Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[G5] Mbak Gana, Perawat Budaya Indonesia di Jerman

6 Mei 2016   22:09 Diperbarui: 6 Mei 2016   23:31 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tampilan teman-teman Indonesia saat menyanyikan lagu daerah dari Indonesia di hadapan teman-teman di Jerman, FOTO: mbak Gana

Mbak Gana di seberang sana, izinkan saya memanggilmu perawat. Bukan asal panggil. Ada alasannya sehingga sebutan itu saya tempelkan di nama mbak Gana. Di akhir surat ini, saya akan memberitahukan alasannya. Biar pembaca (termasuk mbak Gana tentunya) menikmati isi suratnya dari awal sampai akhir.

Saya tahu Mbak Gana mungkin penasaran dengan sebutan ini saat membaca surat ini. Tetapi biarlah ini menjadi kejutan. Anggap saja kejutan dari Indonesia. Saya kira yang berbau Indonesia akan membuat hati mbak Gana senangnya bukan main. Tinggal jauh dari Indonesia tentu membuat mbak Gana selalu rindu dengan semua yang namanya Indonesia. Entah bahasa, budaya, makanan, sosial, politik, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini memang sudah menjadi darah daging dalam kehidupan mbak Gana.

Saya juga tahu mbak Gana sudah berbahasa Jerman tetapi itu tidak menghapus bahasa ibu mbak Gana yakni bahasa Indonesia. Bahasa ibu selalu tertanam kuat kapan dan di mana pun kita merantau. Itulah sebabnya Mbak Gana juga kiranya selalu rindu berbahasa Indonesia. Di kompasiana inilah Mbak Gana memuaskan rindunya melalui interaksi berbagi sapa di dalam bahasa Indonesia. Jangan heran jika menulis di kompasiana menjadi sarana pemuas rindu. Kata mbak Gana, dia selalu rindu berbahasa Indonesia tetapi sulit mencari teman berbahasa Indonesia. Di rumahnya saat ini, semua berbahasa Jerman. Kalau ditanya, mengapa anak-anak tidak diajarkan berbahasa Indonesia? Mbak Gana menjawab, tentu diajarkanย pelan-pelan. Tetapi anak-anaknya tetap berbahasa Jerman. Maka, mbak Gana menyambung, walaupun saya bertanya dalam bahasa Indonesia dan mereka mengerti, mereka tetap menjawab dalam bahasa Jerman. Wahhhh tambah rindu berbahasa Indonesia.

Bahasa menjadi bagian dari budaya. Mbak Gana kiranya ingin merawat budaya Indonesia di negeri Jerman. Itulah sebabnya dia terus menulis dalam bahasa Indonesia. Tetapi tentu saja bukan saja bahkan tidak cukup dengan berbahasa saja. Budaya Indonesia perlu dirawat dengan berbagai cara. Mbak Gana menggunakan beberapa cara untuk merawat budaya Indonesia ini. Dengan latar belakang pekerjaannya sebagai penyiar radio di Semarang, Jawa Tengah, mbak Gana ingin berkomunikasi dengan semua orang. Seperti penyiar radio, ngomong terus tanpa peduli siapa dan berapa pendengarnya. Tampak seperti orang gila, ngomong sendiri. Tetapi penyiar radio kiranya tidak gila. Penyiar radio adalah ahli komunikasi yang handal.

Keahlian inilah yang digunakan oleh mbak Gana dalam merawat budaya Indonesia di Jerman. Dia mengumpulkan teman-teman Indonesia dan teman-teman orang Jerman. Menawarkan kepada mereka beberapa makanan khas Indonesia. Jadilah pertemuan itu bukan saja soal makan tetapi yang utama adalah soal budaya. Teman-teman Jerman menikmati hidangan yang ada. Berbagai rasa mereka alami saat makan. Setelah makan, berbagai kesan pun muncul. Boleh jadi mulai dengan satu kata atau kalimat, makanannya enak. Berikutnya satu paragraf berupa tanya jawab seputar budaya Indonesia. Kesan mereka pun pada akhirnya beragam dan menyimpulkan dengan berbagai kalimat, oh begini toh Indonesia itu, betapa indahnya laut Indonesia, betapa kayanya budaya Indonesia, dan sebagainya.

Mbak Gana kiranya tahu, teman-teman Jerman tidak puas hanya dengan menyantap hidangan khas Indonesia. Mereka juga ingin mengetahui dan melihat budaya Indonesia lainnya. Maka, Mbak Gana juga menampilkan budaya Indonesia lainnya. Dalam hal ini, Mbak Gana seperti tidak kehilangan ide. Keahliannya banyak. Seni menari menjadi sajian berikutnya yang dia tawarkan kepada teman-teman Jerman. Kiranya para bule Jerman akan takjub dan kaget melihat betapa Indonesia kaya dengan kebudayaannya. Melihat Mbak Gana menari, meliuk-liukkan tubuhnya, sambil tersenyum, sudah menjadi kekayaan tersendiri di mata para bule Jerman. Apalagi bukan saja seni menari yang ย mereka saksikan tetapi juga mendengar lagu dan melihat keindahan pakaian adat Indonesia. Ini menjadi sesuatu yang berharga di mata orang asing. Dan, mbak Gana lagi-lagi tidak segan-segan menawarkan ini kepada teman-teman di Jerman.

Seni menari, berbusana, dan lagu-lagu daerah dari Indonesia ini kiranya tidak berhenti di panggung seni. Beberapa bentuk kebudayaan ini akan menjadi bahan perbincangan teman-teman di Jerman. Mbak Gana juga kiranya terus memperkenalkan budaya ini kepada para muridnya di kelas. Di kelas bahasa Jerman dan Inggris inilah budaya ini diperkenalkan terus menerus. Sampai di sini, saya harus menyampaikan LIMPAH TERIMA KASIH kepada Mbak Gana yang terus menerus mempromosikan warisan leluhur nenek moyang Indonesia.

Surat ini ditulis dalam rangka ulang tahun yang ke-5 dari mbak Gana sebagai kompasianer. Ini berarti sudah 5 tahun mbak Gana menulis di kompasiana. Usia 5 tahun kiranya menjadi kenangan indah dalam kehidupan kita semua. Kita ingat dengan jelas istilah bawah lima tahun (balita). Dari tahun 1 sampai 5, kita selalu dalam perlindungan ibu dan bapak. Semuanya bergantung pada ibu dan bapak. Setelah 5 tahun, kita baru mulai merambah dunia dengan berbagai cara misalnya sudah mulai kuat berjalan, lancar berbicara, mulai belajar membaca dan berhitung, mulai bermain dengan sahabat. Jadi, boleh dibilang kontak langsung kita dengan dunia nyata baru dimulai sejak usia 5 tahun. Sebelumnya kita tidak bisa berbuat banyak jika tidak dengan bantuan ibu dan bapak. Dengan kata lain, kita tidak bisa memproduksi sesuatu pun di usia balita ini.

Mbak Gana tentu bukan balita. Meski di kompasiana ini mbak Gana baru saja lewat dari predikat balita itu. Tetapi tetap saja, mbak Gana bukan balita. Mbak Gana jauh dari kesan balita. Mbak Gana bahkan berbanding terbalik dengan predikat balita. Kalau bayi balita tidak bisa memproduksi sesuatu, mbak Gana sudah memproduksi banyak hal berkaitan dengan usianya yang ke-5 sebagai kompasianer. Beberapa buku sudah terbit, beberapa aktivitas budaya sudah dia perkenalkan kepada teman-teman di Jerman, bahkan banyak pertemuan dia ikuti bersama teman-teman kompasianer. Ya, mbak Gana memang bukan balita. Mbak Gana adalah penulis di kompasiana. Dari tangannya sudah lahir 1000 artikel untuk kompasiana. Seperti ditulis dalam artikelnya, kalau dirata-ratakan, Mbak Gana menulis 200 artikel dalam setahun dan sekitar 16 artikel dalam sebulan.

Betapa hebat Mbak Gana menulis sebanyak itu di tengah kesibukannya sehari-hari sebagai ibu dan istri. Mbak Gana pandai membagi waktu antara aktivitasnya sebagai penulis di kompasiana dan aktivitasnya dalam keluarga dengan anak-anak dan suami. Sebagai kompasianer balita, saya mengucapakan terima kasih kepada mbak Gana atas kiprahnya ini. Di sini, mbak Gana bukan lagi sebagai balita tetapi sebagai perawat balita. Anggap saja kompasianers balita sebagai bayi balita dan mbak Gana sebagai perawat balita ini.

Mbak Gana yang baik, sesuai janji di awal tulisan ini, saya mengakhiri tulisan ini dengan menjelaskan alasan di balik sebutan perawat budaya Indonesia. Tentu mbak Gana setuju sebutan perawat budaya ini jauh dari lingkungan perawat kesehatan. Perawat budaya yang saya maksudkan di tulisan ini sangat sederhana. Saya sudah membeberkan banyak contoh di beberapa paragraf dalam tulisan ini. Jadi, saya memang terus menyebut mbak Gana sebagai perawat budaya Indonesia karena sudah berjasa untuk merawat budaya Indonesia dengan berbagai cara. Menulis dalam bahasa Indonesia, memperkenalkan tarian budaya Indonesia, menghidangkan makanan khas Indonesia, dan sebagainya. Uniknya, semua ini dibuat di luar Indonesia dan di hadapan teman-teman bukan Indonesia. Dalam hal ini adalah di Jerman dan teman-teman di Jerman.

Tinggal dan hidup di luar Indonesia memang bisa membuat orang Indonesia lupa atau melupakan budaya Indonesia. Dan kiranya kecenderungan ini ada juga dalam diri Mbak Gana. Boleh jadi bukan karena Mbak Gana mau melupakan tetapi karena keterbatasan sarana untuk terus merawat budaya itu. Tetapi justru di sinilah Mbak Gana berperan penting untuk melawan kecenderungan itu. Mbak Gana justru merawat budaya Indonesia itu di tengah kehidupannya di Jerman. Dengan itu, kesan jarak jauh antara Indonesia dan Jerman kini menjadi dekat. Fisiknya berjauhan tetapi perasaan budayanya dekat sekali.

Selamat ulang tahun ke-5 untuk Mbak Gana. Teruslah merawat budaya Indonesia untuk teman-teman di Jerman.

PRM, 6/5/2016

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun