Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menari-nari di Atas Laut Adriatico, Italia

22 Juli 2016   17:17 Diperbarui: 22 Juli 2016   17:26 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menari-nari di atas laut. Itulah kesan yang disampaikan teman saya asal Burundi, Afrika, saat kereta kami melintas di pinggir Laut Adriatico, di daerah Marche, Italia Tengah.

Memang benar kereta kami sedang menari-nari. Dalam acara tarian pada umumnya, penonton dan penari merasa senang. Perasaan itu juga yang kami dan para penumpang lainnya miliki dalam kereta Regionale Velloceitu. Bayangkan kereta itu melintas tepat di pinggir laut Adriatico itu.

Laut Adriatico atau juga disebut Laut Mediterania adalah salah satu laut terindah di Italia. Begitu kesan orang Italia ketika ada pertanyaan tentang laut ini. Laut ini memang berada di bagian Kanan daratan Italia.

Jika kita lihat peta geografi Italia, memandang dari Utara (atas) ke Selatan (bawah), laut Mediterania berada di bagian Kanan. Laut ini berada di antara Italia dan beberapa negara yang berhadapan dengannya seperti Croazia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Albania, dan sebagainya.

Keindahan laut ini mengundang banyak wisatawan, dalam negeri dan luar negeri. Jangan heran jika kota-kota di sepanjang laut ini selalu ramai. Keindahannya memang sudah mendunia.

rel kereta di pinggir laut
rel kereta di pinggir laut
Kereta kami yang berangkat dari kota Piacenza (sekitar 52 km dari kota Parma) pada Sabtu, 16 Juli sore hari juga penuh dengan para turis dalam dan luar negeri. Dari Piacenza dan Parma (tempat kami naik) terlihat sedikit. Lalu, pelan-pelan menuju kota Bologna. Di sini mulai penuh.

Rupanya di setiap stasiun berikutnya selalu ada penumpang dalam jumlah besar. Dari anak-anak, remaja, orang tua, berkelompok besar dan kecil, keluarga, dan sebagainya.

Kereta kami memang harus berhenti di setiap stasiun besar di setiap kota. Kereta ini bukan kereta super cepat seperti Frecciarossa yang mencapai 300 km per jam. Kereta ini hanya kereta antar-provinsi. Mungkin seperti kereta Ekonomi atau Bisnis jurusan Jakarta-Surabaya di Indonesia.

Saya sengaja mengambil kereta ini dalam perjalanan dari Parma ke Ancona. Jarak dua kota ini memang jauh, 294 km. Jauh tetapi tidak mendesak sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk ambil kereta cepat.

Dengan kereta regional ini, kami bisa menikmati perjalanan dengan tenang dan nyaman. Tidak ada pencopet meski tetap was-was. Jadi, tidak perlu risau dan khawatir. Tempat duduknya juga luas. Duduk berhadapan, ke depan dan ke belakang. Dalam gerbong, ada pembagian kiri dan kanan untuk tempat duduk. Bagian tengah menjadi jalur pelintasan.

Ketenangan ini yang membuat saya tertidur pulas hampir 2 jam. Perjalanan ini memang hampir 4 jam, yakni 3 jam dan 49 menit. Rasa kantuk muncul karena kami berangkat dari Parma tepat setelah makan siang.

Sahabat saya, Maurizio, mengantar kami ke stasiun. Setelah 15 menit dalam mobil FIAT-PUNTO itu, kami masuk stasiun kota Parma, menuju ke tempat stempel tiket model elektronik, lalu naik ke binario(nomor jalur kereta dalam stasiun).

Kami tiba 15 menit sebelum kedatangan kereta. Waktu ini amat berharga meski pendek. Dalam perjalanan jauh, waktu pendek pun menjadi amat berharga. Maka, saya mengecek kembali perlengkapan perjalanan. Tiket, peta jalur kereta yang sudah saya print tadi pagi, aqua biar tidak repot beli di stasiun berikutnya, mp3 player biar tidak ngantuk, dan sebagainya.

di stasiun kereta kota Parma sebelum berangkat
di stasiun kereta kota Parma sebelum berangkat
Perlengkapan ini penting meski tidak semuanya digunakan dalam perjalanan jauh ini. Air aqua tentu saja diminum. Suhu hari ini panas sekali. Apalagi saat melintas di pinggir laut Adriatico itu. Untungnya jendela gerbong dibuka sehingga udara keluar masuk dengan lancar.

Mp3 player tidak saya nyalakan. Tidak ada gunanya. Saya malah tertidur setelah stasiun ketiga yakni Stasiun kota Bologna. Dari sini saya tidur  sampai menjelang tempat tujuan kami.

Saya tidak ingat kapan naik dan turunya. Saat membuka mata beberapa kali di hadapan saya duduk seorang remaja cowok Italia, lalu berikutnya ganti, remaja cowok Jepang, lalu terakhir duduk gadis manis Italia. Tidak ingat persis naik-turunnya karena saya bangun hanya sebentar saja.

Untungnya lagi tidak ada pengecekan tiket. Entah mungkin ada atau tidak. Entah teman saya yang memberitahukan kepada petugas kalau saya memang punya tiket. Tidak jelas. Semuanya berjalan lancar tanpa ada halangan.

Di beberapa stasiun besar dan ramai memang saya bangun sebentar untuk melihat-lihat stasiun dan juga mengecek keberadaan koper saya. Aman-aman saja rupanya. Teman saya meletakkan koper saya di belakang kursi. Ada lowongan kecil antara kursi yang mengarah ke belakang dan ke depan.

Di gerbong kami ini memang tidak ada tempat untuk menyimpan koper besar. Di atas tempat duduk ada deretan kotak tapi berukuran kecil. Hanya untuk tas jalan saja. Bahkan beberapa tas besar seperti tas naik gunung dari beberapa remaja dari Inggris pun tidak muat. Jadilah mereka meletakkan tas-tas besar dan tinggi itu di depan kaki mereka.

Gerbong ini bertingkat 2. Saya sengaja memilih tingkat 2. Dari sini bisa lihat ke mana-mana dari ketinggian. Beda dengan tingkat 1 yang hanya berupa pandangan seperti di kereta biasa. Hanya saja, dari tingkat 2 ini, kita bisa merasakan pergantian posisi kereta, saat miring dan berbelok. Di tingkat 1, ini tidak terasa.

Dalam stasiun, kereta ini biasanya seperti bus di Italia pada umumnya, memiringkan gerbongnya agar penumpang mudah masuk dan keluar. Gerakannya ini dibantu dengan entah karet pegas dalam gerbong. Kapten kereta seperti sopir bus menekan tombol dan langsung keluar bunyi busssss lalu gerbong kereta miring sampai pintunya rata dengan tempat pijakan kaki penumpang di stasiun.

Pemandangan inilah yang kami rasakan juga saat kereta berhenti di Stasiun kota Rimini. Di sini banyak penumpang yang datang dari Piacenza, Parma, Regio Emilia, Modena, Bologna, dan beberapa stasiun lainnya, turun. Tujuan mereka rupanya kota Rimini.

Kota Rimini adalah kota kecil tetapi ketenarannya juga mendunia. Beberapa sahabat Italia pernah bilang, Rimini adalah kota dengan jumlah bar dan diskotik internasional terbanyak di Italia. Di sini memang banyak tamu mancanegara. Hotel-hotel dan restoran selalu ramai oleh tamu mancanegara. Pengakuan seperti ini juga saya dengar dari seorang kenalan saya orang Indonesia, Bali, dua tahun lalu saat kami bertemu di Parma.

pemandangan laut adriatico
pemandangan laut adriatico
Kenalan ini sudah puluhan tahun tinggal di Bali. Rupanya dia datang sebagai pekerja di salah satu hotel. Menikah dengan orang Italia dan akhirnya punya hotel sendiri. Jadilah dia pengelola hotel itu. Kapan-kapan kalau mampir di Rimini boleh kontak kenalan ini.

Saat penumpang turun, kereta terasa lenggang. Dalam gerbong kami, hanya tersisa sekitar kurang dari 20-an penumpang. Di sini, saya bangun dan bercerita dengan seorang ibu muda Italia. Dia rupanya menuju kota Ancona seperti tujuan kami.

Saya bertanya tentang kota Rimini. Katanya, Rimini memang selalu ramai. Dia yang sering melintas di sini dengan kereta regional ini juga mengakui kalau pada akhir pekan seperti ini banyak orang pergi ke pantai Rimini. Apalagi, sambungnya, liburan musim panas seperti ini.

Dari dia juga kami tahu kalau jalur ini memang ramai tetapi tetap aman. Belum ada kasus ancaman bom bunuh diri dalam kereta atau stasiun seperti yang terjadi di Jerman, Prancis, Banglades, Turki, dan sebagainya pada hari-hari ini. Dialah yang menganjurkan pada kami untuk menyimpan koper di belakang kursi dalam awal perjalanan tadi.

Rupanya ramah juga ya ketika ditanya. Kirain tadi, agak cuek, apalagi matanya tertutup kacamata hitam. Setelah berbagi dua tiga kata (mengutip pribahasa Italia), kami pun sepakat untuk membuka kaca mata. Dialog pun menjadi lebih hangat sampai dia beberapa kali bercerita tentang anak dan suaminya. Tanpa bertanya pun, bisa disimpulkan bahwa dia memang bersuami dan punya anak satu.

Hal seperti ini kadang sulit sekali ditemukan antara orang baru kenal seperti ini. Beberapa orang Italia kadang-kadang tidak mau, tidak boleh, ditanya dan menjawab tentang status dan usia. Jadi, hati-hati jika bertanya tentang umur atau status perkawinan.

Sekitar 50 km sebelum tujuan kami, saya memutuskan untuk bangun dan tidak tidur lagi. Saya mencoba mengarahkan pandangan ke arah laut. Betapa asyiknya perjalanan ini. Betul-betul seperti kata teman saya, menari-nari di atas laut.

Di samping kereta, desiran ombak berbunyi bersama serunya bunyi gerbong kereta yang beradu dengan rel kereta. Di dalam gerbong, para penumpang siap-siap untuk turun, mengecek bawang bawaan mereka. Sesekali kereta berhenti bukan karena dihadang air laut tetapi singgah di stasiun yang letaknya tepat di pinggir laut.

di pinggir laut adriatico di kota ancona
di pinggir laut adriatico di kota ancona
Di pantai sepanjang rel dekat laut ini, terbaring banyak pengunjung dan pecinta pantai. Sedang berjemur di bawah teriknya mentari. Mencari angin dan suhu dingin. Memerahkan kulit putih nan mulus. Boleh jadi mereka ini juga tiba di sini dengan kereta ini. Ya, mereka dan kami memang sama tetapi juga beda. Mereka sedang menikmati angin laut di pantai itu. Kami masih dalam perjalanan menuju tujuan kami. Tetapi, kami sama-sama berada di pinggir laut Adriatico ini.

Tepat pukul 17.19, kereta kami berhenti di stasiun kota Ancona ini. Setelah mengecek semua bawaan, kami turun dari lantai 2, ke lantai 1, lalu keluar kereta. Berjalan sebentar dalam stasiun sambil membaca petunjuk keluar, lalu keluarlah kami dari stasiun.

Di luar, dengan mudah, kami menemukan dua sahabat kami yang menjemput kami. Mereka rupanya baru tiba dari tempat parkir. Ucapan Selamat bertemu kembali keluar dari mulut kami sambil memeluk erat ala italia. Pelukan ini menandakan persahabatan erat antara kami.

Terima kasih untuk Dia yang membolehkan kami berjalan dalam kereta ini. Darat dan laut menyatu dalam persahabatan yang indah, seindah lautan biru ini.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

ANC, 22/7/2016

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun