Salah satu lapangan pekerjaan tertua di dunia adalah menjadi PSK atau prostitusi. Namun, sejarah juga mencatat bahwa bukan hanya prostitusi. Tidak ada prostitusi tanpa perbudakan. Maka, lapangan pekerjaan lainnya adalah menjadi budak.
Dua hal ini memang agak riskan. Ada pengamat yang mendefinisikan keduanya bukan lapangan pekerjaan. Mereka cenderung menilainya sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, atau juga terhadap budak pria. Pada zaman raja-raja kuno, sistem perbudakan begitu kental. Konon, seorang raja mempunyai ribuan budak bahkan lebih. Makin besar kerajaannya, makin banyak budaknya.
Sang raja memilih ‘yang tercantik’ untuk menjadi budak seksnya. Bisa satu bisa banyak. Tidak seperti sistem PSK zaman modern, sang raja bisa menggunakan jasanya kapan saja. Tidak ada administrasi rumit, perantara, atau jasa penghubung lainnya. Sang raja memiliki kuasa penuh atas kehidupan sang budak. Maka, kapan saja dia mau, dia bisa memakai tubuh sang budak. Di sini, sang raja adalah penguasa tubuh sang PSK.
Di sisi lain, kehidupan sang PSK bergantung erat pada sang raja. Jika sang raja berkuasa 24 jam, sang PSK dikuasai selama 24 jam. Dia tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Termasuk ketika sampai nyawanya hilang. Atau juga ketika tubuhnya tidak memberi kepuasan lagi pada sang raja.

Saat ini, sistem budak seks kuno dihapus. Tetapi, bukan berarti budaks seks hilang. Masih ada budak seks dengan sistem yang berbeda. Di kota Rimini-Italia Utara pada Februari yang lalu ada diskusi hangat tentang perihal kehidupan para PSK terutama kaum hawa. Diskusi ini menyentuh langsung tema yang berkaitan dengan kehidupan para prostitusi: “La visione antropologica della donna e il fenomeno della prostituzione”. Bisa dipahami sebagai “Perempuan dipandang dari sudut pandang Antropologi dan Fenomena Prostituti.”
Kota Rimini sebagai kota para turis dan kota pertemuan internasional Eropa kiranya tepat sebagai tempat diskusi. Entah 2 penyelanggara sengaja atau tidak sengaja memilih tempat ini. Yang jelas 2 asosisasi yang memelopori diskusi ini mempunyai reputasi bagus dan berkarya di level internasional:“Associazione Papa Giovanni XXIII” dan “Agesci alias Associazione Guide e Scouts Cattolici Italiani”.
Yang pertama berdiri sejak 1968 oleh Pastor Oreste Benzi, dan saat ini melayani sekitar 41.000 orang di seluruh dunia. Misi utamanya adalah membantu pihak emarginasi dan kaum miskin. Organisasi yang memiliki wakil tetap di PBB ini juga menyediakan banyak rumah untuk kaum tuna wisma di Italia dan di banyak negara lainnya.
Yang kedua berdiri sejak 1974. Bergerak di bidang pendidikan ekstrakurikuler dengan model Pendidikan ala Pramuka Italia. Penggeraknya adalah Perkumpulan Pembina Pramuka Katolik Italia. Jangan heran jika kegiatannya berkaitan dengan pembinaan mental dan karakter kemanusiaan.

Merie pun banting setir dari roda kehidupannya. Dia memilih jadi PSK. Merie memilih pekerjaan ini untuk membiayai kehidupan keluarga dan anaknya. Maka, “Ini adalah sebuah pilihan,” lanjutnya. Di Jerman, pekerjaan menjadi PSK sudah dilegalisasi sejak 2002 yang lalu. Meski sudah dilegalkan, pekerjaan ini rupanya tidak punya jaminan seperti dalam lapangan pekerjaan lainnya. Melihat praktik ini, Merie pun tidak segan mengatakan, “Ini bukan sebuah profesi, bukan sebuah pemuasan seksual, bukan juga sebuah pekerjaan, ini tepatnya adalah sebuah tindakan penyalahgunaan (un abuso) terhadap tubuh perempuan.” (situs newrimini.it)
Bagi Merie, menjadi PSK bukanlah sebuah pekerjaan yang memuaskan. Dia menjalankan ini dalam suasana ‘tidak menikmati’ kebebasan dan kemerdekaannya. Dia tampaknya menghirup udara ‘keterpaksaan’. “Bagaimana bisa dikatakan sebuah pekerjaan jika saya hanya bertugas untuk memenuhi hasrat sang hidung belang termasuk ketika saya tidak tahan menghirup bau tubuhnya. Bayangkan suasana tragis lainnya,” katanya kepada koran Avvenire. (Avvenire 8/02/2017)
Beratnya suasana kelam itu membuat Merie berpikir keras untuk membarui kehidupannya. Dia tidak berhenti pada suasana yang ia alami. Ia menerawang pada ribuan bahkan jutaan ‘sahabat seprofesinya’ di seluruh Jerman dan bahkan di seluruh dunia. Ceritanya yang sampai menitikkan air matanya ini membawanya untuk melihat dengan jernih setiap tetes air mata para PSK di seluruh dunia. Tetes air mata itu pun kini menjadi sebuah organisasi internasional di mana Merie bekerja. Ia bergabung dan menjadi aktivis di “Space International”. Di sini, Merie mendampingi banyak mantan atau yang masih berprofesi PSK. Misi Merie adalah memampukan mereka kembali ke masyarakat dengan hak dan kewajiban yang total sebagai anggota masyarakat.

Negara-negara Eropa memang memiliki banyak transaksi prostitusi. Italia termasuk di dalamnya. Sistem penangan terhadap masalah yang timbul pun bermacam-macam. Ada 2 penangan yang terkenal saat ini yakni melegalkan (Jerman dan Belanda) atau memberi sanksi kepada pelanggan (Swedia, Norwegia, Islanda dan Prancis). Sistem kedua ini dikenal sebagai Sistem Utara (Modello Nordico) yang menganggap prostitusi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kritik Merie terhadap model Legalisasi yang dianut Jerman tampaknya senada dengan pendapat Kristian Gianfreda dari Italia. Aktivis dari Asosiasi “Questo è il mio corpo” alias “Ini adalah Tubuh Saya” ini melihat Sistem Legalisasijustru meningkatkan permintaan terhadap PSK-PSK yang lebih muda. Di Italia, fenomena ini mulai muncul. Untuk jumlah prostitusi saja, Italia menembus angka 75.000 sampai 120.000.
Jumlah ini memang termasuk kecil dibanding Jerman yang memiliki 400.000 PSK di sekitar 3.500 rumah prostitusi. Di sini, diperkirakan 1.200.000 transaski seksual setiap harinya. Besaran bisnisnya berkisar 14,5 miliar euro per tahun. Pendapat Merie sebelumnya kiranya benar. Dengan biaya besar dan jumlah transaksi yang tinggi ini, Jerman masih belum bisa mengatasi berbagai persoalan yang muncul. (Avvenire 8/02/2017)

Dari paparan ini kiranya tepat mengajukan usulan, mana yang bagus, Melegalkan Prostitusi atau Menghukum para Konsumen?Indonesia kiranya boleh memilih. Atau juga terserah pada Gubernur, Wali Kota, atau Pejabat Berwenang di setiap kota untuk mengatasi persoalan ini tanpa menjadikan wanita PSK sebagai ‘tidak manusiawi’.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 31/5/2017
Gordi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI