Petualang adalah orang yang suka tantangan. Baginya, tidak ada batasan. Yang adalah hal-hal di balik batasan. Itulah sebabnya, seorang petualang tidak pernah melihat tujuan akhir (sampai di mana saya bisa berjalan) tetapi terus menggemakan kewajiban (saya harus terus berjalan).
Petualang kiranya pantas disematkan pada pribadi Pak Tjipta. Umurnya 73 tahun. Boleh jadi akan bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Uniknya, sampai saat ini pun, dia terus menulis. Menulis dalam usia seperti ini memang menjadi hal langka bagi warga Indonesia. Kecuali mereka yang punya kemampuan dan hobi menulis seperti penulis dan wartawan yang bisa menelurkan tulisan sampai seusia itu. Yang lainnya, kita agak sulit menemukan orang yang menulis dalam usia seperti itu. Dengan demikian, Pak Tjipta adalah petualang yang suka menulis. Dia sudah menulis banyak buku dan juga artikel di blog kompasiana ini.
Saya mengenal Pak Tjipta dari tulisan-tulisannya di kompasiana. Beberapa tahun lalu, saya mulai membaca tulisannya. Ada perasaan tersendiri ketika membaca ulasannya. Tulisannya memang membuat pembaca tersentuh. Lebih dari isi tulisan, hal yang paling membekas dari Pak Tjipta adalah caranya dalam membalas komentar. Saya tak segan mengatakan bahwa Pak Tjipta adalah penulis yang setia membalas komentar teman-teman kompasianer lainnya yang singgah di tulisannya. Saya tidak saja membaca tulisannya tetapi juga memberikan nilai sesuai perangkat yang tersedia di blog kompasiana. Saya juga memberikan komentar. Ini yang menarik. Komentar ini menjadi bahan untuk melanjutkan komunikasi. Komentar ini tentu saja dibaca oleh Pak Tjipta lalu dijadikan sebagai bahan untuk berkomentar lagi. Dengan kata lain, komentar itu tidak dibaca lalu didiamkan begitu saja. Pak Tjipta akan membalas komentar itu dengan sapaannya yang khas.
Tentang membalas komentar ini, saya punya pengalaman menarik beberapa tahun lalu, kira-kira tahun 2012 atau 2013. Saat itu, saya gemar menulis di kompasiana. Pak Tjipta sesekali singgah di tulisan saya dan meninggalkan jejak berupa komentar di sana. Karena sibuk dengan kegiatan kuliah, saya kadang-kadang menunggu beberapa hari baru membalas komentar itu. Saya memang tidak membuka kompasiana setiap hari. Dengan demikian saya tidak menulis setiap hari. Dan, suatu kali saya membalas komentar Pak Tjipta di tulisan saya. Saya pertama-tama memohon maaf karena baru balas komentar itu. Pak Tjipta menjawab tidak apa-apa. Lalu, dia sambung dengan menanyakan kabar saya. Saya membalas, saya baik-baik saja hanya sedang tidak rajin menulis di kompasiana karena sibuk kuliah di tahun terakhir. Komentar Pak Tjipta sungguh bagus saat itu. Katanya, ya kita memang punya waktu untuk menulis tetapi tidak berarti bisa menulis setiap hari. Kita menulis saat ada kesempatan. Kita mempunyai banyak tugas lainnya yang dikerjakan. Tidak seperti saya yang sedang pensiun ini.
Bagi saya, komentar ini amat bagus. Pak Tjipta tidak saja membaca lalu membiarkan komentar saya tetapi membacanya dengan cermat dan memberi tanggapan yang pas. Dari situ, saya tahu kalau Pak Tjipta sudah pensiun sehingga punya banyak waktu untuk menulis ketimbang saya yang menulis di waktu senggang. Pak Tjipta tentu bukan saja banyak waktu tetapi banyak pengalaman. Bisa saja pengalaman ini menjadi bahan tulisan. Tetapi juga terutama pengalaman menulis buku. Dari menulis buku ke menulis di blog kompasiana tentu saja tidak seberat seperti penulis pemula seperti saya. Paling tidak, penulis buku sudah punya gambaran bagaimana menulis. Kiranya ini juga yang membuat tulisan Pak Tjipta di kompasiana menjadi menarik dan berisi.
Tulisan Pak Tjipta memang bukan tulisan biasa. Kalau boleh dibilang, tulisannya luar biasa. Meski luar biasa, tulisan Pak Tjipta justru muncul dari hal-hal biasa. Pak Tjipta dalam tulisannya membahas seputar kehidupan sehari-hari, pengalaman kebijaksanaan dalam hidup, pengalaman perjalanan, dan pengalaman hidup di tanah rantau.Sampai sekarang, saya menemukan banyak tulisan Pak Tjipta yang membahas keempat tema ini. Entah ada yang luput dari keempat tema ini. Boleh jadi. Tetapi, saya merangkumnya dalam keempat tema ini. Saya tidak membatasi dalam keempat tema ini. Kebetulan saja, tulisan yang saya baca termasuk dalam keempat tema ini sehingga bagi saya cukup merangkumnya dalam empat tema. Pak Tjipta tentu tahu dengan jelas tentang tema tulisannya.
Kehidupan sehari-hari memang menjadi hal bermakna bagi Pak Tjipta. Makna itu pula yang dia bagikan lewat tulisannya. Ketika kita membaca tulisannya, kita mungkin berkomentar, ah ini hal biasa kok. Tetapi, menjelang paragraf terakhir, Anda akan menemukan betapa kehidupan sehari-hari itu bermakna. Pak Tjipta adalah orang yang jeli menemukan makna tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari. Jangan heran jika pengalaman bertemu sahabat atau bercerita dengan anak-anak dan cucunya pun menjadi sesuatu yang bermakna untuk dibagikan. Bercerita dengan anak-cucu bagi sebagian orang menjadi hal biasa. Toh sudah jadi hal lumrah. Tidak ada yang baru. Sudah selayaknya demikian. Tetapi tidak demikian bagi pak Tjipta. Pak Tjipta kiranya melihat kedalaman relasi dalam cerita sederhana itu.
Cerita sederhana seperti inilah yang kadang-kadang luput dari perhatian banyak orang. Dalam cerita harian seperti ini, ada banyak perasaan, reaksi, tanggapan yang muncul. Bisa saja marah, senang, sedih, gusar, bangga, angkuh, dan berbagai perasaan lainnya. Pak Tjipta adalah orang yang jeli melihat perasaan seperti ini. Perasaan itu pun diolahnya menjadi sebuah tulisan yang menarik. Tulisan itu pun berisi kebijaksanaan dalam hidup. Dan memang kebijaksanaan hidup bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.Kebijaksanaan itu tidak ditemukan saat membaca buku atau tulisan yang adalah benda mati. Kebijaksaan hidup adalah kehidupan itu sendiri. Kebijaksaan itu nyata dalam pengalaman hidup harian. Kebijaksaan itu bukan hal yang abstrak tetapi hal nyata dalam relasi kita dengan orang lain.
Dengan kerangka kebijaksaan ini, Pak Tjipta bisa menghasilkan tulisan yang mengubah perasaan. Tema-tema seperti mengubah kebencian menjadi cinta,mengelola perasaan marah, dan tema sejenisnya menjadi ulasan Pak Tjipta. Judul-judul seperti ini memang boleh jadi tidak sama persis dengan judul tulisan Pak Tjipta. Tetapi, saya menangkap ada tema seperti ini dalam berbagai tulisan Pak Tjipta yang saya baca. Ulasan seperti ini adalah bagian dari kebijaksaan hidup. Kebijaksanaan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Kata ini (perantau) tertanam kuat dalam benak orang-orang Indonesia. Bukan orang Indonesia kalau tidak bisa memahami dan mengenal kata perantau. Banyak orang Indonesia menjadi perantau entah di Indonesia atau di luar negeri. Sebut saja orang Padang merantau ke Jakarta. Orang Flores merantau ke Jayapura. Orang Medan merantau ke Kupang. Orang Ambon merantau ke Surabaya. Orang Jawa merantau ke Riau. Orang Menado merantau ke Malang. Ini hanya beberapa contoh. Contoh lainnya juga orang Indonesia merantau ke Jepang, Amerika Serikat, Prancis, Italia, dan sebagainya. Pak Tjipta adalah satu dari sekian perantau ulung ini.