Ratna Willis, menyerap dengan teduh, jawaban itu. Suara di benaknya "Kalau benar. Apakah benar, dia? Menyulih rupa."
"Silakan duduk kembali." Ratna Wilis, menahan deru napas, jantung akan melompat keluar dari kepalanya.
"Terima kasih ibu", sopan sembari akan duduk, di antara deru suara riuh di kotakkotak ruang kuliah itu.
**
Jagat buana waktu tempuh.
"Setiba seketika terawang awanggemawang menyergap peraduan langit tak cukup leluasa menyulih lembut getar sukma mekar setaman kembang wijayakusuma, selekas satriasela melewati purnama marun, kangen, kekasihmu, masih kembang sepatu, merahnya untukmu ..."
Langit senantiasa menunjukkan watak dari waktu, perubahan, merembes kenangan, terkenang pelangi hanya biru bulan, senandika memoar lintasan risalah berkisah. Bertumbuh musim penghujan bergemuruh, angin menderuderu, mendorong mega berarak bersegera lewat, ganti berganti berkilauan, bekerlipan semafor alami, bahasa sandi beragam cerita.
Ratna Wilis, memperhatikan sepasang putri kembar, tengah melatih gerakan tubuh, kahuripan, berbagai jurus olah tubuh, bekal ketika, saat dia harus siap melepas keduanya menuju pilihan hidup duniawi masa depan. Mengarungi, megatera langit, berbagai gangguan, mungkin juga ujian kesiapan menuju jenjang hamparan persoalan anonim.
Ratna Wilis, melihat jelas keduanya akan menghadapi badai cintamisteri antara waktu, beragam rupa, perupaan, wujud dari perwatakkan hidup. "Apakah aku mampu melepas mereka, setelah mengasuhnya sejak lahir dari kandunganku. Cinta, membentuk mereka apa adanya, polos saja, menggelinding kami bersama dalam badai berganti musim. Tali hati di antara kami telah terikat teramat kuat."
Suara si kembar serentak menghentikan penerawangan, Ratna Wilis. "Ibu? Tak melihat. Kami cukup lama berlatih dengan halilintar itu. Kami telah melihat sosok ayah." Girang suara itu, meluncur serupa kicauan burung perenjak jawa di pagibuta. Terperanjat darah menggelegak rindu, tak jua pupus oleh waktu.
"Ajaib ... " Hanya itu jawaban Ratna Wilis. Si kembar, telah dewasa mencoba menangkap makna, dari kalimat pendek itu, keduanya girang menghambur memeluk ibu.