[caption caption="ilustrasi pengemis"][/caption]Aku harus berterima kasih kepada pengemis itu. Betapa ia memberiku pelajaran berharga dalam hidup ini. Tak ada guru yang baik seperti dia yang mengajariku untuk berbagi. Betapa dia memberiku pelajaran sederhana ini. Saking sederhananya, banyak orang meremehkan pelajaran berharga ini. Dan karena meremehkannya, banyak pula yang melupakannya. Padahal, hidup ini adalah berbagi. Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa berbagi atau dari berbagai dengan sesamanya.
Ilario keluar dari gereja setelah misa sore ini. Dia melihat seorang pengemis duduk di lantai sambil mengulurkan tangannya. “Dia, pengemis yang kumal itu lagi,” sahutnya dalam suara yang kecil.
“Berkali-kali aku melihatnya di mana-mana di kota ini. Dan aku bosan. Aku tambah bosan ketika melihatnya lagi sore ini di samping pintu gereja,” sambungnya sambil melihat pengemis itu.
Pengemis yang bernama Marcello itu duduk tanpa alas secarik karton pun. Ilario melihatnya sambil lalu begitu saja. Demikian juga orang lain yang keluar bersamanya dari gereja. Mereka, seperti Ilario, tidak menghiraukan uluran tangan pengemis itu.
Entahlah pengemis itu memang tidak baik di mata Ilario.
“Dia kok hanya meminta saja. Enak saja. Yang lain bekerja dan dia meminta. Lagi pula dia duduk manis begitu saja. Lalu, mau-maunya minta uang gitu,” seru Ilario sambil menjauh dari pengemis itu.
“Dia mungkin tahu, kalau orang keluar dari gereja, mereka akan baik-baik saja. Maksudnya, mereka akan berbagi. Seperti Tuhan mereka ajarkan untuk berbagi. Jadi, langsung dipraktik begitu setelah mendengar khotbah pastor di gereja. Tetapi, benarkah demikian?” gerutu Ilario.
“Belum tentu,” jawabnya lagi. “Orang juga akan berpikir-pikir. Sebab memberi adalah mengurangi jatah. Apalagi kulihat dia duduk dalam keadaan kumal seperti itu. Kok tidak mandi yah? Atau dia mau menunjukkan kekumalan itu supaya dikasihani begitu? Ah tidak juga. Dia memang jarang mandi. Aku sering melihatnya di kota. Dengan sepedanya dia mengelilingi kota ini. Dia mengulurkan tangannya di mana-mana. Kali ini, aku memang cuek saja dan tidak mau memberinya uang. Aku tahu dia butuh uang. Tapi, aku juga tak mau tuk beri dia uang,” Ilario tak bosan-bosannya menggerutu.
Ilario melangkah menuju sepedanya. Setelah membuka kunci sepeda, dia pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, dia tidak mau memikirkan pengemis itu. Dia berpikir untuk mengerjakan tugas sekolahnya.
“Besok, pelajaran pertama adalah matematika. Pelajaran yang aku benci. Meski menarik bermain dengan angka, pelajaran ini sulit. Dan, untuk otakku yang segini saja, aku tak mampu mempelajarinya dengan baik. Tetapi aku ingin agar aku bisa. Aku ingin agar pelajaran itu nanti berguna bagi masa depanku. Ayahku bilang jika pelajaran matematika itu penting,” ujarannya kembali sambal mengayuh sepeda.
Pelajaran matematika memang sulit. “Tetapi, dengan kesulitan itulah kita belajar dan berlatih untuk kuat menghadapi tantangan,” cetusnya lagi.
Dia merenungkan kata tantangan itu. Sambil memikirkan kata itu, dia melihat lampu merah menyala. Pertanda bahwa dia harus berhenti. Dia harus membiarkan mobil dari arah lain untuk lewat. Dia memarkir sepeda di pinggir jalan. Sambil menunggu lampu hijau, Ilario merasa dingin sekali. Ada udara dingin yang masuk di lengan-lengan bajunya. Dia memang membawa dua jaket tebal sore ini.
“Tapi kok masih masuk udara yah?” serunya heran.
Jari tangannya sudah ditutup sarung, leher dililit syal tebal, kepala bertopi, tapi masih dingin. Udara yang masuk melalui lengannya itu memang dingin.
Karena dingin ini, Ilario kembali mengingat pengemis itu. Dia pikir, dengan dua jaket saja, dia masih merasa dingin, bagaimana dengan pengemis itu? Pengemis itu hanya mengenakan satu jaket. Itu pun bukan jaket untuk musim dingin. Pengemis itu tak bersarung tangan, tak bersyal, tak bertopi. Selain itu, dia duduk di lantai tanpa alas sambil mengulurkan tangannya meminta uang receh.
“Apakah dia dingin juga?” tanya Ilario pada dirinya sendiri.
Ilario yakin pengemis itu kedinginan. Tidak seperti dirinya yang meski bersarung, bertopi, berjaket tebal berlapis dua, tetapi masih dingin. Ilario memang merasa dingin. Bahkan dingin sekali. Ilario juga yakin sekali, pengemis itu lebih dingin dari dirinya. Udara dingin ini sudah menembus dua jaket tebalnya dan menusuk langsung di dadanya. Dari dada ke tulang belakang. Udara dingin ini membuatnya mengigil.
“Kok bisa ya, udara dingin itu bisa masuk?” gerutunya lagi sambil membetulkan jaketnya.
“Mungkin memang hatiku dingin sekali,” lanjutnya. “Kalau kulit beralaskan dua jaket tebal saja kemasukan udara dingin, apalagi hatiku yang hanya beralaskan kulit tipis di badanku. Hatiku dingin. Dingin sekali sampai aku tak bisa mengayuh sepedaku lebih cepat lagi. Padahal kalau aku mengayuh cepat, tubuhku akan hangat sebentar karena energi yang keluar dari tubuhku.”
Jadi, sebenarnya ketika dia mengeluarkan energi, tubuhnya akan hangat kembali. Betapa tubuhnya ini memberinya pelajaran berharga. Tidak benar jika orang mengatakan betapa sia-sianya mengeluarkan energi. Energi itu tidak sia-sia sebab dia akan menerima kembali apa yang dia butuhkan. Ilario memang butuh kehangatan. Dan setelah Ilario mengayuh sepeda lebih kencang sampai mengeluarkan banyak energy dia mendapatkan kehangatan itu.
Beda dengan Ilario, tubuh si Marcello itu pasti dingin sekali. Marcello butuh gerak seperti Ilario. Marcello butuh sepeda agar dia bisa mengayuhnya seperti yang Ilario lakukan. Tapi, bagaimana Marcello bisa lakukan itu jika dia belum punya uang untuk beranjak dari tempat duduknya?
Ilario akhirnya iba dengan Marcello. Tetapi sebetulnya Ilario bukan saja iba. Ilario harus berterima kasih kepada Marcello, sang pengemis musim dingin itu. Ilario iba karena dia melihat Marcello. Perasaan itu tidak muncul begitu saja. Kalau Marcello itu tidak ada, mana mungkin Ilario bisa iba seperti ini. Mana mungkin Ilario memikirkan betapa dinginnya seorang pengemis di musim dingin seperti ini?
Pengemis itu memberi Ilario sebuah pelajaran berharga. Dialah yang menggugah hati Ilario untuk berbagi. Ilario memang tidak memberinya uang sore ini. Tetapi karena aksinya yang pada awalnya membuat Ilario cuek itu, Ilario berubah. Ilario yang saat itu cuek kini jadi Ilario yang peduli.
Peduli bahwa dingin itu membawa penderitaan. Duduk dalam keadaan dingin tanpa jaket tebal itu menderita. Dan dingin seperti ini mengundang Ilario untuk berbagi. Berbagi mungkin bukan dengan uang. Nyatanya memang Ilario tidak memberinya uang tadi. Ilario menyesal tetapi apa boleh buat. Penyesalan selalu datang kemudian.
Tetapi, Ilario tetap berterima kasih pada Marcello. Marcellolah yang mengajari Ilario untuk berbagi. Kali ke depannya Ilario ingin berbagi dengan pengemis seperti Marcello. Ilario berpikir, dia harus menyelamatkan pengemis dari kedinginan. Yang dingin harus dihangatkan.
“Lain kali kalau aku lihat pengemis, aku akan mengundanganya di rumahku. Biar dia rasakan juga betapa hangatnya rumaku dengan pemanas dalam kamar. Betapa dingin itu menderita dan aku menderita karena aku tidak mau merasakan dingin itu. Padahal pengemis itu merasakan penderitaan dari dingin itu,” niat Ilario dalam sesal.
Maafkan Ilario ya Marcello.
PRM, 14/1/2016
Gordi
FOTO: di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H