Kunjungan yang dibuat oleh Paus Fransiskus serasa tak henti.Dari Milan ke Carpi. Dari kota besar ke kota kecil. Dari kota mode ke kota korban gempa bumi tahun 2012.
Minggu, 2 April ini, Paus kembali menyapa warga kota Carpi-Emilia Romagna, Italia. Sapaan yang kembali bergema tepat seminggu setelah kunjungan mengharukan di Milan. Waktu yang begitu singkat. Memang, persiapannya juga singkat. Uskup dari Keuskupan Carpi Monsinyur Francesco Cavina (62) juga menyadari hal ini.
โPaus Fransiskus merencanakan kunjungan ini tepatnya pada 20 Februari yang lalu, dalam sebuah audiensi pribadi di kota Vatikan,โ kata Cavina kepada Debora Donnini dari radio vatikan 3 hari yang lalu. Dalam waktu yang singkat, Paus Fransiskus mampu memutuskan untuk membuat kunjungan ini. Keputusan singkat ini dibuat setelah dialog panjang dengan Cavina. Saat itu, mereka juga membicarakan perihal situasi kota Carpi dan sekitarnya sebagai kota korban gempa.
Kota Carpi bukanlah kota besar namun justru di sinilah korban gempa paling banyak. Kota ini berpenduduk sekitar 71.080 orang (sensus 30/9/2016). Secara geografis amat kecil. Meski kecil, kota ini justru mempunyai banyak industri. Jangan heran jika lapangan kerja juga banyak. Kota ini berjarak sekitar 30,5 km dari kota-nya mobil Ferrari. Jika di Maranello banyak pengunjung mobil mahal itu, di Carpi kali ini banyak pengunjung yang ingin melihat Paus Fransiskus.
Dibanding dengan beberapa kota di sekitarnya seperti Modena, Ferrara, Mantova, Reggio Emilia, Bologna, kota Carpi pada 2012 yang lalu menjadi kota yang lumpuh. Saat itu, 29 Maret, jam 09 pagi, kota ini diguncang gempa 5,8 skala richter. Guncangan yang besar ini meluluhlantahkan isi kota. Banyak gedung hancur, pabrik-pabrik rusak, sekolah-sekolah pun diliburkan. Korban yang paling besar adalah meninggalnya 16 orang pada saat itu juga. Korban 16 orang ini masih ditambah dengan mereka yang mengalami luka berat lainnya.
Carpi saat itu betul-betul lumpuh. Industri sebagai urat nadi kota ini seolah-olah tidak mampu lagi memberi kehidupan bagi warganya. Industri bagi kota Carpi adalah segala-segalanya. Jika industri hilang, kehidupan di Carpi pun seolah-olah hilang. Maka, kehilangan industri itu bagi warga Carpi adalah juga kehilangan segala-galanya. Warga Carpi pun seakan-akan menjadi orang yang kehilangan harapan.
Sungguh ini menjadi sebuah kebangkitan yang membahagiakan. Kata Monsinyur Cavina kepada radio vatikan, โKami betul-betul kehilangan segala-galanya, 42.000 lapangan kerja, rumah tinggal, toko-toko dan pasar, tetapi dalam 5 tahun, kami mampu membangunnya kembali khususnya semua pos kerja yang hilang, rumah-rumah, dan gedung sekolah.โ
Dari penegasan Cavina tampak bahwa warga Carpi ingin mendahulukan kepentingan yang menjadi urat nadi kehidupan. Lapangan kerja adalah bensin mobil kehidupan mereka. Tanpa ini, warga Carpi tidak bisa menyalakan mesin kehidupan mereka. Mereka juga tahu, kehidupan yang baik hanya bisa diperoleh jika ada rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman. Tidak ada pendidikan yang baik jika tidak ada rumah sebagai tempat pendidikan pertama. Maka, sekolah sebagai rumah pendidikan formal juga menjadi prioritas yang didahulukan.
Warga Carpi seolah-olah mau mengajarkan kepada dunia korban gempa bahwa inilah 3 hal penting yang mesti dikerjakan terlebih dahulu. Kebutuhan lainnya bisa diselesaikan kemudian. Carpi sudah membuktikannya. Mereka rela mendahulukan kepentingan saat ini ketimbang kehidupan di masa lalu. Bagi mereka, kepentingan sekarang (presente) lebih mendesak ketimbangan kepentingan masa lalu (passato). Namun, mereka tahu, presentetidak pernah ada tanpa didahului passato.
Strategi memainkan peran masa lalu dan masa sekarang ini sudah dibuktikan oleh warga Carpi. Meski mendahulukan kepentingan sekarang, mereka tidak lupa masa lalu. Bagi mereka, gempa bumi tidak boleh menghapus masa lalu. Gempa bumi di suatu saat justru menegaskan pilihan mereka untuk menjernihkan masa lalu. Itulah sebabnya Monsinyur Cavana mengatakan, โYang sekarang sedang kami kerjakan adalah identitas sejarah dan identitas kehidupan kami yakni pusat-pusat sejarah (centri storici) dan tempat ibadah seperti gedung gereja.โ
Dengan dibukannya (kembali) gereja ini, kebanggaan warga Carpi akan identitas sejarah mereka makin bertambah. Identitas sejarah bagi mereka tidak akan terhapus termasuk oleh gempa. Identitas itu mesti menyertai perjalanan hidup mereka. Maka benar yang dikatakn oleh Kardinal Pietro Parolin pada saat itu, โSeperti banyak drama kehidupan lainnya, yang bisa terjadi kapan saja dalam masyarakat kita, termasuk korban dan kesedihannya, gempa bumi bukanlah kata akhir.โ (Avvenire1/4/2017)
Kardinal yang menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan ini memang datang untuk meresmikan dibukannya kembali gereja Katedral ini. Seperti diingatkan Parolin, proses restrukturasinya memakan waktu lama. Dalam waktu yang panjang itu, banyak orang memberikan kontribusinya. Parolin mengatakan bahwa pada saat-saat di mana kehidupan kita disentuh, banyak orang bisa tergerak untuk saling bantu. Di sinilah rasa solidaritas itu terbentuk dan menjadi nyata. Solidaritas itu akan menjadi jembatan kehidupan yang kokoh.
Jembatan ini kiranya amat penting bagi kehidupan warga Carpi. Parolin memang menyadari arti penting dari jembatan ini. Parolin melihat Gereja Katedral ini sebagai โjembatan dialog antara banyak identitas sosial, karena setiap orangโdengan peran dan usahanyaโmemberikan sesuatu yang berharga untuk kebaikan bersama.โ Peresmian ini menjadi jendela bagi terwujudnya proses rekonstruksi bagi gedung gereja dan pusat studi lainnya.
Betapa besar kiranya kegembiraan warga Carpi setelah bangkit dari kelumpuhan akibat gempa ini. Rasa itu akan kembali makin besar dengan kehadiran Paus Fransiskus hari ini. Paus dalam program kunjungannya akan menyapa semua warga yang menjadi korban gempa ini. Paus akan mengadakan Misa bersama umat di Piazza Martiri, alun-alun kota yang besar di kota Carpi. Lalu, akan ada dialog dengan banyak warga Carpi, pertemuan dengan anak-anak yang akan menerima Sakramen Krisma, pertemuan dengan para Rohaniwan dan Biarawan-Biarawati, makan siang bersama para siswa dan mahasiswa seminari bersama para Uskup di Emilia Romagna, dan terakhir akan berkunjung ke Desa Mirandola.
Kunjungan yang beraura kekeluargaanโseperti ditegaskan Monsinyur Cavinaโini memang menjadi momen indah juga bagi warga Mirandola. Di desa ini jumlah korbannya banyak (28 orang). Jangan heran jika kesedihan mereka amat besar. Kesedihan ini memang bukan kata akhir. Kesedihan ini bisa juga menjadi bintang kebangkian baru. Bintang inilah yang dibuat oleh warga Desa Mirandola pada 27 Mei tahun 2016 yang lalu.
โSaya selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang optimis, meski saat itu rasanya sulit sekali, apalagi tepat setelah bapak saya meninggal, kata Andrea. Andrea kehilangan putranya Enea akibat tertimbun puing gedung toko mereka saat gempa itu (Avvenire 1/4/2017). Rasa optimis iniโbagi Andreโadalah keinginan yang ia ingin hidupi termasuk melalui tanda bintang itu. Bencana alam bagi Andre bukan lagi sebagai tanda akhir dari sebuah kehidupan tetapi sebagai awal dari kehidupan baru di mana tidak akan ada lagi kehidupan yang akan dicabut. Kehidupan ini adalah kehidupan kekal karena tidak akan ada lagi yang namanya kematian.
Bintang inilah yang akan diperlihatkan oleh warga Mirandola kepada Paus Fransiskus dalam kunjungan kali ini. Dengan bintang ini, mereka akan menunjukkan kepada Paus bahwa, gempa bumi bukanlah kata akhir tetapi tanda awal dari sebuah kehidupan baru. Betapa besar hararapan warga Carpi ini. Semoga dengan kunjungan Paus ini, harapan itu benar-benar terus menjadi bintang yang selalu bersinar.
Bintang ini mestinya menjadi milik warga Indonesia yang terkenal sebagai negeri gempa bumi itu. Mampukah kita bangkit seperti warga Carpi yang tetap optimis walau sempat lumpuh didera gempa bumi?
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 2/4/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H