Mohon tunggu...
Gopas Siagian
Gopas Siagian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

“Without deviation from the norm, progress is not possible.” \r\n― Frank Zappa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Prahara Spionase Australia

25 November 2013   08:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:43 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13895292661742736125

Sejak terungkapnya dokumen yang berisi informasi mengenai intelijen Australia memata-matai Presiden SBY dan beberapa petinggi negara lainnya, hubungan bilateral kedua negara bertetangga ini memanas. Presiden SBY menginstruksikan Menlu Marty Natalegawa -menteri paling dandy di jajaran kabinet- untuk menarik Duta Besar RI untuk Australia dari Canberra.

Berita tentang kelanjutan sengkarut diplomatik ini pun dimuat di berbagai media massa terkemuka di dunia karena kasus ini berpangkal pada dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, orang yang juga membocorkan dokumen berisi informasi Kanselir Jerman Angela Merkel yang dimata-matai NSA. Di dalam negeri sendiri isu ini bahkan mengundang demonstrasi dengan acara bakar-bakar bendera di depan gedung Kedubes Australia oleh sampah masyarakat FPI. Namun ironisnya, para so-called jihadists ini mengalami kram otak dan yang mereka bakar justru bendera Amerika.

Espionage, menurut Oxford Dictionary, adalah kegiatan memata-matai, baik dengan menggunakan mata-mata maupun tidak, yang secara khusus dilakukan oleh sebuah pemerintah untuk memperoleh informasi militer dan informasi yang bersifat politis.

Sejak jaman sebelum Perang Dunia I spionase sudah jamak dilakukan banyak negara untuk mengumpulkan informasi-informasi rahasia, terutama yang berkaitan dengan kekuatan militer negara musuh. Terlebih lagi di masa sekarang di mana informasi intelijen dibutuhkan mengingat kebutuhan akan informasi diplomatik yang semakin besar dan berkembangnya IT yang notabene bisa menjadi alat bantu melakukan spionase, maupun sebaliknya bisa menjadi alat mempermulus jalan untuk menjadi korban spionase, contohnya disadap. Jerman pada era PD I dengan menggunakan seorang penari eksotis berkebangsaan Belanda bernama Mata Hari pernah memata-matai beberapa negara musuh di seantero Eropa, yang berujung pada dieksekusinya Mata Hari oleh pasukan penembak Perancis. Lalu pada masa PD II, seseorang berkebangsaan Jerman bernama Hans Ferdinand Mayer mengirimkan sebuah dokumen berjudul “Oslo Report” kepada Inggris yang berisi bocoran informasi tentang teknologi yang dipunyai Jerman dengan tujuan menjatuhkan rezim Nazi.

Di samping menyadap telepon Merkel, NSA juga menyadap jaringan ­­telekomunikasi jutaan telepon di Perancis. Tak pelak Gedung Putih bereaksi cepat melalui juru bicara National Security Council dan berpendapat bahwa semua negara di dunia ini juga melakukan operasi mata-mata. Namun sampai artikel ini ditulis, belum ada permintaan maaf dari Amerika kepada Francois Hollande seperti yang dilakukan Obama terhadap Merkel.

Para pengikut isu ini di Indonesia dan Australia bisa menyusun sendiri sudut pandangnya perihal kasus ini (bisa berdasar simpati dan empati, bisa berdasar prefensi ideologis, patriotis, atau apa saja). Namun yang pasti, mantan kepala BIN, Hendropriyono, angkat bicara dan mengatakan bahwa cara terbaik untuk mencegah masalah spionase antara Indonesia dan Australia berlarut-larut adalah dengan permintaan maaf dari Tony Abbott. Karena pada dasarnya setiap kedutaan besar di dunia memiliki staf yang melakukan misi intelijen, dengan mengumpulkan informasi dengan segala cara, termasuk cara-cara “gelap”. Hendropiyono juga mengaku bahwa di masa jabatannya BIN pernah melakukan penyadapan terhadap orang-orang penting Australia, namun tidak ketahuan. Boleh jadi pernyataan epik dan auratik Henropriyono itu terlalu dibesar-besarkan semata hanya untuk memperlunak situasi yang sedang dihadapi kedua negara yang berbagi laut ini, karena memang jika dipikir secara logis, tidak ada sebiji pun indikator yang mendukung teori bahwa orang Indonesia lebih jago IT dibanding orang Australia. Boleh jadi keengganan Abbot meminta maaf adalah wujud representatif ke-mutung-an Australia soal manusia perahu yang selalu menjadi pokok permasalahan hubungan Indonesia-Australia beberapa tahun belakangan.

Sebagai penduduk salah satu negara berkonflik dan pengikut isu ini saya berpikir bahwa memang tidak ada salahnya Abbot meminta maaf seperti yang dilakukan Obama perihal NSA memata-matai Merkel. Obama meminta maaf dan berjanji bahwa hal yang sama tidak akan terulang lagi, dan tensi pun menurun.

Sebuah permintaan maaf dari Abbot, kendatipun spionase tersebut dilakukan pada masa pemerintahan Rudd, akan menghasilkan win-win solution mengingat hubungan kedua negara yang secara historis dan geografis sudah erat sejak dulu.

Sebuah permintaan maaf dari Abbot juga akan menunjukkan sense of diplomacy-nya untuk memoles penanda dua bulan kepemimpinannya di negara Kanguru itu.

Sebuah permintaan maaf dari Abbot pun akan melanjutkan pengucuran milyaran rupiah dana AusAid kepada Indonesia setiap tahunnya, melanjutkan ekspor sapi mereka ke Indonesia, dan memakmurkan ribuan peternak sapi di New South Wales.

Media lokal tak perlu memperpanas situasi sehingga melahirkan ambivalensi yang memungkinkan munculnya demonstrasi terus-menerus. Yang dibutuhkan kedua belah pihak adalah permintaan maaf dari Australia, tak masalah jika permintaan maaf itu hanya semacam manner dan sifatnya retorikal karena toh pada akhirnya semua negara tetap melakukan spionase. Karena diakui atau tidak spionase adalah tindakan yang  sangat inheren dengan hubungan antar-negara.

Jika yang diungkapkan oleh mantan Kepala BIN dan Pemerintah Amerika yakni bahwa semua negara pasti melakukan aktivitas memata-matai adalah benar, bahkan bila perlu menggunakan cara-cara terlarang, saya yakin dan percaya ketika ada negara yang melakukan spionase dan ketahuan, cukup melontarkan permintaan maaf yang bersifat protokol dan menjamin bahwa hal yang sama tidak akan terjadi lagi, dan secara diam-diam memperbaiki sistem spionase mereka.

P. S. Tulisan ini saya publikasi juga di semenjana.blog.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun