Lagi-lagi, ini membuktikan bahwa belajar menulis bisa melampaui batasan usia. Usia senja pun bukan halangan untuk memulai belajar membaca dan menulis. Asal ada niat yang tulus untuk memulai. Niat ini memang datang atas inisiatif seorang guru muda Yogendra Bangar di desa Phangane. Yogendra menawarkan pada kaum nenek berusia 60-an untuk belajar membaca dan menulis.
Inisiatif ini lahir dari keadaan ril masyarakat desa Phangane. Di sini sebagian besar perempuanโdari yang muda sampai tuaโmasih buta aksara. Di India secara keseluruhan, masih terdapat sekitar 41% dari kaum perempuan yang buta aksara. Ini berarti tinggi sekali. Yogendra sebagai seorang guru muda yakin situasi ini akan berubah. Ia pun memulainya dengan mengajar kaum tua ini. Menurut pengakuannya, usia nenek yang ikut pelajaran sore hari rupanya dari 60-an ke atas. Bahkan, yang tertua berusia 90-an.
Belajar pada usia ini kiranya tidak mudah. Yogendra kiranya mengalami kesulitan dalam mengajar para nenek ini. Namun, bukan dia sendiri saja. Para nenek juga kiranya amat sulit memahami pelajaran yang diberikan. Kesulitan lain kiranya adalah keadaan fisik mereka. Itulah sebabnya seorang nenek Come Kamal berkata, โSeringkali lutut saya sakit ketika saya duduk berlama-lama. Tetapi, semangat belajar tetap kuat.โ
Kamal yang berusia 68 tahun ini memang punya semangat yang tinggi untuk belajar lagi. Katanya, semangat ini lahir sejak ia kecil. Ia ingin sekali belajar membaca dan menulis. Sayang, dia harus menikah di usia 12 tahun. keluarganya mewajibkan dia menerima pinagan lelaki yang dijodohkan orang tuanya.
Selain kesulita, kegiatan belajar ini juga membawa harapan yang tinggi. Dengan ini, masih ada masa depan untuk kegiatan yang baru berusia setahun ini. Anusuya (65), seorang peserta lain berujar lega, โAkhirnya saya bisa menulis nama saya sendiri.โ Anusuya mengaku lega karena dia juga merasakan sulitnya belajar di usia senja.
Seorang guru sukarela lain Sheetal Moreโyang bekerja bersama Yogendraโpun memahami kesulitan ini. Ia pun menyiapkan langkah jitu menghadapinya. Menurutnya, kegiatan belajar ini mesti sampai pada kebutuhan harian mereka. Di sini tidak diajarkan ilmu pengetahuan yang membutuhkan penelitian atau riset atau hitungan yang kompleks. Katanya lagi, โKami hanya memberikan tingkat dasar saja seperti abjad dan berhitung dan sedikit bacaan.โ
Bagi Sheetal, kegiatan ini menjadi hal baru yang menantang baginya. Dengan takut dan gelisah, ia terus maju hingga sampai pada kesenangan yang tiada tara. Dia mengungkapkan perasaanya selama belajar bersama para nenek, โTantangan yang indah. Awalnya saya kaget, di kelas ada mertua saya. Saya akan jika berhasil membantu mereka. Saya ingin tahu bahwa belajar bersama mereka amat menyenangkan dan amat mudah.โ
Belajar bersama nenek rupanya mengantar pada perasaan senang. Tentu saja mesti melewati rintangan berat. India bisa seperti ini karena tantangan kebudayaan. Budaya menikah dini di India rupanya masih tinggi. Seperti yang dialami nenek Kamal, rupanya banyak yang menikah di bawah umur 18 tahun. Demikian juga dengan tidak meratanya pekerjaan di rumah antara anak lelaki dan perempuan.
Perayaan Hari Perempuan ini kiranya tidak berhenti di sini. Semoga lilin pendidikan yang sudah dinyalakan oleh Yogendra Bangar, Come Kamal, Anusuya, dan Sheetal More dari Desa Phangane-India, terus menyala dan akan terus menyala meski ditiup angin. Saatnya perempuan menang dan bisa mengenyam pendidikan seperti lelaki. Ingat, menulis dan membaca tak mengenal usia.