Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyamannya Menjadi Orang Difabel di Italia  

18 April 2016   19:44 Diperbarui: 19 April 2016   09:28 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan sokongan dari negara, sekolah menyediakan guru khusus untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus ini. Dengan demikian sekolah bukan saja untuk kelompok tertentu (eksklusif) tetapi terbuka untuk semua murid (inklusif).

Italia rupanya tidak main-main dengan pendidikan ini. Usaha pemerintah Italia untuk memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus ini mendapat perhatian dari PBB. Tahun ini dalam daftar PBB, Italia masuk dalam kelompok pertama dari 193 negara di PBB untuk kategori pendidikan inklusif ini. Tidak perlu heran karena Italia sudah mengusahakannya sejak lama. Tahun 1992, Italia membuat atau membarui undang-undang yang ada sebelumnya tentang hak anak-anak cacat untuk pendidikan. 

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa, negara mewajibkan sekolah untuk menyediakan guru-guru pendamping bagi anak-anak cacat di sekolah umum, dari sekolah dasar sampai universitas.Dengan undang-undang ini, Italia ingin menghapus tembok yang memisahkan anak-anak cacat dan anak-anak lainnya di sekolah.

Kehadiran guru khusus inilah yang membuat tembok ini sedikit demi sedikit runtuh. Italia seperti PBB ingin agar tembok itu runtuh. Tidak ada lagi pemisah antara anak-anak cacat dan anak-anak lainnya. Semuanya sama dan berhak mendapat pendidikan yang sama.

Usaha ini tentu saja tidak mudah. Meski sudah lama, Italia sampai saat ini masih terus berjuang. Beberapa tahun belakangan, masih ada orang tua murid yang belum puas dengan peran guru khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus ini. Mereka pun megajukan tuntutan kepada negara melalui pihak sekolah bahkan sampai di pihak pengadilan. Mereka menuntut agar negara mewajibkan sekolah untuk menyediakan guru khusus ini. Permasalahannya memang bukan soal guru saja. 

Peran guru bisa maksimal jika ada bantuan dari para murid lainnya. Itulah sebabnya, para orang tua murid juga mengajukan permintaan agar sekolah mewajibkan murid lainnya untuk mendukung murid yang cacat ini. Di sinilah ada kerja sama antara sekolah, orang tua, dan para siswa seluruhnya. Tembok pemisah ini memang mesti diruntuhkan bersama-sama. Bukan tugas guru dan sekolah saja tetapi para murid lainnya juga.

Koran La Stampa edisi 9 februari 2016 yang lalu melaporkan bahwa jumlah siswa disabilitydi Italia untuk tahun ajaran 2016 ini sebanyak 234.000. Tahun 2015 yang lalu hanya 167.000. Sedangkan koran anak Popotus edisi 16 februari melaporkan bahwa 37% dari jumlah tersebut ada di sekolah dasar (scuola elementari), 28,5 % ada di sekolah menengah pertama (scuola media) dan 25% ada di sekolah menengah atas (scuola superiori) dan bagian kecilnya 9,5% ada di taman kanak-kanak (scuola dell’infanzia).

Siswa berkebutuhan khusus ini diperhatikan oleh guru-guru khusus sebagai pembantu guru utama di kelas. Jumlahnya gurunya juga banyak. Setiap dua anak memiliki 1 guru. Jadi, jumlah guru bantunya sekitar 110.000 orang.

Rasa-rasanya bagus yah kalau begini. Makanya, Italia—dalam laporan di koran La Stampa agak berbeda dengan negara Eropa lainnya. Di Spanyol misalnya ada 107.000 siswa berkebutuhan khusus. Sekitar 15.000 belajar di sekolah khusus dan 89.000 belajar di sekolah umum. Di Inggris dari 226.000 siswa, 99.500 belajar di sekolah khusus dan 111.000 di sekolah umum. Di Jerman dari 480.000 siswa berkebutuhan khusus, sebanyak 378.000 belajar di sekolah khusus dna lain

Italia rupanya tetap berbeda. Dan, bagus kalau belajar dari Italia termasuk dari cara mereka berjuang sehingga sampai pada keadaan yang sekarang ini.

Ada berapa hal yang bisa kita pelajari dari sistem pendidikan ini: 1). Siswa dibiasakan untuk menghargai perbedaan, 2). Siswa dibiasakan untuk bertindak tidak rasis di kelas, 3). Negara wajib melindungi anak-anak berkebutuhan khusus termasuk melayani mereka dalam hal mendapatkan pendidikan, 4). Pelan-pelan generasi penerus Italia tidak mempermasalahkan perbedaan dengan berbagai jenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun