Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Purwakala Cinta

30 Juli 2024   10:50 Diperbarui: 30 Juli 2024   10:52 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senjakala waktu tempuh.

"Sangkala waktu di antara musim berlari. Kemarau mengikis tetumbuhan. Adat meniupkan cinta, Ranying Mahatalla Langit. Susastra kidung terpana abang padang rembulan ... Wiwaha renjana selepas sukma ... "

"Kulitmu kehijauan di bawah rimbun pepohonan hutan oleh pancaran terang mentari, bekerlip intan", kalimat itu kenangan pujian estetis, terakhir dari, Seta Pawaka, sejak itu, dia, tak lagi pernah muncul bersama halilintar.

Ratna Wilis, tak berhenti mencari jawab, inikah cinta, lampau, berlalu sudah masa ketika itu. "Cinta bergelimang kasih sayang", tak lama suara lembut, berlompatan dua bocah kembar, remaja secantik ibunya, serupa banget ketiganya.

"Apakah ibu melihat ayah?" Nirmana, girang.

"Kami melihat sekelebat halilintar ibu. Apakah dia, ayah?" Nirmala, pun sama girangnya.

Si kembar, menyusul lompatan ibunya, terbang di atas Alas Purwa Semadi, tak jauh dari perbukitan pegunungan purba Dieng, keduanya nyantol di kanankiri kaki ibunya, kadang kala pula keduanya terbang bersisian, sembari ceriwis bertanya banyak hal.

**

Senandika di antara waktu tempuh.

"Sungkem larung sasmita buana suryakencana sepagi embun melangit lembut. Pesyair mahabiru menyulam selangit aksara netra sangdewi bagai ia interlud menggelombang."

Waktu menggelinding tak seberapa cepat. Biasa saja. Normal saja, tak ada dramatisasi kata dibuat indah seakanakan susastra lontar dari langit, tak menulis peristiwa, sekadar imaji ngawang di awan, bukan realitas, cinta terpeleset bertemu mata saling memandang, kepurapuraan pengadeganan klise.isme.

"Kesetiaan ibu, bukan kepurapuraan puisi dari kebun mangga." Nirmala, menoleh pada saudara kembarnya.

"Intens, realistis menempuh waktu." Nirmana, senyum. Keduanya bertengger di puncak menara, berhala, simbol perkotaan, di antara gedung pencakar langit.

**

Niskala waktu tempuh.

"Syakwasangka tertinggal mengejar sunyi asmarandana, kenangkanlah selaksa gebyar gemintang kudus berpeluk langit, tak satupun ada bagai lampau menimang cuaca bergelut seketika sirna.

Ratna Wilis, masih mengajar sesuai keahliannya, diskusi di ruang kelas berjalan seru. Murid lelaki di deret kedua dari depan sebelah kanan dari tempat Ratna Wilis, berdiri. Entah kenapa sosok mahasiswa itu, sesaat akan berdiri, tersungkur begitu saja "Maaf ibu."

"Huuu!" Suara di kelas seperti laronlaron bergumam. Ratna Wilis, memperhatikan, melempar pertanyaan. "Apakah anda ketakutan, akan saya panggil kedepan, untuk menjelaskan tentang wawasan antropologis?"

"Berdiri doong! Jawab doong!" Kali ini, suarasuara di ruang kuliah berdengung seperti kumbang beterbangan.

"Nama lengkap saudara, asalusul, sebutkan." Ratna Wilis, tegas, lembut.

Seperti tengah terhipnotis, menjawab "Saya Seta Pawaka, daerah asal dari desa Sukun, di lereng Mahameru, desa tepi sungai berantas. Saya tumbuh di sana, di antara ladang tebu. Ayah, mengasuh saya tanpa ibu," ruang kuliah seperti suara kapal layar pecah, bergemuruh.

Ratna Willis, menyerap dengan teduh, jawaban itu. Suara di benaknya "Kalau benar. Apakah benar, dia? Menyulih rupa."

"Silakan duduk kembali." Ratna Wilis, menahan deru napas, jantung akan melompat keluar dari kepalanya.

"Terima kasih ibu", sopan sembari akan duduk, di antara deru suara riuh di kotakkotak ruang kuliah itu.

**

Jagat buana waktu tempuh.

"Setiba seketika terawang awanggemawang menyergap peraduan langit tak cukup leluasa menyulih lembut getar sukma mekar setaman kembang wijayakusuma, selekas satriasela melewati purnama marun, kangen, kekasihmu, masih kembang sepatu, merahnya untukmu ..."

Langit senantiasa menunjukkan watak dari waktu, perubahan, merembes kenangan, terkenang pelangi hanya biru bulan, senandika memoar lintasan risalah berkisah. Bertumbuh musim penghujan bergemuruh, angin menderuderu, mendorong mega berarak bersegera lewat, ganti berganti berkilauan, bekerlipan semafor alami, bahasa sandi beragam cerita.

Ratna Wilis, memperhatikan sepasang putri kembar, tengah melatih gerakan tubuh, kahuripan, berbagai jurus olah tubuh, bekal ketika, saat dia harus siap melepas keduanya menuju pilihan hidup duniawi masa depan. Mengarungi, megatera langit, berbagai gangguan, mungkin juga ujian kesiapan menuju jenjang hamparan persoalan anonim.

Ratna Wilis, melihat jelas keduanya akan menghadapi badai cintamisteri antara waktu, beragam rupa, perupaan, wujud dari perwatakkan hidup. "Apakah aku mampu melepas mereka, setelah mengasuhnya sejak lahir dari kandunganku. Cinta, membentuk mereka apa adanya, polos saja, menggelinding kami bersama dalam badai berganti musim. Tali hati di antara kami telah terikat teramat kuat."

Suara si kembar serentak menghentikan penerawangan, Ratna Wilis. "Ibu? Tak melihat. Kami cukup lama berlatih dengan halilintar itu. Kami telah melihat sosok ayah." Girang suara itu, meluncur serupa kicauan burung perenjak jawa di pagibuta. Terperanjat darah menggelegak rindu, tak jua pupus oleh waktu.

"Ajaib ... " Hanya itu jawaban Ratna Wilis. Si kembar, telah dewasa mencoba menangkap makna, dari kalimat pendek itu, keduanya girang menghambur memeluk ibu.

"Semoga benar kalian telah melihatnya." Ratna Wilis, sukmanya, doa harapan, memeluk erat putri kembar kini rambutnya tak bau matahari, dewasa, bukan si mungil pengacau pertapaan Panembahan Dieng.  Melengking wawasan pertanyaan, berkicau, bikin sibuk Eyangnya. Mengalun kesabaran cinta seluas semesta.

**

Semesta fatamorgana waktu tempuh.

"Nebula semarak mazmur langitmu merengkuh kasmaran tak terelakan oleh apapun, prosa mawar melepas segala risalah persemaian, telah tumbuh, ikhlas ... Antarkan kembali pulang ... Si kembar jika kangenmu pupus, kekasih ..."

Sepsang mobil sport berwarna hitamputih, melesat dengan kecepatan tinggi di sirkuit balap itu. Ibu, mengawasi dari podium pengamat berkaca khusus. "Ini hari terakhir penentuan kesiapan kalian menghadapi lawan." Ratna Wilis, sukmanya, siapkah aku ketika mereka semakin dekat ayahnya.

Ratna Wilis, tak lepas pandangnya. Menjauh dua mobil sport terkini. Menghilang tersulap tirai fatamorgana.

***

Jakarta Kompasiana, Juli 30, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

*) KBBI; ratna wilis; intan yang berwarna hijau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun