Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu, Aku Ingin Sekolah

26 Januari 2016   05:49 Diperbarui: 26 Januari 2016   07:44 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi pengemis dan bayinya"][/caption]Di balik tembok sekolah, Renata mendengar suara teman sebayanya. Dia hanya mendengar tetapi tidak bisa melihat. Tembok tinggi yang mengelilingi sekolah itu menghalangi matanya. Dia terus mendengar suara teman sebayanya. Dia ingin sekali mendekat, apa daya dia sedang bersama ibunya mengemis di seberang jalan. 

“Ma,” katanya sembari melompat-lompat menahan dinginnya halaman rumah besar itu, “Aku ingin pergi ke dalam,” sambil menunjuk ke sekolah. 

Dia tahu betul jika itu adalah sekolah. Sebab, setiap hari, dia melihat teman sebayanya diantar oleh orang tuanya ke dalam. Turun dari mobil entah bersama bapak atau ibu, mereka masuk ke kelas. Renata tentu hanya melihat dari luar. Dia membayangkan jika di dalam ada kelas tempat belajar. Dia juga melihat teman sebayanya menenteng tas sekolah yang kadang-kadang penuh dengan buku. 

Renata pagi itu memang tersenyum. Senyumnya pertanda harapan akan masa depan. Keinginannya untuk sekolah makin besar. Sayang, orang tuanya tak mampu. Bagaimana mau membiayai sekolah jika untuk bayar sewa rumah saja harus mengemis. Uang hasil mengemis itu sebenarnya bukan saja untuk bayar sewa rumah. Ibunya punya hobi. Hobi itu membutuhkan uang. Itulah sebabnya ibunya berusaha keras mencari uang dengan cara mengemis. 

Pulang mengemis, ibunya menghembuskan asap rokoknya. Apalagi di musim dingin, ibunya suka merokok. Lumayan bisa menghangatkan tenggorokan dan bibirnya. Ini adalah salah satu bentuk kenikmatan yang ingin terus dirasakan ibunya. 

“Renata,” kata Ibunya sambil memandang Renata yang sedang melihat ke sekolah. 

“Kamu ke sana, minta uang di Kakek itu.” 

Renata ke sana menemui kakek yang sedang keluar dari gereja. 

Buon giorno,” sapa Renata sambil menyodorkan topi kosongnya. 

Topi itu bermakna ganda. Bisa bermakna permohonan dan bisa juga bermakna kekosongan. Maksudnya, dengan menyodorkannya, Renata sedang memohon agar diberi uang entah satu euro, itu sudah cukup. Di sisi lain, topi itu simbol kekosongan. Topi yang kosong itu mesti diisi. Isinya ya kebutuhan mereka. Kebutuhan yang mereka dapatkan dari meminta-minta.

Buon giorno bimba” sapa sang Kakek. 

“Apa yang bisa saya bantu?” 

Renata malu-malu memohon agar diberi uang. Dia hanya tersenyum lalu menoleh ke arah sang Ibu yang sedang menunggu di ujung halaman. 

“Bantulah kami, kami butuh uang untuk beli obat,” begitu jawab Renata sekenanya, menirukan jawaban yang sering Ibunya lontarkan kepada orang yang dijumpainya. 

“Hanya ini ya,” balas sang Kakek sambil menyerahkan uang logam senilai 2 euro. 

Renata membalasnya dengan mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke ibunya. Dia menyerahkan uang itu pada ibunya. 

Rita masih kecil. Umurnya baru 8 tahun. Meski kecil, Renata sudah merasakan betapa pahitnya mencari uang. Pagi-pagi sudah datang ke gereja, supermarket, atau tempat ramai lainnya untuk mengemis. Dia menahan dingin. Menggigil kadang-kadang menghantuinya. Tetapi apa boleh buat, Ibunya meminta dia untuk membantu mencari uang. 

Renata yang kecil ini seolah-olah dipaksa untuk merasakan pahitnya hidup padahal dia seharusnya menikmati kebahagiaan masa kecilnya. Itulah sebabnya sesekali, Renata mengelamun. Dalam lamunan, dia membayangkan teman-teman sebayanya yang seolah-olah selalu senang. Betapa tidak, setiap kali dia mendengar suara teman sebayanya, hatinya juga ikut bergembira. Teman-temannya di balik tembok bisa bermain, bernyanyi, atau juga melakukan aktivitas lainnya layaknya anak sekolah, sedangkan dia tidak bisa menikmatinya. 

Renata tidak mendapatkan semua ini. Renata harus merelakan kebahagiaan masa kecilnya direnggut oleh keinginan Ibunya yang terus menerus mengajaknya mengemis. Renata sebenarnya tidak bersalah. Ibunyalah yang bersalah. Renata berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Renata memang pernah sekolah. Sayang orang tuanya tidak sanggup meneruskannya karena kesulitan membiayai perlengkapan sekolah. Ibunya lalu mengajak Renata kembali untuk mengemis. 

Uang hasil mengemis itu sebenarnya bisa untuk membiayai kebutuhan Renata. Toh, sekolahnya gratis. Tinggal saja membayar uang makan dan jajan di sekolah yang biayanya hanya 25 euro per 4 bulan. Mustahil jika Ibunya tidak mendapatkan biaya sebesar itu dalam 4 bulan. Rupanya Renata memang belum beruntung. Ibunya seolah-olah sengaja membiarkan Renata tidak sekolah. Ibunya lalu menghabiskan sebagian uang hasil mengemis untuk membeli rokok. Rokok itulah tujuan utama dari kegiatan mengemis ini. Renata tentu saja tidak merokok. Ibunyalah yang merokok. 

Renata yang masih diliputi semangat menggebu-gebu itu masih ingin sekolah. Suatu pagi, dia mendengar lagi suara teman-temannya dari halaman seberang tembok. Dia tidak tahan untuk masuk. Ia ingin sekali bergabung dengan mereka. 

Dia menghampiri ibunya yang sedang menunggu pengunjung supermarket, “Bu, aku ingin sekolah.” 

Ibunya tidak menjawab. Dia terus mengepulkan asap rokoknya. Untuk mengelabuhi Renata yang sedang bersemangat masuk sekolah, dia mengajak Renata untuk masuk ke pendopo supermarket. Renata ikut. Di situ, mereka melanjutkan penungguan yang tidak tentu ini. Kadang ada yang memberi 1 atau 2 logam euro. Ada pula yang tidak memberi. Ada yang hanya menyapa saja. 

Renata meminta lagi,

“Ibu, aku ingin sekolah,” sambil memeluk erat ibunya. 

“Ta,” kata Ibunya sambil membalas pelukan anaknya, “kita kembali ke rumah sekarang.” 

“Kalau memang kamu mau sekolah, aku menelepon kakakmu untuk membayarkan uang muka agar kamu bisa masuk kelas lagi.” 

Renata tidak puas,

“Betul, Ibu mau telepon Kak Giovana?” tanyanya dengan mimik serius. 

“Ya betul,” balas ibunya sambil mengelus rambut Renata. 

“Tapi kita harus kembali ke rumah sekarang.” 

“Okelah Ibu, kita kembali sekarang.” 

Renata dan Ibunya pelan-pelan keluar dari halaman parkir supermarket itu menuju rumah mereka. Renata senang dengan permintaan ibunya. Dia pun membayangkan betapa lebih senang lagi jika ia bisa bergabung dengan teman sebayanya. Renata nantinya bukan lagi menjadi pendengar suara tetapi ikut berteriak horeeee bersama teman sebayanya.

 

*Buon giorno (Italia) = selamat pagi

*Bimba (Italia) = anak kecil (perempuan)

 

PRM, 26/1/2016

Gordi

FOTO di sini

**Inspirasi dari perjumpaan dan dialog dengan pengemis dan anaknya suatu sore. 

Pengemis Musim Dingin di Pintu Gereja

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun