Lelaki Italia pada umumnya berotot, berfisik besar, berbadan tegap, dan bertenaga kuat. Lihat saja para pemain sepak bola Italia atau juga para perenang Italia di Olimpiade Rio yang baru saja berakhir.
Ini adalah gambaran umum tentang para lelaki Italia. Gambaran ini pun melekat kuat di benak banyak orang. Kaum wanita—termasuk wanita Indonesia—sering mengimaginasikan citra lelaki Italia seperti ini. Beberapa teman dari Indonesia pernah bertanya seputar ini pada saya. Ketika saya tanya balik, responnya memang seperti ini. Seperti inilah gambaran mereka tentang lelaki Italia.
Gambaran ini memang benar. Sebagian besar lelaki Italia bercirikan seperti gambaran di atas. Saya mencoba memerhatikan dengan saksama tentang gambaran ini. Saya temukan bahwa, secara fisik, orang Italia di bagian Utara pada umumnya memiliki ciri-ciri fisik seperti di atas. Sedangkan di bagian Selatan atau yang keturunan bagian Selatan, pada umumnya berfisik sebaliknya.
Orang Selatan biasanya berbadan pendek, berotot kekar, bertenaga kuat, dan berbadan tegap. Bedanya memang sedikit sekali tetapi amat mudah melihatnya. Kalau ada orang Italia yang pendek, boleh jadi dia dari bagian Selatan atau keturunan dari Selatan.
Gambaran saya ini memang bukan gambaran orang Italia secara ilmiah. Ini hanya pengamatan saya selama ini. Tentu saja hanya pada umumnya. Sebab, banyak juga sahabat sayak khususnya yang muda misalnya yang berbadan tinggi, tegap, kekar, dan kuat, dan berasal dari bagian Selatan Italia.
Dengan ini, akan sulit menganalisa perbedaan fisik antara orang Italia dari bagian Utara dan Selatan. Orang dari Selatan yang hidup di Utara dengan sendirinya akan berubah secara fisik. Ini tampak terutama pada perkembangan fisik dari anak-anak mereka.
Keadaan fisik orang Italia ini boleh jadi dipengaruhi oleh cara mereka bekerja atau berolahraga. Dua kegiatan yang berkaitan dengan pengolahan fisik. Seperti yang terjadi pada anak-anak yang mengikuti kursus renang dan bola basket tadi. Fisik mereka tentu dibentuk dan diolah sesuai model olahraga fisik ini. Hasilnya pun kelihatan. Yang biasa melompat akan mengalami perkembangan pesat dalam hal tinggi badan.
Pengamatan sederhana ini memang bukan pengamatan ilmiah. Hanya pengamatan biasa saja. Tentu dengan bukti-bukti yang bukan hasil penelitian ilmiah. Kebetulan saja, saya kenal beberapa anak-anak SMP dan SMA yang mengikuti kursus renang dan basket. Fisik mereka semuanya tinggi.
Di Italia, sebagian besar dari pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik dikerjakan tenaga mesin. Sebut saja beberapa contoh: menggali got atau selokan di pinggir jalan, membalikkan tanah di ladang, meratakan bunga di taman, dan sebagainya. Semua pekerjaan ini dikerjakan oleh mesin. Manusia hanya memberi arahan saja.
Katakanlah untuk menggali selokan, operator alat berat hanya mengarahkan mesin untuk menggali sesuai ukuran yang dikehendaki. Yang menggali tetap mesinnya. Beda dengan di Indonesia yang untuk menggalinya saja menggunakan tenaga manusia.
Boleh jadi di Jakarta cara seperti ini juga sudah populer. Tetapi, untuk Indonesia pada umumnya, di daerah-daerah misalnya, tenaga manusia masih menjadi andalan utama.
Contoh lain lagi, untuk mencuci piring misalnya. Tidak perlu kita repot mengikuti proses manual dari membasahi, menggosok dengan sabun pencuci, membilas dengan air hangat, sampai mengeringkannya.
Dengan mesin, pekerjaannya menjadi lebih sederhana. Cukup merendam dalam air hangat yang bersabun pencuci, lalu mengangkatnya dan memindahkan ke dalam wadah khusus, lalu memasukkan wadah itu ke dalam mesin. Mesin yang akan membilas dengan air panas lalu mengeringkannya. Dengan ini, pekerjaan manusia hanya sebagian kecil saja dari proses manual yang biasanya.
Beberapa waktu lalu, seorang teman dari Indonesia kaget melihat kami mencuci piring sambil bercerita. Katanya, mencuci kok sambil bercerita. Saya mengajaknya ke tempat cuci. Dia kaget. Kok prosesnya sederhana saja. Kalau begini, mencuci piring sebanyak ratusan pun bisa dikerjakan sendiri. Demikian komentarnya. Ini memang benar.
Hadirnya mesin ini memang membantu manusia meringankan pekerjaannya. Seperti kata sahabat saya dulu di universitas di Jakarta, teknologi mana pun sejatinya membantu meringankan pekerjaan manusia. Saya sepakat dengan kata-katanya ini. Tetapi, jika salah dan keliru menggunakan teknologi ini, manusia sendiri yang merasa bukan meringankan tetapi memberatkan.
Ini saya lihat sendiri di kota Ancona, Italia Tengah, pada liburan musim panas yang lalu. Banyak di antara anak-anak remaja yang menjelang dewasa masih canggung dan sama sekali tidak tahu, bagaimana cara mencuci piring. Padahal, kalau dipikir-pikir mudah saja. Tinggal merendam di air panas dan membersihkan bagian sisa makanan yang melekat. Selanjutnya mesin cuci yang bekerja. Tetapi, yang mudah ini pun rupanya masih sulit dikerjakan.
Kini, fisik yang kuat tadi, rupanya tidak menjadi jaminan untuk bekerja dengan baik. Dengan kata lain, pekerjaan fisik yang berat pun bisa dikerjakan oleh mereka yang bertenaga biasa-biasa saja. Toh, pekerjaan itu dikerjakan oleh tenaga mesin. Manusia hanya mengarahkan mesin itu.
Cara ini pun berlaku juga untuk pekerjaan-pekerjaan kecil di rumah tangga. Dan, sebuah penelitian yang dibuat oleh Universitas Oxford di Inggris mengungkap secara jelas keadaan ini. Di situ dijelaskan tentang lama jam kerja dari kaum lelaki Italia dalam rumah tangga. Penelitian itu dibuat di 19 negara. Hasilnya mengejutkan. Lelaki Italia rupanya bekerja jauh lebih sedikit dari para wanita.
Italia—seperti Spanyol—memiliki kesenjangan yang besar dalam soal jumlah jam kerja ini. Di Italia, lelaki bekerja hanya 38 menit dalam seminggu. Sementara wanita bekerja selama 211 menit. Sungguh kesenjangan yang besar. Bayangkan, ini yang terjadi dalam keluarga-keluarga Italia. Sang istri bekerja jauh lebih lama ketimbang sang suami.
Saat ini, kecenderungan untuk menyamakan kedudukan antara suami dan istri dalam keluarga makin gencar dipromosikan. Sayangnya, promosi ini bisa berjalan sendiri. Keadaan yang sebenarnya masih jauh dari yang diharapkan. Promosi itu pun belum mampu mempercepat jalannya perubahan.
Dalam penelitian itu, dijelaskan bahwa, di Italia, perubahannya berjalan lambat. Universitas Oxford mendasarkan penelitiannya pada keadaan selama 50 tahun terakhir. Italia tetap saja lambat berubah. Pada tahun 1980 misalnya seorang lelaki Italia mendedikasikan waktunya untuk pekerjaan rumah tangga selama maksimal 17 menit saja. Angka ini naik menjadi 38 menit pada 28 tahun kemudian (2008). Selama 8 tahun terakhir (sampai 2016) angka ini belum berubah.
Ini berarti lelaki Italia masih belum mau berubah. Mereka masih melekat atau terbius oleh budaya lama yang membuat mereka terus tinggal dalam zona nyaman.
Jika Anda ingin membantu istri Anda mengerjakan pekerjaan rumah tangga, jangan meniru para lelaki Italia ini.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 10/9/2016
Gordi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H