Ketegasan keadilan. Diperlukan, ketika publik terancam kejahatan miring kiri atau kanan, mundur penyok maju tabrakan. Pilihan ada di sang waktu. Persimpangan, dugaan tumpang tindih. Praduga, berjalan ataupun berlari, sekalipun ngumpet di gorong-gorong kota, penegakkan hukum wajib berjalan tanpa hambatan. Basa-basi, kalkulasi tepat guna untung rugi. Matematika, realitas eksak, rasional.
"Maling motor! Maling!"
"Rampok! Rampok!'
Memburu, diburu. Siapapun pelakunya. Pantas atau tidak pantas, pelanggaran patut di silang merah, dengan garis tebal. Ketentuan hukum berkewajiban mengetok palu tiga kali. Bersalah ataupun tidak bersalah. Benar di kali dua di tambah satu, jamak menjadi nilai tambah atau nilai sampingan, dalam gelap di antara kepastian waktu. Jual beli, hukum dagang berlaku umum. Rumusan sederhana, setelah musim barter.
"Kamu selingkuh!"
"Enggak! Sumpah mati! Oh, tidak."
Sana-sini. Gono-gini. Ya sudah deh. Nasib membawa maunya seperti pilihan telah dilakukan. Salah-benar 'kan membawa nasibnya sendiri. Apa iya begitu. Salah siapa? Salah dia atau aku. Lantas konflik menjadi acuan wacana berbagai rupa sebab akibat. Ini salahku. Itu salahmu. Kamu di mana? Aku di sini. Kamu kemana? Aku di sana. Kalau gitu talak saja. Bagai ringan tanpa sebab meski akibat melotot di depan mata.
**
Jembatan Metropolis. Waktu Tunggu. Malam.
"Kalau waktu terbagi, dua belas jam siang-dua belas jam malam, mungkin itu artinya menjadi dua puluh empat jam sehari, lantas mana waktu maju, mana waktu mundur-waktu siang ataukah waktu malam. Begitukan maksudmu? Pusing amat kau. Teoritis acuan buku. Bebaskan otakmu. Jangan beku di teori formal, kepalamu jadi kulkas. Beku seperti es batu."
"Bork, kejadian enam puluh tujuh tahun lalu, membawa kita pada situasi ini. Ketetapan nilai kuantum, final, tak berbagi. Kita akan terus begini, tanpa waktu."
Â
"Masih mungkin, Berk. Kalau kau mau mengacu pada hal pasti tak terbantahkan, tak seumpama apapun," menghela napas bebas.