“Apa yang bisa saya bantu?”
Renata malu-malu memohon agar diberi uang. Dia hanya tersenyum lalu menoleh ke arah sang Ibu yang sedang menunggu di ujung halaman.
“Bantulah kami, kami butuh uang untuk beli obat,” begitu jawab Renata sekenanya, menirukan jawaban yang sering Ibunya lontarkan kepada orang yang dijumpainya.
“Hanya ini ya,” balas sang Kakek sambil menyerahkan uang logam senilai 2 euro.
Renata membalasnya dengan mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke ibunya. Dia menyerahkan uang itu pada ibunya.
Rita masih kecil. Umurnya baru 8 tahun. Meski kecil, Renata sudah merasakan betapa pahitnya mencari uang. Pagi-pagi sudah datang ke gereja, supermarket, atau tempat ramai lainnya untuk mengemis. Dia menahan dingin. Menggigil kadang-kadang menghantuinya. Tetapi apa boleh buat, Ibunya meminta dia untuk membantu mencari uang.
Renata yang kecil ini seolah-olah dipaksa untuk merasakan pahitnya hidup padahal dia seharusnya menikmati kebahagiaan masa kecilnya. Itulah sebabnya sesekali, Renata mengelamun. Dalam lamunan, dia membayangkan teman-teman sebayanya yang seolah-olah selalu senang. Betapa tidak, setiap kali dia mendengar suara teman sebayanya, hatinya juga ikut bergembira. Teman-temannya di balik tembok bisa bermain, bernyanyi, atau juga melakukan aktivitas lainnya layaknya anak sekolah, sedangkan dia tidak bisa menikmatinya.
Renata tidak mendapatkan semua ini. Renata harus merelakan kebahagiaan masa kecilnya direnggut oleh keinginan Ibunya yang terus menerus mengajaknya mengemis. Renata sebenarnya tidak bersalah. Ibunyalah yang bersalah. Renata berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Renata memang pernah sekolah. Sayang orang tuanya tidak sanggup meneruskannya karena kesulitan membiayai perlengkapan sekolah. Ibunya lalu mengajak Renata kembali untuk mengemis.
Uang hasil mengemis itu sebenarnya bisa untuk membiayai kebutuhan Renata. Toh, sekolahnya gratis. Tinggal saja membayar uang makan dan jajan di sekolah yang biayanya hanya 25 euro per 4 bulan. Mustahil jika Ibunya tidak mendapatkan biaya sebesar itu dalam 4 bulan. Rupanya Renata memang belum beruntung. Ibunya seolah-olah sengaja membiarkan Renata tidak sekolah. Ibunya lalu menghabiskan sebagian uang hasil mengemis untuk membeli rokok. Rokok itulah tujuan utama dari kegiatan mengemis ini. Renata tentu saja tidak merokok. Ibunyalah yang merokok.
Renata yang masih diliputi semangat menggebu-gebu itu masih ingin sekolah. Suatu pagi, dia mendengar lagi suara teman-temannya dari halaman seberang tembok. Dia tidak tahan untuk masuk. Ia ingin sekali bergabung dengan mereka.
Dia menghampiri ibunya yang sedang menunggu pengunjung supermarket, “Bu, aku ingin sekolah.”