Katakanlah untuk menggali selokan, operator alat berat hanya mengarahkan mesin untuk menggali sesuai ukuran yang dikehendaki. Yang menggali tetap mesinnya. Beda dengan di Indonesia yang untuk menggalinya saja menggunakan tenaga manusia.
Boleh jadi di Jakarta cara seperti ini juga sudah populer. Tetapi, untuk Indonesia pada umumnya, di daerah-daerah misalnya, tenaga manusia masih menjadi andalan utama.
Contoh lain lagi, untuk mencuci piring misalnya. Tidak perlu kita repot mengikuti proses manual dari membasahi, menggosok dengan sabun pencuci, membilas dengan air hangat, sampai mengeringkannya.
Dengan mesin, pekerjaannya menjadi lebih sederhana. Cukup merendam dalam air hangat yang bersabun pencuci, lalu mengangkatnya dan memindahkan ke dalam wadah khusus, lalu memasukkan wadah itu ke dalam mesin. Mesin yang akan membilas dengan air panas lalu mengeringkannya. Dengan ini, pekerjaan manusia hanya sebagian kecil saja dari proses manual yang biasanya.
Beberapa waktu lalu, seorang teman dari Indonesia kaget melihat kami mencuci piring sambil bercerita. Katanya, mencuci kok sambil bercerita. Saya mengajaknya ke tempat cuci. Dia kaget. Kok prosesnya sederhana saja. Kalau begini, mencuci piring sebanyak ratusan pun bisa dikerjakan sendiri. Demikian komentarnya. Ini memang benar.
Hadirnya mesin ini memang membantu manusia meringankan pekerjaannya. Seperti kata sahabat saya dulu di universitas di Jakarta, teknologi mana pun sejatinya membantu meringankan pekerjaan manusia. Saya sepakat dengan kata-katanya ini. Tetapi, jika salah dan keliru menggunakan teknologi ini, manusia sendiri yang merasa bukan meringankan tetapi memberatkan.
Ini saya lihat sendiri di kota Ancona, Italia Tengah, pada liburan musim panas yang lalu. Banyak di antara anak-anak remaja yang menjelang dewasa masih canggung dan sama sekali tidak tahu, bagaimana cara mencuci piring. Padahal, kalau dipikir-pikir mudah saja. Tinggal merendam di air panas dan membersihkan bagian sisa makanan yang melekat. Selanjutnya mesin cuci yang bekerja. Tetapi, yang mudah ini pun rupanya masih sulit dikerjakan.
Kini, fisik yang kuat tadi, rupanya tidak menjadi jaminan untuk bekerja dengan baik. Dengan kata lain, pekerjaan fisik yang berat pun bisa dikerjakan oleh mereka yang bertenaga biasa-biasa saja. Toh, pekerjaan itu dikerjakan oleh tenaga mesin. Manusia hanya mengarahkan mesin itu.
Cara ini pun berlaku juga untuk pekerjaan-pekerjaan kecil di rumah tangga. Dan, sebuah penelitian yang dibuat oleh Universitas Oxford di Inggris mengungkap secara jelas keadaan ini. Di situ dijelaskan tentang lama jam kerja dari kaum lelaki Italia dalam rumah tangga. Penelitian itu dibuat di 19 negara. Hasilnya mengejutkan. Lelaki Italia rupanya bekerja jauh lebih sedikit dari para wanita.
Italia—seperti Spanyol—memiliki kesenjangan yang besar dalam soal jumlah jam kerja ini. Di Italia, lelaki bekerja hanya 38 menit dalam seminggu. Sementara wanita bekerja selama 211 menit. Sungguh kesenjangan yang besar. Bayangkan, ini yang terjadi dalam keluarga-keluarga Italia. Sang istri bekerja jauh lebih lama ketimbang sang suami.