Mohon tunggu...
Goresan Pena
Goresan Pena Mohon Tunggu... -

Salam kenal Semua

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anak yang Malang Itu Meregang Nyawa Kala Fajar Menyingsing

2 Mei 2011   11:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:09 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="657" caption="Ilustrasi by Google"][/caption]

Malam yang muram. Kaca jendela di sebuah hotel tengah kota basah oleh embun lantaran gerimis bertahan sejak sore. Penjual bakmi tercenung di sudut kontrakannya. Hanya beberapa piring bakmi saja yang laku hari ini. Gerimis dan dingin menahan orang-orang keluar rumah menjenguk dagangannya.

Sementara itu, aku baru saja menjejak bumi. Sudah tiga hari ini aku tidak diijinkan oleh Tuan Langit untuk mengunjungi bumi. Menjalankan pekerjaan sampinganku: menjaga malam. Ya, aku adalah seorang penjaga malam. Menjaga malam di bumi yang katanya sering berselimut kabut warna kelam.

Pekerjaan utamaku sebenarnya adalah mengawasi perputaran mendung. Kapan ia akan menjadi hujan yang membasahi bumi, kapan ia harus berdiam di sela-sela awan. Sering aku tak tega jika Tuan Langit memerintahkanku mengguyurkan hujan yang begitu derasnya tanpa didahului dengan isyarat mendung. Aku lihat orang-orang sama kelabakan mendapati kehadiran hujan yang begitu tiba-tiba. Ada yang berlari-lari mencari tempat berteduh, ada yang bergegas membuka bagasi motor untuk mengambil jas hujan. Tapi biarlah begitu, aku hanya mengawasi perputaran mendung. Tuan Langit lah yang punya wewenang penuh untuk menjadikannya hujan atau tidak. Membuatnya tanpa isyarat mendung atau dengan mendung yang menggulung-gulung. Saat ini aku harus konsentrasi dengan tugas menjaga malam di bumi. Oya, aku lupa memberi tahu pembaca sekalian, bahwa aku ini tak kasat mata. Jadi manusia-manusia di bumi tak bisa melihatku. Hanya orang-orang dengan tingkat kesaktian tertentu yang mungkin bisa melihatku. Biasanya mereka dari kalangan yang bersih hatinya, jauh dari angkara murka dan iri dengki. Pun begitu, selama bertugas menjaga malam di bumi aku belum pernah kepergok sekalipun oleh manusia.

Aku awali pengembaraan malam ini di sebuah café. Bangunan dua tingkat ini tidak terlalu besar. Di lantai dasar terdapat mini bookstrore dan meja kasir. Sedang di lantai dua selain meja bar yang memanjang di salah satu sudut, ada meja kayu artistik dengan ukiran, sofa, serta mini library. Selain menjual kudapan ringan, tempat ini memang menjual buku terbitan baru dan best seller. Di beberapa sudut café juga ditemui rak-rak buku dengan koleksi buku sastra, filsafat dan agama. Itu untuk dibaca di tempat, tidak dijual atau disewakan. Hanya ada segelintir buku teenlit disini. Yang jelas tidak bisa ditemui adalah majalah atau tabloid infotainment. Tampaknya café ini memposisikan dirinya sebagai tempat nongkrong pelajar dan mahasiswa yang hendak mengais ilmu. Tak sekadar tempat kongkow-kongkow menghabiskan malam.

Di lantai dua cafe, empat orang mahasiswa tampak sedang berdiskusi. Memperdebatkan keberadaan tuhan.

“Setiap yang ada pasti ada yang menciptakan. Kita ada di dunia buah dari hubungan ayah dan ibu kita. Lantas jika dibilang tuhan itu ada siapa yang menciptakan tuhan? Pasti ada makhluk yang lebih hebat, karena dia bisa menciptakan tuhan yang menciptakan manusia,” terang seorang mahasiswi berleher jenjang dengan rambut dikucir mirip buntut kuda. Parasnya akan mengingatkan kita dengan seorang penyayi perempuan di era tujuh puluhan.

“Tidak perlu kita simpan keraguan atas tuhan! Cukup kita percaya dan sudah. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak penting.” Sanggah mahasiswa berambut kribo.

“Iya seharusnya begitu. Tinggal percaya saja apa susahnya?” dukung mahasiswa dengan tatto kepala elang di lehernya.

Aku tersenyum simpul mendengar diskusi mereka. Sejenak aku tinggalkan keempat mahasiswa yang berdebat. Diskusi itu selanjutnya didominasi oleh mahasiswa berambut kribo dan mahasiswi berleher jenjang. Yang lain lebih banyak diam, merenung sembari menyimak lagu-lugu Efek Rumah Kaca yang diputar pihak café.

Selanjutnya aku masuk ruangan -sepertinya kantor- di bagian belakang café. Di ruangan dengan penerangan minimalis itu aku mendapati dua orang sedang bercakap serius. Pemilik café rupanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun