Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyamannya Menjadi Orang Difabel di Italia  

18 April 2016   19:44 Diperbarui: 19 April 2016   09:28 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: accessibleitalianholiday.com"][/caption]Apa sih enaknya jadi orang cacat? Bukankah lebih baik berbicara tentang menderitanya jadi orang cacat? Tentu saja orang cacat tidak harus dan tidak terus menderita. Orang cacat juga seperti orang pada umumnya, ada senangnya dan susahnya. Lalu, mengapa harus membahas enaknya jadi orang cacat?

Tulisan ini berangkat dari pengalaman nyata waktu tiba di Italia. Saat itu, dalam pelajaran di hari-hari awal, kami membahas tentang sistem pendidikan di Italia. Tetapi, sebelumnya kami harus mempresentasikan sistem pendidikan di negara masing-masing. Saya mempresentasikan sistem pendidikan di Indonesia.

Presentasi itu mengundang banyak pertanyaan terutama dari teman-teman dari Eropa termasuk Italia. Bukan karena presentasi saya bagus. Bukan pula karena presentasi saya kurang jelas. Saya berusaha untuk mempresentasikan kenyataan yang sesungguhnya di Indonesia. Rupanya mereka tertarik untuk mengetahui satu hal saja yakni tentang pendidikan orang cacat.

Pertanyaan mereka memang muncul dari penjelasan saya. Saya menjelaskan bahwa di Indonesia ada sekolah khusus untuk orang cacat. Saya mempresentasikan sekolah khusus tempat saya tinggal selama 3 minggu di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Di sana, saya mengalami sedikit situasi sekolah khusus ini, meski sebagian besar kegiatan saya di sana dulu dibuat di asrama mereka.

Tetapi, beberapa kali ikut ke sekolah. Teman-teman dari Italia bertanya seperti apakah sekolah khusus itu. Saya menjelaskan panjang lebar dan merumuskan kesimpulannya bahwa orang cacat di negeri kami belajar di sekolah khusus untuk orang cacat. Mereka kaget dan mengajukan sejumlah pertanyaan.

Lalu, saya tanya balik mereka, apakah ada yang salah? Bukankah mereka berbeda dengan siswa/i lainnya? Bukankah mereka akan kerepotan jika belajar dengan siswa/i lainnya yang rata-rata fisik dan mentalnya sama? Jadi, saya menjelaskan perbedaan itu. Dengan percaya diri, saya berpikir jawaban saya itu akan mematahkan argumen mereka. Kiranya tidak ada pertanyaan lagi dengan jawaban saya ini. Memang benar mereka tidak bertanya lagi tetapi menyimpan kuat gambaran mereka tentang pendidikan di Indonesia.

Pengajar kami menjadi wakil dari negara-negara di Eropa. Dia menjelaskan panjang lebar tentang sistem pendidikan di Italia. Banyak sekali perbedaannya dengan sistem di Indonesia. Perbedaan yang paling mencolok saat itu adalah dalam mendidik siswa/i yang cacat. Memang orang cacat adalah mereka yang dilabeli ‘berbeda’ dengan yang lainnya. Ini pun berlaku di mana-mana.

Yang menarik berikutnya justru cara memperlakukan atau menghormati perbedaan ini. Di Indonesia misalnya penghormatan ini dibuat dengan menyediakan sekolah khusus. Rupanya di Italia tidak. Perbedaan itu bagi orang Italia justru menjadi keberagaman yang memperkaya. Maka, di kelas pun ada macam-macam kelakuan para siswa/i.

Lebih lanjut, dosen itu menjelaskan bahwa semua siswa/i berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Anak cacat juga bisa belajar bersama anak-anak lainnya. Mereka berada dalam kelas yang sama. Menerima materi yang sama. Mengikuti semua kegiatan belajar mengajar yang sama. Jadi, tidak ada perbedaan dalam hal menerima pelajaran dari sekolah. 

Bukan berarti tidak ada perbedaan sama sekali. Jika kelakuan murid berbeda, cara mendampingi juga pasti berbeda. Di sinilah tantangannya memasukkan murid yang ‘cacat dan tidak cacat’ dalam kelas yang sama. Tetapi, uniknya Italia tidak memisahkan perbedaan ini. Yang dibuat Italia adalah menyediakan guru khusus untuk mendampingi anak-anak cacat ini. Jadi, dalam satu kelas terdapat lebih dari satu atau dua guru. Di sini rupanya tampak keunikannya. Bayangkan jika hanya ada satu guru di kelas. Betapa repotnya dia menjelaskan satu materi pada tipe murid yang beragam ini.

Italia rupanya sudah memikirkan ini jauh-jauh hari. Sekarang pun, sekolah Italia bukan saja menampung murid dengan kategori tertentu tetapi menampung semua murid dengan beragam tipenya. Sekolah bertanggung jawab penuh dalam mendidik mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun