Dia bukan manusia seperti tampaknya, juga bukan makhluk lain sejenis manusia. Mulutnya panjang monyong suka berkomentar urusan orang lain. Menurut literatur jenis manusia. Dia, juga bukan jenis manusia kebanyakan. Lantas dia jenis makhluk apa dong. Entah. Jawaban tertepat. Karena dia tidak termasuk golongan makhluk sebagaimana mestinya dimanapun. Hah!
Ini zaman sudah sekian juta tahun melewati zaman kepurbaan. Bagaimana mungkin sulit menentukan jenis makhluk apakah sosok itu. Golongan antropolog pun tak bisa mendeteksi dia jenis makhluk apa sebab DNA-nya simpang siur di seluruh literatur digital, dia jenis makluk tak satupun menyerupai makhluk sebenarnya. Loh! Kok bisa.
Kenyinyiran mulutnya melebihi suara terompet zaman modern. Wah, kok aneh begitu ya. Nah itulah jenis makhluk terkini. Tertampak seperti tak lazim itu. Yakin dia bukan jenis manusia apapun, sekalipun dari golongan manapun. Sungguh benar terjadi deh. Liat saja bentuknya tak proporsional sebagaimana makhluk manusia pada umumnya. Tapi mungkin saja dia makhkuk khusus, berbeda pesanan dari zamannya.
"Ngawur kamu."
"Loh bisa saja toh."
Sangat mengherankan loh dia itu. Bayangkan dia seolah-olah cerdas meramal, seakan-akan serba tahu isi kepala makhluk lain, seperti mampu membaca batiniah makhluk lain. Seakan-akan dia sedang akan belajar menjadi bos dari mesin-mesin robotik seolah-olah dia itu evil from hell. Oh! Apa iya begitu. Anggap saja begitu kalau menilik kenyinyirannya mengurusi urusan orang lain. Seolah-olah dia itu makhluk suci entah dari semesta mana. Aneh kan.
Sementara waktu belum tamat mengajarinya pelajaran menulis cara cara hipokrit plus perilaku oportunis termasuk juga mengeja nama, siapa, dirinya sesungguhnya. Uwah! Menakjubkan dong makhluk itu. Apa mungkin dia dari planet lain misalnya. Ini masih dalam penyelidikan tunggal. Loh! Maksudmu tidak pararel. Nah hampir serupa namun berbeda tapi agak mirip kalau melihat asal muasal turunannya.
"Ceritamu ini sungguh terjadi kah."
"Bisa dibilang begitu tergantung kebutuhannya."
Ketika itu melintas suara-suara hipokrit lantas tervisual menjadi teks antikritik sebab pengikut antikritik serupa para makhluk berkelamin ganda. Bermulut lebar berlidah panjang tapi tak sama, sekalipun tak bertaring, namun kalau bersuara cukup menyebalkan. Suara mereka tergantung cuaca, misalnya, kalau mendung suaranya bercuitan serupa tapi tak sama seperti burung emprit.
Bercuitan cuit cuit cuit. Terkadang seperti suara makhluk raksasa cengeng lebay merecoki urusan tetangga sebelah dengan suara khasnya menyebalkan seolah-olah tak tahu menahu kalau suaranya berikut perbuatannya telah sangat merunyamkan tetangga sebelahnya lagi, misalnya. Mendadak membunyikan klakson nyaring banget tak peduli siang bolong padahal itupun bukan kendaraan miliknya, dia hanya numpang akting seolah-olah berperan sebagai manusia penuh kebenaran.
"Atau jangan-jangan dia tak punya nyali."
"Nah itu. Tampaknya mirip seperti itu."
Pembuktian secara forensik, belum bisa dibilang memenuhi syarat untuk penyelidikan lebih lanjut agar segera ditingkatkan ke skala penyidikan. Dari waktu ke waktu, makhluk aneh itu hanya akting saja dengan cara cara teraneh termasuk kini konon telah menjadi keyakinannya sebagaimana keanehannya.
Berita metropolis tentu saja secepat angin menuai badai. Namun tak pula membuat panik seisi kota, cuek saja, acuh saja, tak saling mengganggu mencapuri urusan orang lain ataupun berlaku hura ha ha isme, sebagaimana pengertian, kata, nyinyir di kamus bahasa umum berlaku di sebuah negeri metropolis itu.
Tampaknya si makhluk mirip manusia lelaki, namun tak serupa banget, gemar sekali berbusana gemerlapan menyilaukan. Sebagai simbolisasi dari kenyinyirannya, sebagaimana kebiasaannya hobi berkomentar urusan orang lain siapapun di manapun. Sekalipun tak terjangkau pandang matanya. Loh! Benar begitu atau hal tersebut sekadar sensasi agar dia disebut sebagai makhluk sensasional terkini terdepan terkontemporer, atau apapun sebagaimana cita citanya.
"Ini unik. Bahkan bisa disebut luar biasa."
"Karena busananya itu."
Widih! Piawai sekali dia sebagai makhluk aneh. Sungguh benar terlihat seolah-olah dia paling benar, paling suci, paling paham, ingin tahu urusan orang lain, gemar memberi contoh seolah-olah dialah makhluk sempurna di eranya, hiks. Ini loh bahaya laten oportunisme hipokrit sesungguhnya tampak manis di luar tapi jeroannya vampire from the hell. Seolah-olah dia paling paham meski sesungguh paling pandir di kelasnya ketika masa muda pancaroba kala itu. Walah!
Namun rahasia hidup makhluk kebanyakan semirip dia tak satupun tahu. Darimana asal usulnya tak semuanya jelas, nge-blur, laiknya bayang-bayang fatamorgana siang bolong di jalanan aspal panas. Seolah-olah ngawang gemawang padahal cuma pantulan dari cahaya terik matahari, uapnya menyilau seolah-olah berkilau-kilau menyilaukan mata. Serupa kepalsuan suara-suara nyinyir perilaku aneh sebagaimana siluman turunan dari makhluk aneh itu pula.
"Maksudmu?"
"Terkadang oportunis."
Ketergantungan macam itu telah menjadi musim tertentu, sesuai momen tertentu pula. Nah, tergantung topik penentu dari bakal bangunan peristiwa sesuai pesanan. Barangkali loh sebab kicau kekacauan di manapun datangnya selalu tiba-tiba berkarakter sama, sporadis menyebar berhalu-halu huru hara seolah-olah, benar begitu kejadiannya. Meski sesungguhnya bak ombak buatan di kolam renang.
Melebar jebakan sarang laba-laba, rusuh melebar meluas seolah-olah laba-laba sesungguhnya menyebarkan jejaring sarangnya seakan-akan, lantas lalat-lalat, serangga lemah lainnya terperangkap jebakan itu. Gelegar peristiwa membahana sebagaimana sesuai pesanan; rasa rendang pedas atau rasa bumbu kari ayam.
Ramailah pasar tontonan di media, kekacauan meluas entah akhirnya siapa meluaskannya, lahirlah peristiwa laiknya perang dunia ketiga diambang ledakan lanjutan. Panikisme menciptakan ketakutan, kambing hitam merajalela. Tanpa diketahui tokoh di balik peristiwa. Lantas biasanya muncul pahlawan kesiangan seolah-olah sebagai penyelamat keruntuhan bukit akibat ledakan dahsyat sebuah gunung. "Glar!" News by news membahana awal baru musikalisasi do re mi.
"Tergantung proyek datang menghampirinya."
"Kalau jurusan hipokrit ya perilakunya serupa sejumlah nilai proyek menghampirinya atau pula tergantung toping dari topik pesanan."
Menyela cepat. "Terkadang hipokrit."
"Terkadang absurd."
"Nah itu. Sebab musababnya dia sangat hobi makan opor daging."
"Hah! Daging apa."
Berbisik di telinga sobatnya itu "Nah itu."
"Apa saja asalkan perutnya kenyang."
"Tergantung situasinya."
"Widih! Ada ya makhluk macam itu."
"Bisa rekayasa. Tergantung titik titik. Pahamkan?"
"Oh begitu." Keduanya lantas bersalaman.
***
Jakarta Indonesia Kompasiana. Januari 18, 2025.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H