Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Hidup Seorang PSK di Negara yang Melegalkan Prostitusi

31 Mei 2017   15:17 Diperbarui: 31 Mei 2017   18:52 6008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marie (sebelah Kanan) dalam salah satu diskusi di Jerman, FOTO: baden-wuttermberg.de

Salah satu lapangan pekerjaan tertua di dunia adalah menjadi PSK atau prostitusi. Namun, sejarah juga mencatat bahwa bukan hanya prostitusi. Tidak ada prostitusi tanpa perbudakan. Maka, lapangan pekerjaan lainnya adalah menjadi budak.

Dua hal ini memang agak riskan. Ada pengamat yang mendefinisikan keduanya bukan lapangan pekerjaan. Mereka cenderung menilainya sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, atau juga terhadap budak pria. Pada zaman raja-raja kuno, sistem perbudakan begitu kental. Konon, seorang raja mempunyai ribuan budak bahkan lebih. Makin besar kerajaannya, makin banyak budaknya.

Sang raja memilih โ€˜yang tercantikโ€™ untuk menjadi budak seksnya. Bisa satu bisa banyak. Tidak seperti sistem PSK zaman modern, sang raja bisa menggunakan jasanya kapan saja. Tidak ada administrasi rumit, perantara, atau jasa penghubung lainnya. Sang raja memiliki kuasa penuh atas kehidupan sang budak. Maka, kapan saja dia mau, dia bisa memakai tubuh sang budak. Di sini, sang raja adalah penguasa tubuh sang PSK.

Di sisi lain, kehidupan sang PSK bergantung erat pada sang raja. Jika sang raja berkuasa 24 jam, sang PSK dikuasai selama 24 jam. Dia tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Termasuk ketika sampai nyawanya hilang. Atau juga ketika tubuhnya tidak memberi kepuasan lagi pada sang raja.

Mereka dijadikan prostitusi, FOTO: ilponte.com
Mereka dijadikan prostitusi, FOTO: ilponte.com
Meski praktik atau sistem budak seks seperti ini dianggap tidak bagus, tidak ada hukuman yang mengikat. Sang raja tetap pada posisi sebagai penguasa dan sang PSK tetap pada posisi sebagai objek alias yang dikuasai.

Saat ini, sistem budak seks kuno dihapus. Tetapi, bukan berarti budaks seks hilang. Masih ada budak seks dengan sistem yang berbeda. Di kota Rimini-Italia Utara pada Februari yang lalu ada diskusi hangat tentang perihal kehidupan para PSK terutama kaum hawa. Diskusi ini menyentuh langsung tema yang berkaitan dengan kehidupan para prostitusi: โ€œLa visione antropologica della donna e il fenomeno della prostituzioneโ€. Bisa dipahami sebagai โ€œPerempuan dipandang dari sudut pandang Antropologi dan Fenomena Prostituti.โ€

Kota Rimini sebagai kota para turis dan kota pertemuan internasionalย Eropa kiranya tepat sebagai tempat diskusi. Entah 2 penyelanggara sengaja atau tidak sengaja memilih tempat ini. Yang jelas 2 asosisasi yang memelopori diskusi ini mempunyai reputasi bagus dan berkarya di level internasional:โ€œAssociazione Papa Giovanni XXIIIโ€ dan โ€œAgesci alias Associazione Guide e Scouts Cattolici Italianiโ€.

Yang pertama berdiri sejak 1968 oleh Pastor Oreste Benzi, dan saat ini melayani sekitar 41.000 orang di seluruh dunia. Misi utamanya adalah membantu pihak emarginasi dan kaum miskin. Organisasi yang memiliki wakil tetap di PBB ini juga menyediakan banyak rumah untuk kaum tuna wisma di Italia dan di banyak negara lainnya.

Yang kedua berdiri sejak 1974. Bergerak di bidang pendidikan ekstrakurikuler dengan model Pendidikan ala Pramuka Italia. Penggeraknya adalah Perkumpulan Pembina Pramuka Katolik Italia. Jangan heran jika kegiatannya berkaitan dengan pembinaan mental dan karakter kemanusiaan.

Marie (sebelah Kanan) dalam salah satu diskusi di Jerman, FOTO: baden-wuttermberg.de
Marie (sebelah Kanan) dalam salah satu diskusi di Jerman, FOTO: baden-wuttermberg.de
Karakter kemanusiaan ini disentuh juga oleh Pembicara Utama diskusi ini yakni Marie Merklinger. Marie adalah mantan prostitusi Jermandan kini menjadi Aktivis di โ€œSpace Internasionalโ€. โ€œSaya menjadi PSK dengan kesadaran dan kehendak saya,โ€ kata Merie dalam diskusi itu. Saat itu, umurnya 40 tahun, punya 2 anak yang mesti diasuh dengan kasih sayang. Malangnya, Merie tidak punya pekerjaan. Dia hidup tanpa sokongan untuk membiayai dua anaknya dan dan juga kehidupan keluarga.

Merie pun banting setir dari roda kehidupannya. Dia memilih jadi PSK. Merie memilih pekerjaan ini untuk membiayai kehidupan keluarga dan anaknya. Maka, โ€œIni adalah sebuah pilihan,โ€ lanjutnya. Di Jerman, pekerjaan menjadi PSK sudah dilegalisasi sejak 2002 yang lalu. Meski sudah dilegalkan, pekerjaan ini rupanya tidak punya jaminan seperti dalam lapangan pekerjaan lainnya. Melihat praktik ini, Merie pun tidak segan mengatakan, โ€œIni bukan sebuah profesi, bukan sebuah pemuasan seksual, bukan juga sebuah pekerjaan, ini tepatnya adalah sebuah tindakan penyalahgunaan (un abuso) terhadap tubuh perempuan.โ€ (situs newrimini.it)

Bagi Merie, menjadi PSK bukanlah sebuah pekerjaan yang memuaskan. Dia menjalankan ini dalam suasana โ€˜tidak menikmatiโ€™ kebebasan dan kemerdekaannya. Dia tampaknya menghirup udara โ€˜keterpaksaanโ€™. โ€œBagaimana bisa dikatakan sebuah pekerjaan jika saya hanya bertugas untuk memenuhi hasrat sang hidung belang termasuk ketika saya tidak tahan menghirup bau tubuhnya. Bayangkan suasana tragis lainnya,โ€ katanya kepada koran Avvenire. (Avvenire 8/02/2017)

Beratnya suasana kelam itu membuat Merie berpikir keras untuk membarui kehidupannya. Dia tidak berhenti pada suasana yang ia alami. Ia menerawang pada ribuan bahkan jutaan โ€˜sahabat seprofesinyaโ€™ย di seluruh Jerman dan bahkan di seluruh dunia. Ceritanya yang sampai menitikkan air matanya ini membawanya untuk melihat dengan jernih setiap tetes air mata para PSK di seluruh dunia. Tetes air mata itu pun kini menjadi sebuah organisasi internasional di mana Merie bekerja. Ia bergabung dan menjadi aktivis di โ€œSpace Internationalโ€. Di sini, Merie mendampingi banyak mantan atau yang masih berprofesi PSK. Misi Merie adalah memampukan mereka kembali ke masyarakat dengan hak dan kewajiban yang total sebagai anggota masyarakat.

Prostitusi dari Bulgaria di Italia, FOTO: bulgariaoggi.com
Prostitusi dari Bulgaria di Italia, FOTO: bulgariaoggi.com
Misi ini lahir dari suasana PSK Jerman. โ€œMeski sudah dilegalkan, Jerman justru belum mampu merehabilitasi mental mantan PSK itu,โ€ tutur Merie. Ia juga mengalamaninya setelah 3 tahun menjalani profesi tertua di dunia ini. Saat itu, dia juga mengalami depresi, takut, gemetar, bermasalah secara psikologi. Singkatnya, Merie menjadi โ€˜rusakโ€™ secara mental.

Negara-negara Eropa memang memiliki banyak transaksi prostitusi. Italia termasuk di dalamnya. Sistem penangan terhadap masalah yang timbul pun bermacam-macam. Ada 2 penangan yang terkenal saat ini yakni melegalkan (Jerman dan Belanda) atau memberi sanksi kepada pelanggan (Swedia, Norwegia, Islanda dan Prancis). Sistem kedua ini dikenal sebagai Sistem Utara (Modello Nordico) yang menganggap prostitusi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kritik Merie terhadap model Legalisasi yang dianut Jerman tampaknya senada dengan pendapat Kristian Gianfreda dari Italia. Aktivis dari Asosiasi โ€œQuesto รจ il mio corpoโ€ alias โ€œIni adalah Tubuh Sayaโ€ ini melihat Sistem Legalisasijustru meningkatkan permintaan terhadap PSK-PSK yang lebih muda. Di Italia, fenomena ini mulai muncul. Untuk jumlah prostitusi saja, Italia menembus angka 75.000 sampai 120.000.

Jumlah ini memang termasuk kecil dibanding Jerman yang memiliki 400.000 PSK di sekitar 3.500 rumah prostitusi. Di sini, diperkirakan 1.200.000 transaski seksual setiap harinya. Besaran bisnisnya berkisar 14,5 miliar euro per tahun. Pendapat Merie sebelumnya kiranya benar. Dengan biaya besar dan jumlah transaksi yang tinggi ini, Jerman masih belum bisa mengatasi berbagai persoalan yang muncul. (Avvenire 8/02/2017)

Prostitusi dari Albania di Italia, FOTO: qn.quotidiano.net
Prostitusi dari Albania di Italia, FOTO: qn.quotidiano.net
Sampai saat ini, Italia dan Swedia mulai menggalakkan usaha mengatasi persoalan ini. Italia sedang membuat Undang-undang yang akan menerapkan Hukuman Denda sebesar 250 sampai 10.000 euro (sekitar Rp. 150.000.000) untuk pengelola atau menjadi klien-pelanggan rumah prostitusi. Model Eropa memang tidak sebatas memberi denda. Italia dan Swedia juga membantu merehabilitasi mental dan karakter para mantan PSK. Swedia dalam 15 tahun terakhir sudah berhasil membantu sekitar 65% dari para mantan PSK.

Dari paparan ini kiranya tepat mengajukan usulan, mana yang bagus, Melegalkan Prostitusi atau Menghukum para Konsumen?Indonesia kiranya boleh memilih. Atau juga terserah pada Gubernur, Wali Kota, atau Pejabat Berwenang di setiap kota untuk mengatasi persoalan ini tanpa menjadikan wanita PSK sebagai โ€˜tidak manusiawiโ€™.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 31/5/2017

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun