Kereta gantung bukan sekadar moda rekreasi. Kereta gantung juga membantu memahami alam. Maksudnya, membantu melihat dan menghormati indahnya alam.
Hampir 11 tahun lalu, saya melihat langsung kereta gantung di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Kali pertama melihatnya. Hanya kaget dan takjub waktu itu. Tidak menikmatinya. Maklum, ongkos di saku tidak cukup. “Biarlah saya menikmatinya dengan cara memandangnya saja untuk saat ini,” kata saya waktu itu.
Mata saya pun seperti mata anak kampung yang baru masuk kota. Memang saya waktu itu baru melihatnya pertama kali. Beruntung juga tidak menaikinya. Sebab, saya punya kesempatan untuk melihat, bagaimana cara masuknya, bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana yang lain. Tidak semuanya terjawab. Hanya beberapa yang jelas terjawab. Maklum, saya hanya memandang dari jauh. Seperti dari bumi ke udara dengan ketinggian kira-kira 20-an meter.
Sembilan tahun kemudian baru saya bisa menikmatinya. Memang rupanya nikmat sekali. Bukan dengan lidah dan tenggorokan tentu saja. Tetapi dengan mata dan gerak tubuh. Sensasi dua indera inilah yang dominan.
Sensasi ini juga yang membuat perbedaan cara menilainya. Kalau di Jakarta, kereta gantungnya hampir berjalan rata. Seingat saya, di TMII, jalurnya pun hanya mengitari kompleks untuk melihat Indonesia mini berupa replika pulau dan lautan.
Tahun lalu, saya mencobanya untuk pertama kali. Tidak ingat berapa derajat kemiringan jalur kereta itu. yang jelas miring sekali. Dari daerah yang tinggi ke puncak gunung di kota Andalo, Trentino, Italia Utara. Rasa-rasanya seperti mau lompat dari udara. Untunglah selalu ada pengamannya.
Jalur pertama kira-kira dari ketinggian 1500-an sampai 1783 meter dpl. Lama tempuh kira-kira 20-30 menit. Jalur kedua dari ketinggian tersebut sampai 2125 meter dpl. Bayangkan betapa derajat kira-kira kemiringannya. Yang jelas tidak seperti segitiga siku-siku.
Menarik menikmati perjalanan dengan kereta gantung ini. Tentu saja yang pertama kali dilihat adalah pemandangannya. Ada gunung, salju, pepohonan pinus, rumah penduduk dan kota dari kejauhan, jalur permainan ski-salju di gunung, dan sebagainya. Juga melihat puncak-puncak tertinggi. Selain itu, bisa juga melihat danau.
Kita bisa melihat kereta yang di depan dan di belakang kita. Bisa menyaksikan gesekannya saat berjalan di setiap tiang penyangga kabel kereta. Bisa melihat aksi para penumpangnya. Sensasi inilah yang bisa saya lihat dan rasakan.
Tahun ini seperti tahun lalu, saya menikmatinya lagi. Hanya saja di tempat yang berbeda yakni di Molveno, Trentino, Italia Utara. Sudut kemiringan dan ketinggian tempatnya juga berbeda. Tahun ini, jalur pertama justru yang tingkat kemiringannya tinggi. Ada tebing terjal dan batu beruncing di bawahnya. Jika terjadi kecelakaan memang, harapan untuk selamat kecil sekali.
Selain tebing terjal ini, di jalur pertama ini juga kita bisa melihat Danau Molveno yang indah itu. Hanya saja butuh keberanian juga untuk melihatnya. Beberapa teman sengaja memilih tempat duduk membelakangi danau agar tidak melihat rasa terjalnya.
Kenyamanannya juga bervariasi. Di jalur pertama, keretanya tertutup dan berisi maksimal 6 orang. Kereta di jalur kedua hanya untuk 2 orang dan terbuka. Sensainya berbeda tentu saja antara jalur pertama dan jalur berikutnya. Dari ketinggiannya saja berbeda. Jalur pertama dari 865 meter dpl sampai 1367. Lalu masuk ke jalur berikutnya sampai ketinggian 1525 meter dpl. Tampak sekali sudut kemiringannya berbeda jauh.
Naik kereta gantung bagi saya seperti naik pesawat yang terbang rendah. Kita bisa melihat benda-benda, tetumbuhan, alam, manusia, dan hal lainnya di bawah kita dengan jelas. Kalau pesawat, pergerakannya cepat sehingga sensai menikmati alamnya kurang terasa. Kereta gantung tidak demikian. Kereta gantung justru menjadi pos yang strategis untuk menikmati semuanya. Jangan heran jika, bukan saja danau yang bisa dinikmati panoramanya tetapi juga gunung.
Sungguh sensasi yang membekas sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Beruntunglah mereka yang bisa menikmati pengalaman ini sejak kecil seperti beberapa anak kecil yang kami jumpai dalam dua kali petualangan ini. Anak kecil memang sebnarnya dilarang tetapi kalau dengan orang tua atau orang dewasa diizinkan.
Kalau dirupiahkan, harga ini memang besar. Saya kira kalau di Indonesia harganya juga sesuai kemampuan masyarakat. Yang jelas ada potongan untuk anak-anak, remaja, dan mahasiswa. Bahkan, anak bawah 12 tahun digratiskan. Tahun lalu, kami juga dapat gratis. Satu dari sahabat saya mempunyai kenalan dengan pengelola kereta gantung itu. Kenalannya itu memberi dia 20 buah tiket untuk kami sekalian sebagai promosi awal musim panas. Tiket gratis ini seperti tiket berbayar lainnya hanya saja tidak tertera besar ongkosnya. Jadi, kalau dimasukkan mesin pengesahan tiket (validasi tiket), keluar angka 0,00 euro.
Rasa-rasanya mustahil manusia menciptakan alam yang indah itu. Setelah tiba di atas puncak yang dituju, memandang ke bawah, rasa-rasanya kok indah sekali. Rasa dingin menggigil di atas puncak hilang sekejap saat kita melihat indahnya deretan puncak gunung, bebatuan bersalju, dan pemandangan ke dataran rendah di sekitarnya.
Naik kereta gantung ini memang bukan sekadar menikmati keretanya tetapi yang paling utama adalah mnikmati alamnya. Kereta itu hanya sesaat dan sarana pembantu saja. Yang paling lama dan membekas di hati kiranya pemandangan alam yang tiada tara itu.
Semoga suatu saat saya kembali menikmatinya.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
Tulisan terkait dari urutan terakhir:
MLV, 13/7/2016
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H