badan berguguran sudah. Mereka sama memagut. Bukan aku yang meminta kawanku pengatur petir menyambarkan petir kencang. Sambaran petir yang membuat mereka kaget. Mobil mahasiswi berleher jenjang menjerit-jerit alarmnya. Selalu begitu jika petir menyambar dengan kencangnya. Seketika ia meraih kunci dan menakan tombol di gantungan kunci. Tapi hatinya gamang. Ia teringat sesuatu. Diakhiri ritual purba bersama mahasiswa berambut kribo itu.
“Maaf, aku harus segera pulang, ibuku sedang sakit di, rumah dia sendirian.”
Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir mahasiswa berambut kribo. Matanya menatap nanar kepergian perempuan yang wanginya telah membuat mabuk.
Gontai aku berjalan menyusuri trotoar yang berlubang disana-sini. Aku beralih dari hiruk pikuk hura-hura manusia posmo menuju pinggiran jalan. Menjumpai orang-orang tak berumah. Menggelandang di sekujur tubuh kota.
Aku masuk bilik kecil penjual kopi yang anaknya terbaring dengan badan demam. Harap-harap cemas dia menunggu tetangganya yang mau mengantar ke rumah sakit. Lama ditunggu tetangga itu tak muncul juga. Kali ini aku minta kawanku yang mengatur hujan untuk sejenak menghentikan hujan. Biar bapak-anak ini bisa berangkat ke rumah sakit. Tak tega aku melihat gigil anak itu.
Benar. Hujan sesaat berhenti. Dengan penuh kasih bapak penjual kopi berlari menggendong anaknya. Mencari becak dan ojek di malam yang kian merapat ke pagi seperti mencari jarum dalam jerami. Kalut. Bapak yang menggendong anaknya terus berlari, berlari.
Aku memutar otak. Apa yang mesti aku lakukan untuk membantu bapak penjual kopi. Dari jauh aku melihat mobil mahasiswi berleher jenjang melintas di jalanan. Aku melambaikan tangan, coba menghentikan mobilnya. Dia acuh. Aku tak dilihatnya. Sial!
Lalu melintas John dan Alin, pemilik café, dengan motor gedenya. Aku hentikan mereka. Namun, menoleh pun mereka tidak. Ah, aku benci tak terlihat! Benci sekali!
Tiba-tiba terbetik satu pemikiran untuk membawa bapak-anak itu ke langit bersamaku. Biar mereka menemu damai di sana. Ragu menggelanyut. Boleh jadi justru damai mereka ada di sini. Bukan di langit sana.
Aku tak peduli, pokoknya aku harus membawanya ke langit. Kota ini hanya menawarkan luka demi luka.