Lalat-lalat terbang keluar dari sebuah gedung kesenian
Mengudara, matanya yang merah menatap kesegala penjuru
Dua pengamen kanak-kanak memainkan gitar sentrong,
Jelas mata kita !,
Memandang buaian jalan dengan tekateki dan misteri
Jalanan tempat berkeluhkesah yang nyata,
Dan mereka terlempar diketiak kota
Lalat-lalat keluar dari kesombongan gedung dewan kesenian
Yang disampingnya banyak kanak-kanak telanjang dada,
Banyak kanan-kanak merayap dalam gulita
Yang terputus dalam cakrawala pendidikan,
Apakah kita cuma diam saja ?
Lalat-lalat yang terbang memburu dedaunan
Sayapnya yang ia bentangkan menutupi pamflet ditrotoar,
Kanak-kanak yang terlempar, jemarinya mengusap kaca
Pandangan mereka mencari keseluruh penjuru
Dan tangan mungil mereka meraih pisau mengarah kedadanya
Atau ke dada kita,
Dari balik jendela wajah-wajah mungilnya menjilati kehidupan
Lalu sampai kapan mereka kita abaikan ?
Gedung dewan kesenian yang gagah di persimpangan jalan,
Disampingnya gedung-gedung dinas pendidikan mencakar langit
Simbol kesombongan,
Dan gerombolan lalat memburu sajian dimeja
Mata lalat-lalat yang serakah telah lupa kebudayaan
Sayap-sayap yang ia bentangkan menebar gejala materialism,
dan kaki-kaki pendeknya menjangkau kerajaan
Banyak kanak-kanak bertelanjang kaki
Memainkan gitar,
Memainkan drama dan tarian kehidupan
Pada pinggiran trotoar raya,
Lalu lalat-lalat yang angkuh memalingkan mata bundarnya
Dan menutup kaca mobil yang tertembus debu pembangunan
Surabaya, 26 November 2017
Rasull abidin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H