Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak yang Bandel, Orang Tua yang Dihukum

1 Februari 2017   12:30 Diperbarui: 1 Februari 2017   16:55 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung ini adalah tempat pameran seni dan karya arsitekstur di Vicenza, FOTO: storiaarte.it

Tidak berhenti di sini, tindakan anak-anak ini juga berujung pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tua mereka, yakni membayar biaya pelanggaran alias โ€˜multaโ€™ masing-masing sebesar 500 euro (sekitar Rp. 4.500.000). Biaya ini terhitung besar untuk kesalahan kecil ini. Tetapi, biaya ini ditetapkan sesuai dengan kerugian dari tindakan itu. Biaya untuk mengembalikan warna semula juga cukup besar.

Gedung ini adalah tempat pameran seni dan karya arsitekstur di Vicenza, FOTO: storiaarte.it
Gedung ini adalah tempat pameran seni dan karya arsitekstur di Vicenza, FOTO: storiaarte.it
Tindakan anak-anak ini menjadi pelajaran berharga untuk orang tua. Banyak orang tua yang belum memahami bahwa merekalah pendidik yang utama dan pertama. Pendidikan anak-anak tidak sepenuhnya diberikan kepada guru di sekolah atau pendamping di asrama. Orang tua mesti turun tangan sebagai pendidik yang pertama dan utama.

Di Italia, kesadaran seperti ini masih kuat. Untuk kasus yang baru saja terjadi, orang tua dari keenam anak tidak keberatan. Mereka tidak menolak untuk membayar denda dan merelakan anak-anak mereka diperiksa di Pengadilan Anak. Mereka pun sepenuhnya menyadari kesalahan anak-anak mereka.

Kesadaran seperti ini yang pernah saya dengar dari salah satu orang tua dari anak-anak di Kota Parma. Suatu sore, saya menjumpai sang Mama yang sedang mengantar anak laki-lakinya yang berusia sekitar 16-17 tahun. Rumahnya agak jauh dari tempat kegiatan kami. Setelah dia bertanya tentang berakhirnya kegiatan, dia pamit pulang.

Saat dia kembali untuk menjemput sang anak, saya pun bertanya padanya. Mengapa Anda tidak membiarkan putra Anda pulang bersama temannya, dia sudah besar. Jawabannya mengejutkan saya. Gordiโ€”katanyaโ€”dia belum cukup umur untuk pulang sendiri. Dia tampak besar fisiknya tetapi secara hukum masih di bawah umur.

โ€œDi bawah umur?โ€ lanjut saya.

โ€œKalau terjadi sesuatu dalam perjalanan pulang, saya yang kena hukuman dari polisi. Saya akan dinilai tidak bertanggung jawab pada anak saya,โ€ sambungnya.

Gedung Basilika tampak dari samping, FOTO: vicenzatoday.it
Gedung Basilika tampak dari samping, FOTO: vicenzatoday.it
Saya kaget sambil berusaha memahami penjelasannya. Rupanya, anak-anak di bawah 18 tahun masih di bawah pengawasan orang tua. Saya pun jadi paham mengapa saya harus meminta izin pada orang tua mereka, saat kami mengadakan kegiatan di luar kota. Padahal mereka sudah besar. Beda negara, beda kebiasaan. Beda tempat, beda cara mendidik.

Andai orang tua di Indonesia juga memiliki kesadaran seperti ini, betapa indahnya melihat pendidikan yang lengkap, di rumah dan di sekolah. Dengan sistem ini, orang tua pun ikut pusing seperti para guru di sekolah dalam mendidik anak-anak (didikan) mereka.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 1/2/2017

Gordi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun