Merokok adalah sebuah kecanduan. Makin dilarang, makin rakus. Bahkan, merokok sekarang lebih dari candu. Merokok kini berubah menjadi kebudayaan. Budaya merokok. Dengan menjadi budaya, merokok kini lebih kuat pengaruhnya. Merokok menjadi lebih dari sekadar sebuah candu.
Di Indonesia hari-hari ini sedang hangat diskusi tentang rokok. Peraturan merokok sedang digodok. Tujuannya adalah mengurangi bahkan menghilangkan budaya merokok. Berbagai cara pun mulai didiskusikan. Menaikkan harga rokok, membatasi ruang perokok, dan sebagainya.
Ini masih menjadi isu-isu, belum menjadi bagian dari aturan. Isu-isu ini rupanya membuka mata masyarakat. Di Jakarta masih isu, di berbagai daerah sudah muncul berbagai tips untuk menghalau isu-isu ini. Kalau rokok menjadi mahal, kami siap mengambil jalan lain agar kami tetap bisa bisa merokok. Begini salah satu model dalilnya.
Persoalan merokok di negeri kita memang amat berliku-liku. Ini karena merokok sudah menjadi bagian dari kebiasaan warga Indonesia. Kebiasaan yang aneh kadang-kadang. Saya ditertawakan saat mempresentasikan kebiasaan merokok ini pada teman-teman dari berbagai negara. Ada yang menyindir, merokok kok menjadi budaya.
Boleh jadi kita mengingkarinya. Tetapi, di daerah-daerah di Indonesia,merokok adalah sebuah hiburan. Di kampung-kampung yang pernah saya singgahi di NTT, Sumatera Barat, Sulawesi selatan, Bali, dan Jawa Tengah dan DIY, merokok menjadi bagian dari keseharian warga.
Selain sebagai hiburan, merokok adalah teman perjalanan. Berburu babi hutan di ladang, menjaga padi dari sergapan gerombolan burung, menunggu sarapan pagi, sambil merokok. Maka, benar jika dikatakan, tiada hari tanpa merokok. Atau lebih tepat lagi, tiada waktu tanpa merokok. Bahkan, di tempat yang sakral pun, di gereja dan di masjid, warga tetap merokok.
Apa jadinya jika harga rokok naik atau bahkan merokok dilarang? Pertama-tama tentu ada kebingungan atau mungkin stres di masyarakat. Apalagi di beberapa daerah misalnya di Sumatera Barat, atau di NTT, rokok adalah bagian dari lobi-lobi budaya. Maksudnya, dalam pesta budaya, rokok menjadi satu di antara persembahan untuk tamu.
Saya jadi ingat cerita seorang bule Italia yang dipaksa mengisap rokok di salah satu daerah di Medan. Dia bukan perokok tetapi saat itu dia harus merokok. Dalam sebuah pesta adat, warga memberinya rokok. Budaya setempat mengharuskannya untuk menerima rokok itu dan mengisapnya. Jika tidak, dia dianggap tidak menghormati budaya setempat. Dia memang tidak bisa menolak selain menerimanya. Dia tidak diwajibkan untuk menjadi perokok. Cukup menerima rokok itu dan mengisapnya dalam pesta budaya itu saja.
Budaya seperti ini ada juga di NTT. Di beberapa daerah di NTT, ada budaya mempersembahkan rokok itu kepada tuan rumah atau kepada tamu yang datang. Rokoknya juga bukan murahan. Lebih bagus rokok yang kelas satu. Yang paling tenar dan menjadi sebuah kebiasaan adalah merek Gudang Garam.
Di satu sisi, merokok memang menjadi candu. Candu yang membuat perokok makin tergantung pada rokok. Menghentikannya sulit. Sama sulitnya dengan menghentikan produksi rokok. Di sisi lain, banyak pekerja yang akan kehilangan pekerjaan jika produksinya dihentikan. Dari pihak kesehatan juga ada usulan untuk menghentikan budaya merokok. Merugikan kesehatan. Ini benar dan harus dipatuhi.
Sampai di sini, budaya merokok ini menjadi sebuah persoalan yang menyentuh berbagai segi kehidupan. Dari ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, bahkan sampai etika. Pemecahannya pun mesti menyentuh berbagai aspek ini. Jika tidak, akan terbentur dan tidak sampai pada sasaran.
Dengan banyaknya diskusi, persoalan merokok pun makin terang. Merokok tidak lagi merugikan masyarakat. Tentu tetap saja membahayakan perokok aktif dan perokok pasif. Dan, diskusi yang sering dibuat memang justru mengarah pada perlindungan terhadap perokok pasif. Maksudnya, melindungi mereka yang tidak merokok tetapi terkena asap rokok.
Italia sudah sampai pada tingkat perlindungan yang hampir aman. Perokok pasif kini tidak lagi terkena bahaya dari perokok aktif. Perokok pasif yang mesti dilindungi di Italia adalah Ibu hamil dan anak-anak. Dua kelompok ini menjadi objek perlindungan seluruh warga Italia. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan warga Italia tentang merokok semuanya bermuara pada perlindungan terhadap dua kelompok ini.
Dalam setiap peraturan tentang larangan merokok yang dirintis sejak tahun 1970, ibu hamil dan anak-anak menjadi nomor satu. Singkatnya, boleh merokok di tempat yang ditentukan tetapi jika di situ ada ibu hamil atau anak-anak, merokok tidak diizinkan lagi.
Di Italia, sudah ada peraturan jelas tentang tempat merokok. Beberapa di antaranya adalah berikut ini. (1) Dilarang merokok di tempat umum, di sekolah, di bis, di kereta, di rumah sakit, di bar dan restoran, di tempat kerja, (2) Boleh merokok di taman kota, di pantai, dan di tempat khusus untuk merokok misalnya ruang khusus perokok di bandara, stasiun, terminal, dan sebagainya, (3) Dilarang merokok di pantai dan taman kota jika di situ pada yang sama ada ibu hamil dan anak kecil, (4) Anak-anak dan remaja sampai umur 18 tahun tidak diizinkan untuk merokok, (5) Orang dewasa atau penjual rokok tidak boleh menawari atau menjual rokok kepada anak-anak sampai usia 18 tahun. Jika dia melakukan ini, dia mendapat sanksi berupa denda dari pemerintah.
Rokok yang laris di Italia saat ini adalah Marlboro dengan tipe Marlboro Rosse (harganya 5,20 € atau sekitar Rp 78.000) dan Marlboro Gold (5,40 € atau sekitar Rp 81.000). Rokok ini laris manis di kalangan anak muda dan orang tua.
Ada juga rokok lainnya yakni MS. Ini berada di tempat kedua. Pelanggannya sebagian besar orang tua, umur 65 tahun ke atas. Harganya sekitar 4,50 € atau sekitar Rp 67.500.
Jenis rokok yang ketiga juga laris manis adalah Yesmoke. Rokok produk Italia. Harganya paling murah di semua jenis rokok yakni 3,8 € atau sekitar Rp 57.000.
Jadi, total harga rokok tertinggi di Italia adalah Rp 81.000 atau 5,40 € dan terendah Rp 57.500 atau 3,8 €. Rasa-rasanya hampir sama dengan isu-isu harga rokok di Indonesia yakni Rp 50.000.
Cara lain yang ditempuh oleh Italia adalah dengan menempelkan gambar dan peringatan bahaya merokok di setiap bungkusan rokok. Konten gambar dan peringatan ini dipatok 65% dari bungkusan yang ada. Dengan konten ini, diharapkan agar pembeli merasa shock atau berpikir dulu sebelum membelinya.
Anak-anak dengan usia 18 tahun ke bawah menjadi perhatian publik. Mereka bisa mengelak dari peraturan yang ada. Masih ada remaja Italia yang merokok di diskotik misalnya. Jangan berpikir bahwa ini sebuah pembiaran. Kebiasaan ini masih menjadi pemburuan para polisi dan warga. Tak jarang memang para remaja ini merokok saat mereka berada bersama kalangan remaja.
Mereka memang sulit membeli rokok di toko. Di situ akan ditanya umur berapa jika fisiknya tampak dewasa. Beda lagi dengan mesin otomatis untuk menjual rokok. Di sini setiap pembeli wajib memasukkan kartu identitas dulu sebelum membeli rokok. Kartu ini menjadi penanda bahwa pembeli memang berusia di atas 18 tahun.
Meski di Italia banyak perokok, tetap ada hal positif yang bisa diambil. Dengan kata lain, rokok boleh menjadi budaya. Tetapi, perokok Italia adalah perokok yang berbudaya santun. Perokok di Italia sudah paham dan mengerti betul bahaya merokok. Itulah sebabnya, siapa pun perokoknya, mereka akan menghormati keberadaan ibu hamil dan anak-anak. Dua kelompok ini menjadi raja di segala tempat. Kehadiran mereka otomatis membuat perokok aktif mati kutu dan tunduk pada peraturan yang sudah membudaya di Italia yakni tidak boleh merokok. Inilah yang baik dari perokok Italia.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 23/8/2016
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H