Menulis bisa dibuat kapan saja dan oleh siapa saja. Tidak ada batas usia dan tidak ada batasan tingkat pendidikan. Menulis melampaui kategori seperti ini karena cakupannya amat luas. Itulah sebabnya dari anak SD sampai profesor di universitas semuanya bisa menulis.
Seorang dosen di Universitas Urbaniana di kota Roma punya kebiasaan untuk menulis 4 halaman per hari. Kalau dirata-ratakan, dalam seminggu ia menghasilkan 28 halaman. Baginya, menulis bukanlah sesuatu yang sulit. Dia sudah sering menulis dan terus menulis sampai akhir hayatnya. Menulis menjadi menu hariannya.
Selama menjadi dosen di Roma dan Milan, ia sudah menulis ribuan artikel di koran dan majalah. Selain itu, ia juga menulis puluhan buku. Dari kegiatannya ini, ia menjadi terkenal. Tetapi bukan ini yang membuatnya terkenal. Dia terkenal karena ia seorang dosen. Otomatis mahasiswanya mengingat dia sebagai bapak di kelas.
Bapak biasanya mewariskan dan menyiapkan sesuatu yang berharga bagi anak-anaknya. Dan, dosen yang biasa disapa Professor Battista Mondin (1926-2015) ini memang mewariskan sesuatu yang berharga bagi anak-anak didiknya. Dari tangannya lahir beberapa edisi Kamus Filsafat dan Teologi dari zaman klasik sampai abad XXI dalam bahasa Italia. Selain itu, dia adalah seorang Pastor sekaligus Filsuf dan Teolog yang mendalami pemikiran Santo Thomas Aquinas (1225-1274). Aquinas selain dikenal sebagai FIlsuf dan Teolog, ia juga dikenal sebagai pelindung banyak lembaga pendidikan Katolik di banyak tempat.
Karena kegemaran sekaligus ketekunannya dalam menulis, Profesor Mondin pun sering disebut Kamus Berjalan oleh para mahasiswa dan koleganya di universitas. Seorang muridnya pernah bilang, kami selalu bertanya pada Prof Mondin sebelum menerbitkan buku atau meresensi artikel tentang Aquinas. Prof Mondin selalu membarui pemikirannya, lebih-lebih yang berkaitan dengan FIlsafat dan Teologi.
Dari kebiasaan ini tampak bahwa bagi Mondin, menulis adalah sebuah kebiasaan. Kiranya kebiasaan yang tidak muncul begitu saja. Mondinโkata teman sayaโsebelum menjadi dosen di Roma, dia belajar S2 dan S3 di Haward University, AS. Dari sana, bakat menulis dan membacanya berkembang. Hanya sedikit saja dari koleganya di Italia yang pada saat itu belajar di luar negeri. Mondin beruntung bisa mengenyam pendidikan ini. Dari sinilah bakat mempelajari bahasa baru-nya berkembang.
Kononโmenurut seorang mantan muridnyaโMondin menguasai 7 bahasa asing lain di luar bahasa-bahasa neo-Latin. Misalnya Bahasa Rusia. Bahasa ini termasuk satu di antara beberapa yang sulit, baik dalam melafal, mengeja huruf, dan juga dari segi kerumitan tata bahasanya.
Mereka memulai kegiatan belajar-mengajar sejak setahun lalu. Kegiatan pembelajaran yang menitikberatkan pada membaca dan menulis. Model kegiatan belajar yang kiranya kontras dengan usia mereka yang di atas 60-an tahun. Fakta rupanya bisa berkata lain bahkan melampaui prediksi yang biasa dipercaya. Seperti kelompok nenek ini. Mereka rupanya ingin belajar menulis dan membaca.
Mereka biasanya berkumpul di bawah pohon Mangga di wilayah mereka. Di bawahnya ada tikar sebagai alas duduk. Kegiatan belajar pun dipandu oleh sang guru yang lebih muda dari mereka. Jarak usia mereka seperti sang nenek dan cucu. Rentang yang begitu jauh namun menjadi dekat saat mereka belajar bersama.
Semangat belajar mereka amat tinggi. Mereka belajar di usia senja. Usia yang bagi generasi saat ini bukan untuk menerima lagi melainkan memberi. Tetapi, nenek-nenek ini rupanya ingin menerima dari cucu mereka. Praktisnya menerima di usia senja. Itulah sebabnya, mereka pun memulai pelajaran di sore hari, mulai jam 2 sore.
Lagi-lagi, ini membuktikan bahwa belajar menulis bisa melampaui batasan usia. Usia senja pun bukan halangan untuk memulai belajar membaca dan menulis. Asal ada niat yang tulus untuk memulai. Niat ini memang datang atas inisiatif seorang guru muda Yogendra Bangar di desa Phangane. Yogendra menawarkan pada kaum nenek berusia 60-an untuk belajar membaca dan menulis.
Inisiatif ini lahir dari keadaan ril masyarakat desa Phangane. Di sini sebagian besar perempuanโdari yang muda sampai tuaโmasih buta aksara. Di India secara keseluruhan, masih terdapat sekitar 41% dari kaum perempuan yang buta aksara. Ini berarti tinggi sekali. Yogendra sebagai seorang guru muda yakin situasi ini akan berubah. Ia pun memulainya dengan mengajar kaum tua ini. Menurut pengakuannya, usia nenek yang ikut pelajaran sore hari rupanya dari 60-an ke atas. Bahkan, yang tertua berusia 90-an.
Belajar pada usia ini kiranya tidak mudah. Yogendra kiranya mengalami kesulitan dalam mengajar para nenek ini. Namun, bukan dia sendiri saja. Para nenek juga kiranya amat sulit memahami pelajaran yang diberikan. Kesulitan lain kiranya adalah keadaan fisik mereka. Itulah sebabnya seorang nenek Come Kamal berkata, โSeringkali lutut saya sakit ketika saya duduk berlama-lama. Tetapi, semangat belajar tetap kuat.โ
Kamal yang berusia 68 tahun ini memang punya semangat yang tinggi untuk belajar lagi. Katanya, semangat ini lahir sejak ia kecil. Ia ingin sekali belajar membaca dan menulis. Sayang, dia harus menikah di usia 12 tahun. keluarganya mewajibkan dia menerima pinagan lelaki yang dijodohkan orang tuanya.
Selain kesulita, kegiatan belajar ini juga membawa harapan yang tinggi. Dengan ini, masih ada masa depan untuk kegiatan yang baru berusia setahun ini. Anusuya (65), seorang peserta lain berujar lega, โAkhirnya saya bisa menulis nama saya sendiri.โ Anusuya mengaku lega karena dia juga merasakan sulitnya belajar di usia senja.
Seorang guru sukarela lain Sheetal Moreโyang bekerja bersama Yogendraโpun memahami kesulitan ini. Ia pun menyiapkan langkah jitu menghadapinya. Menurutnya, kegiatan belajar ini mesti sampai pada kebutuhan harian mereka. Di sini tidak diajarkan ilmu pengetahuan yang membutuhkan penelitian atau riset atau hitungan yang kompleks. Katanya lagi, โKami hanya memberikan tingkat dasar saja seperti abjad dan berhitung dan sedikit bacaan.โ
Bagi Sheetal, kegiatan ini menjadi hal baru yang menantang baginya. Dengan takut dan gelisah, ia terus maju hingga sampai pada kesenangan yang tiada tara. Dia mengungkapkan perasaanya selama belajar bersama para nenek, โTantangan yang indah. Awalnya saya kaget, di kelas ada mertua saya. Saya akan jika berhasil membantu mereka. Saya ingin tahu bahwa belajar bersama mereka amat menyenangkan dan amat mudah.โ
Belajar bersama nenek rupanya mengantar pada perasaan senang. Tentu saja mesti melewati rintangan berat. India bisa seperti ini karena tantangan kebudayaan. Budaya menikah dini di India rupanya masih tinggi. Seperti yang dialami nenek Kamal, rupanya banyak yang menikah di bawah umur 18 tahun. Demikian juga dengan tidak meratanya pekerjaan di rumah antara anak lelaki dan perempuan.
Perayaan Hari Perempuan ini kiranya tidak berhenti di sini. Semoga lilin pendidikan yang sudah dinyalakan oleh Yogendra Bangar, Come Kamal, Anusuya, dan Sheetal More dari Desa Phangane-India, terus menyala dan akan terus menyala meski ditiup angin. Saatnya perempuan menang dan bisa mengenyam pendidikan seperti lelaki. Ingat, menulis dan membaca tak mengenal usia.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 10/3/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H