Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indonesia Harus Koleksi Kekayaan Budayanya Sebelum Terlambat

26 Januari 2017   06:01 Diperbarui: 26 Januari 2017   12:35 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi buku tentang perjalanan Elio di Nias Selatan, di kota Gunung Sitoli, FOTO: infopublik.com

Tak ada kata terlambat untuk Indonesia. Segala sesuatu ada waktunya, kata pepatah kuno. Tetapi, Indonesia mesti melakukan sesuatu dalam kesempatan yang tersedia. Jangan menunda-nunda. Manfaatkan peluang yang ada.

Saat Indonesia masih berjuang dengan keadaan politik dalam negerinya, negara lain sudah duluan menyelamatkan koleksi budaya Indonesia. Kelak, Indonesia akan geleng kepala. Kok negara lain sudah lebih dulu mengoleksi kekayaan budayanya. Menyesal tentu saja alamiah dan normal. Tetapi, justru akan makin besar rasa sesalnya jika berhenti pada sikap geleng kepala.

Amat disesalkan memang, Indonesia membuang waktunya untuk bidang politik. Politik seolah-olah urat nadi sebuah bangsa. Apa-apa dipolitisasi. Akibatnya, ekonomi dan transportasi pun makin lamban jalannya. Saat negara lain sudah meninggalkan politik yang mendominasi, Indonesia masih berkutat dengan situasi politiknya. Sisi lain pun diabaikan.

Tetapi, belum terlambat. Asal mau berubah, Indonesia selalu punya peluang yang besar. Indonesia terlalu kaya dan besar untuk dieksplorasi. Itulah sebabnya, banyak yang berkomentar, tak cukup satu generasi untuk memahami Indonesia. Tetapi, jangan terbuai dengan komentar orang. Indonesia sendiri mesti berbuat. Jangan Cuma mendengar dan tersenyum kagum-kagum saja.

Beberapa waktu lalu, kompasianer Diaz Abraham, menghubungi saya melalui sebuah pesan. Dalam pesannya, dia meminta saya untuk membuat tulisan tentang Nias. Tulisan itu rencanaya mau menceritakan isi koleksi salah satu museum di kota Firenze atau Florence, Italia. Di museum itu—kata Diaz—ada koleksi budaya Nias.

Diskusi buku tentang perjalanan Elio di Nias Selatan, di kota Gunung Sitoli, FOTO: infopublik.com
Diskusi buku tentang perjalanan Elio di Nias Selatan, di kota Gunung Sitoli, FOTO: infopublik.com
Saya kaget membaca pesan itu. Reaksi saya waktu itu hanya dua. Kok bisa ya, ada koleksi budaya Indonesia di Firenze? Bisa nggak ya, saya membuat tulisan itu nanti? Tak banyak berkomentar dan terus berpikir, saya segera menyusun rencana. Selesaikan terlebih dahulu, tugas kuliah yang mepet waktunya. Untuk ini memang mesti menguras tenaga. Maklum, menulis dalam bahasa orang, beratnya dua sampai tiga kali lipat ketimbang menulis dalam bahasa ibu.

Setelah saya menyusuri melalui situsnya, museum ini memang benar mengoleksi kekayaan budaya Indonesia. Bangga dan sedikit mengeryitkan dahi. Bangga karena museum ini menjadi kaya dengan koleksi budaya Indonesia. Lumayan nama Indonesia terpampang di sana. Kernyit dahi sambil bertanya, mengapa Indonesia belum berhasil membuat museum untuk mengoleksi kekayaan budayanya?

Seperti dijelaskan Diaz, museum yang bernama Museo di Storia Naturale ini mengoleksi kekayaan budaya Nias dan beberapa daerah sekitarnya. Museum ini dikelola oleh para ahli dengan kualitas internasional. Banyak profesor dari Universitas di Firenze menjadi kurator berbagai bidang di dalam museum ini. Itulah sebabnya, museum ini menjadi bagian dari Università degli studi di Firenze.

Melihat peta lokasinya, saya jadi ingat kunjungan ke kota Firenze 3 tahun lalu. Saat itu, kami mulai bereksplorasi dari pusat kota. Museum ini rupanya terletak di pusat kota, dekat dengan Gereja Katedral kota Firenze. Seandainya waktu itu saya tahu, pasti kami juga mampir di museum ini.

Elio Modigliani, FOTO: niassatu.com
Elio Modigliani, FOTO: niassatu.com
Museum ini termasuk salah satu museum tua di kota Firenze. Dibangun pada tahun 1869 oleh seorang Antropolog dari Firenze Paolo Mantegazza (1831-1910). Mantegazza lahir di kota Monza-Lombardia, menyelesaikan studi di Universitas Padova dan bekerja di Universitas Firenze. Selain sebagai Antropolog, dia juga dikenal sebagai penulis dan psikolog.

Mantegazzo saat itu mempunyai wawasan futuristik. Baginya, masa depan itu luas dan panjang. Oleh sebab itu, ia ingin membuat sesuatu yang bermanfaat untuk masa depan. Ia pun mendirikan museum ini dengan maksud awal, ingin mengoleksi saksi-saksi sejarah kemanusiaan dari berbagai belahan dunia. Saksi sejarah kemanusiaan—baginya—adalah objek budaya yang hidup. Dia tidak menyinggung soal manusia tetapi soal objek budaya yang berkaitan dengan kehidupan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun