Waktu menggelinding tak seberapa cepat. Biasa saja. Normal saja, tak ada dramatisasi kata dibuat indah seakanakan susastra lontar dari langit, tak menulis peristiwa, sekadar imaji ngawang di awan, bukan realitas, cinta terpeleset bertemu mata saling memandang, kepurapuraan pengadeganan klise.isme.
"Kesetiaan ibu, bukan kepurapuraan puisi dari kebun mangga." Nirmala, menoleh pada saudara kembarnya.
"Intens, realistis menempuh waktu." Nirmana, senyum. Keduanya bertengger di puncak menara, berhala, simbol perkotaan, di antara gedung pencakar langit.
**
Niskala waktu tempuh.
"Syakwasangka tertinggal mengejar sunyi asmarandana, kenangkanlah selaksa gebyar gemintang kudus berpeluk langit, tak satupun ada bagai lampau menimang cuaca bergelut seketika sirna.
Ratna Wilis, masih mengajar sesuai keahliannya, diskusi di ruang kelas berjalan seru. Murid lelaki di deret kedua dari depan sebelah kanan dari tempat Ratna Wilis, berdiri. Entah kenapa sosok mahasiswa itu, sesaat akan berdiri, tersungkur begitu saja "Maaf ibu."
"Huuu!" Suara di kelas seperti laronlaron bergumam. Ratna Wilis, memperhatikan, melempar pertanyaan. "Apakah anda ketakutan, akan saya panggil kedepan, untuk menjelaskan tentang wawasan antropologis?"
"Berdiri doong! Jawab doong!" Kali ini, suarasuara di ruang kuliah berdengung seperti kumbang beterbangan.
"Nama lengkap saudara, asalusul, sebutkan." Ratna Wilis, tegas, lembut.
Seperti tengah terhipnotis, menjawab "Saya Seta Pawaka, daerah asal dari desa Sukun, di lereng Mahameru, desa tepi sungai berantas. Saya tumbuh di sana, di antara ladang tebu. Ayah, mengasuh saya tanpa ibu," ruang kuliah seperti suara kapal layar pecah, bergemuruh.