Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mati Sunyi (2) Episode Hilang Ruh

12 Agustus 2024   07:17 Diperbarui: 12 Agustus 2024   07:39 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Doc Kompas.com

Mati Sunyi (2) Episode Hilang Ruh.

Jembatan siang bolong. Motor berkecepatan tinggi.

"Tidak mungkin." Tegas. Teguh. Ngotot. Melotot.

"Kau merasakan apa!" Kesal.

"Aku. Tidak merasakan apapun. Selain biasabiasa saja. Sesuai prosedur hidup. Menghirup oksigen lalu melepaskannya." Santai, menyebalkan.

"Alamak! Rasakan tubuhmu. Pandir! Ringan atau berat." Menekankan.

"Ini tubuhku. Bukan tubuhmu." Semakin terdengar santai.

"Kecepatan motor 300 kilometer!"

"Matamu tak fokus, diterpa angin kencang dari arah berlawanan, dalam kecepatan seperti itu. Gunakan nalarmu."

"Bam!" Kesal. "Kita terhempas!" Menarik lehar baju mendekatkan wajah.

"Kau bisa liat aku?" Pelahan tegas.

"Bisa. Apapula masalahnya."

"Masalahnya otakmu ditelan kelapapuan! Kawan." Berbalik membelakangi meninju angin.

"Hahaha."

"Kau berpikir kita sudah mati. Belum. Tapi sedang menuju neraka."

Terkesiap bulu romanya "Itu artinya kita wafat. Tuan sontoloyo."

"Itu artinya apa?"

"Lebih dari t.o.l.l.o.l hihihi."

"Super tol.lol. Oh tak apa. Keren."

"Jadi we are, nih. Mayat hidup sekarang."

"Belum. Jasadmu belum diotopsi. Paramedis dalam perjalanan."

"Wah, waktu berangkat aku belum mandi, Bray."

"Hahaha, kita sudah mati. Kau liat deh, ke atas."

"Jembatan jebol. Itu artinya sekarang nyemplung di sungai, gitu."

"Bukan. Justru ini di laut."

"Haaa! Hiu! Hiu!" Histeris hebat.

"Hei!" Menempeleng angin. "Uwow! Lupa!"

"Huaaaa!" Makin panik.

Teriak sekencangkencangnya "Kita di atas laut! Woii!"

"Hiaaaahaaa!" Semakin menjadi

Lebih histeris "Hiu! Takut denganmu! Karena kita sudah jadi setan sontoloyo!"

Suara keduanya semakin menjauh. Meski mereka saling berpandangan sembari melambaikan tangan. Muncul tulisan di antara mereka. "Bye! Jangan lupa cicilan motor."

**

Sebuah Taman di Ibukota Negara Salju. Siang.

Dia, menunggu kekasih hati seumur hidup, itu janji cinta mereka. Tabu tak tepat janji. "Waktu menjelang tengah hari. Cuaca agak sejuk." Memandang langit. Panorama pepohonan. "Perubahan musim segera berganti." Tak juga muncul kekasih hatinya.

Legiun tentara gladiator abad-8SM, berseragam warna imperium, dalam barisan panjang. Suara genderang perang, bersahutan terompet sangkala calon mati. Melintas, di hadapan dia, amat panjang tak tampak lagi akhir menuju awal barisan itu.

Menyusul barisan tentara berseragam, lebih modern sembilan abad ke masa selanjutnya. kendaraan berikut alat perang modern klasik, serupa steampunk. Melintas dalam 'Mars perang harus menang. Mati urusan dunia."

Menyusul barisan kadet, remaja dewasa, penonton berdesakan sepanjang jalan menuju kota kemenangan awal abad-19M. Para muda ber-histeris memberi bunga "I love you Dear", peluk sejenak kiss kirikanan. Soraksorai membahana, di antara tangisan kesedihan, bagi mereka kehilangan, kerinduan, cintanya campur aduk.

Dia, setia menunggu di kursi taman berukir klasik. Sejak satu tahun lalu. Setia menunggu, menepati janji cinta itu.

**

Jalan bebas hambatan malam hari.

Wahai kembang jepun. Apakah musim masih sunyi.
Oh, begitu ya. Ini sajak untuk tuan putri ...

Selalu mengulang syairnya di manapun dia berada.

"Hei!"

"Halo!"

"Kabar baik?"

"Selalu. Seperti hari berjalan lamban."

"O ... Ya. Aku tak merasa seperti itu."

"Apakah kita pernah jumpa."

"Kau lupa padaku."

"Antara ya menuju tidak, kadangkadang."

"Apa ingatanmu terganggu."

"Oh tidak. Aku sehat."

"Kau masih memakainya."

"Seragam ini. Oh, ini bagian dari kostum pergantian adegan."

"Kau tidak sedang dalam adegan pentas."

"Ini sedang jeda. Menunggu entrance, ending dari musik seperti kau dengar."

"Aku tak mendengar apapun. Selalu melihatmu di sini, bersyair seperti itu. Sejak lama aku memperhatikan, lantas berakhir dengan dialog seperti ini."

**

Sebuah tempat. Gedung pertunjukan. Malam.

"Petruska! Petruska!"

"Nikituska! Nikituska!"

Suara itu bersahutan di antara pertunjukan orkes simfoni sedang berjalan. Penonton terdiam sejenak, seperti mengenal suara itu.

Salah seorang penonton berdiri. "Perhatian. Perhatian! Mohon di dengar ini penting. Pertunjukan mohon dihentikan sejenak. Apakah saudara sekalian mendengar suarasuara sekarang sedang berlangsung, barusan, di antara bunyi orkestra." Tak ada jawaban, hanya gumam. Di sela gema suara bersahutan saling memanggil di auditorium penonton pertunjukan itu.  

"Petruska! Petruska!"

"Nikituska! Nikituska!"

"Nah itu, adalah suara dari aktor sangat populer. Apakah anda tak mengenali suara mereka?" Penonton hanya bergumam.

Suara bergumam, dari lambat sampai menjadi cepat, jelas. Kumparan suara semakin memadati ruangan auditorium penonton. "Jelegur!" Terjadi ledakan. Lantas sunyi.

***

Jakarta Kompasiana, Agustus 12, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun